f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
perundungan

Stop Perundungan, Sudahi Kekerasan, dan Berhentilah Membebankan Tanggung Jawab ke Pihak Sekolah Saja

Sebagai seorang pendidik, saya sungguh miris ketika membaca berita-berita mengenai perundungan belakangan ini. Ada seorang siswa SMP di Cilacap yang mengalami siksaan dari beberapa temannya. Dia dipukuli, ditendang, diinjak, dan lebih dari itu semua, dicederai psikisnya. Saya sama sekali tidak bisa membayangkan sebelumnya bahwa perbuatan seperti itu bisa dilakukan oleh siswa SMP.

Lebih miris lagi, ada seorang siswi kelas 2 SD Negeri di Gresik sampai mengalami kebutaan. Memang belum jelas benar seperti apa kronologi yang menyebabkan kebutaan tersebut. Sebab kasusnya masih dalam proses penyelidikan pihak kepolisian. Dugaan awal berdasarkan pengakuan korban dan orang tuanya adalah karena ditusuk temannya menggunakan tusukan cilok.   

Dua kasus tersebut menjadi ironis, sebab terjadi ketika pemerintah sedang menggencarkan program anti bullying dan Sekolah Ramah Anak (SRA). Jika kasus-kasus ini belum juga mendapat perhatian serius dari pemerintah, tentu akan menimbulkan kekhawatiran bagi para orang tua, jangan-jangan anaknya akan mengalami hal yang sama di sekolahnya.

Dan seperti yang sudah-sudah, kebiasaan masyarakat/netizen ketika ada kasus yang menyita perhatian adalah ribut di awal. Saling silang pendapat serta mengumbar tuntutan kepada berbagai pihak. Seakan masalah perundungan adalah 100 % tanggung jawab sekolah dan Dinas Pendidikan saja, sambil pura-pura lupa terhadap tanggung jawab pendidikan anaknya di rumah. Iya, pendidikan di rumah. Sebab rumah adalah madrasah pertama bagi setiap anak.

Yakin Mau Membebankan Tanggung Jawab ke Pihak Sekolah Saja?

Saya tidak ingin ikut menyalah-nyalahkan salah satu pihak saja. Sebab biasanya jika kita terlalu sibuk saling menyalahkan, malah tidak akan menemukan solusi jangka panjang. Hingga kejadian yang sama akan terus terulang lagi dan lagi. Ndak percaya? Coba tengok kasus tawuran (rutin) antar suporter sepakbola. Atau ada juga ritual tahunan gégéran antar perguruan silat yang seolah tiada tamatnya.

Baca Juga  Generasi Sandwich, Tak Seenak Namanya

Saya justru ingin mengajak para orang tua untuk sedikit berpikir empati tentang tanggung jawab pendidikan anak. Coba bayangkan jika sampeyan menjadi guru dengan rasio 1:28. Artinya seorang guru harus mengajar dan mengawasi 28 anak selama 7 sampai 8 jam per hari. Sesuatu yang hampir mustahil dilakukan secara ajeg selama 5 hari per minggu sepanjang tahun.

Untuk mengajar di kelas mungkin tidak terlalu jadi masalah karena itu memang tugas utamanya. Yang sulit justru mengawasi anak-anak di luar jam pelajaran. Misalkan di pagi hari sebelum pelajaran, di jam istirahat, atau di jam-jam ketika ada kegiatan non-kurikuler. Saya yakin mayoritas bullying terjadi di waktu-waktu tersebut, ketika tidak sedang dalam pengawasan guru.

Terus bagaimana dong? Apakah mesti meminta tambahan kuota PNS dan PPPK dua atau tiga kali lipat? Ya ndak lah, kasihan pemerintah. Jangan recoki mereka yang sedang sibuk rebutan kue pemilu dengan urusan lokal pendidikan semacam ini.

Akan jauh lebih baik jika para orang tua mau berefleksi, mencoba nggrayahi jithok masing-masing. Berupaya untuk mengidentifikasi sumber perilaku agresif anak yang mengarah kepada perundungan, serta mencari solusi pencegahan agar tidak terjadi lagi kelak di kemudian hari. Ini bukan berarti bahwa kasus perundungan yang telah terjadi harus berakhir ‘damai’, sama sekali tidak. Perkara yang telah terjadi ini tetap harus dalam penanganan kepolisian, meskipun harus memakan waktu berbulan-bulan seperti peristiwa Kanjuruhan. Ups..

Perilaku Agresif Bermula dari Rumah dan Lingkungan  

Saya percaya bahwa sumber utama masalah perundungan di sekolah adalah perilaku agresif yang telah tertanam di benak anak-anak. Perilaku agresif ini bisa berupa kekerasan verbal maupun fisik. Dan hanya soal waktu dan tempat saja, kapan dan di mana mereka akan meluapkan perilaku agresivitasnya. Nah, pertanyaan besarnya adalah: dari manakah anak-anak paling banyak menyerap asupan informasi yang memupuk perilaku agresif tersebut? Apa iya mereka mempelajari perilaku kekerasan dari pelajaran PKN di sekolah?

Baca Juga  Pentingnya Penegakan Hukum terhadap Bullying di Media Sosial

Benar saudara-saudara, mereka banyak mengasup informasi yang bermuatan kekerasan selama di rumah dan di lingkungan neighbourhood mereka. Marilah jujur pada diri sendiri, sejak bayipun sudah banyak anak yang dikasih kasih lihat youtube, tiktok, dan tayangan lain tanpa filter dan pengawasan. Padahal tidak semua konten tersebut layak untuk konsumsi anak, karena sebagian mengandung unsur kekerasan.

Ada juga peran dari lingkungan tetangga kiri kanan. Di jaman yang serba loss dholl ini, remaja belasan tahun saja sudah pada fasih melontarkan caci maki dalam percakapan sehari-hari. Padahal segala bentuk makian ini adalah pintu pertama bagi tindakan kekerasan. Dan itu bisa dilakukan anak-anak dengan bebas tanpa ada kontrol sosial dari masyarakat. Coba bandingkan dengan masa kecil kita di tahun 90an, jika ada anak yang berbicara kotor sedikit saja pasti sudah dikeplak oleh tetangga.

Nah, apa yang orang tua lakukan ketika melihat anak-anaknya mulai meniru apa yang mereka lihat, baik dari gawai maupun dari lingkungannya? Misalnya mulai fasih berkata kasar, mulai pandai bengkerengan, dan mulai hobi antem-anteman. Banyak orang tua yang membiarkan perilaku tersebut sebab terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Padahal bisa jadi kesibukan si orang tua bukan melulu urusan pekerjaan; melainkan sibuk mancing, jagongan, drakoran, online gaming, atau bahkan ngeslot.

Parahnya lagi, ada beberapa jenis makhluk bernama orang tua yang menganggap wajar perilaku kekerasan pada anak-anak mereka. Ketika anaknya mulai pandai bilang f**k you malah dianggap lucu. Jika si kecil berperilaku ‘gampang panas’ malah dianggap bikin gemas. Dan ketika anak mulai berani baku hantam dengan teman malah dipuja bak seorang pahlawan. Padahal ini adalah bibit-bibit perkara.

Baca Juga  Bullying Perceraian
Dampingi dan Awasi Perilaku Anak di Rumah

Jika tak ingin bibit perkara tersebut tersemai menjadi bencana, maka orang tua dan guru perlu bekerja sama secara sinergis. Percayakan pendidikan anak di sekolah kepada guru dan tenaga pendidik.  Sedangkan untuk pengawasan perilaku anak di rumah, mutlak menjadi tanggung jawab orang tua dan lingkungan masyarakat sekitar.

Orang tua perlu mengawasi penggunaan gawai anak-anaknya, jangan sampai terkontaminasi unsur-unsur kekerasan. Kalaupun sudah terlanjur, berikan pemahaman dan edukasi bahwa perilaku tersebut sangat tidak baik. Parents juga perlu sesekali menengok aktivitas bermain si anak. Jangan sampai terlibat dalam lingkar pertemanan yang akrab dengan kekerasan, baik fisik maupun verbal. Luangkan waktu untuk mendampingi dan mengawasi semua kegiatan mereka, alih-alih menginvestasikan waktu untuk pasang slot atau drakoran.

Terdengar berat untuk dilakukan? Jika jawaban sampeyan adalah ‘iya’, maka tolong jangan membebankan hal yang sama kepada pihak sekolah.

Bagikan
Comments
  • Ary

    Bagus pak. Mengingatkan kita sbg org tua bahwa madrasah pertama adalah rumah. Ditunggu tulisannya yg lain.

    Juni 4, 2024
    • Rois Pakne Sekar

      Matur nuwun🙏
      Semoga bermanfaat

      Juni 14, 2024
Post a Comment