f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
covid-19 yang

Stigma Covid-19 yang Membunuhnya

“Kesedihan ditinggal suami ini rasanya masih belum seberapa bila dibanding dengan kesedihan dikucilkan oleh tetangga”. Kata Mbak I.

Mbak I adalah istri mendiang teman kerja saya. Awal minggu ini, saya akhirnya berkunjung ke rumahnya  untuk bertakziah setelah suaminya berpulang sebagai PDP Covid-19. Butuh waktu lebih dari 2 bulan sebelum akhirnya kunjungan ini terlaksana, kekhawatiran akan tertular membuat kami harus memilih waktu yang tepat untuk berkunjung.

Ada sedikit rasa lega dari tatapan Mbak I ketika kami datang, karena sepertinya, sampai dua bulan ini belum ada perwakilan dari kantor mendiang suaminya yang benar-benar datang untuk berkunjung.

Walau ada rasa lega, tapi masih nampak jelas kesedihan di wajahnya. Kami dipersilahkan duduk dan mengalirlah cerita yang dipendam selama dua bulan ini.  Cerita tentang kesedihan keluarga yang mendapat stigma, karena salah satu anggota keluarganya meninggal dalam status  PDP Covid-19.

Di awal ceritanya Mbak I menuturkan bahwa setelah suaminya berpulang, Mbak I sekeluarga harus menjalani isolasi mandiri. Isolasi mandiri itu bagi Mbak I sekeluarga terasa sangat berat karena sebenarnya yang dialami adalah pengucilan dan bukan isolasi sebagai upaya pencegahan penularan Covid-19. Pengucilan oleh tetangga ini menyebabkan mereka sekeluarga mengalami tekanan psikologis yang luar biasa, yang terasa lebih berat bila dibanding ketika ditinggalkan oleh kepala keluarga.

Di masa isolasi mandiri, tidak ada tetangga yang berani mensuplai makanan  karena takut tertular; suplai makanan justru datang dari saudara saudara jauh bukan dari tetangga.

“Mungkin saya sudah mati Mbak kalau ndak ada saudara yang kirim bahan makanan. Tetangga kanan kiri depan rumah ndak ada yang perduli bahkan untuk menanyakan kabar Mbak. Baru setalah 2 minggu, sebelah rumah mulai tanya mau titip apa Mbak?”

Acara kirim doa selama 7 hari juga sempat menjadi polemik, terutama soal membagikan hantaran makanan. Dari desas-desus tetangga yang sampai ke telinga Mbak I, diketahui bahwa para tetangga keberatan menerima hantaran makanan dari acara kirim doa. Mereka takut tertular lewat hantaran makanan itu.

Baca Juga  Daya Lenting Guru Milenial di Masa Pandemi

Akhirnya Mbak I sekeluarga memilih mengalah, sehingga hantaran makanan untuk acara kirim doa itu di pesankan di sebuah catering alih alih dari memasak sendiri. Niat baik Mbak I sekeluarga untuk mengucap terimakasih karena sudah mengirim doa untuk mendiang suami; rupanya masih diterima tetangga dengan respon yang negatif akibat stigma mendiang suami yang meninggal karena PDP Covid-19.

Mbak I melanjutkan cerita tentang P anak keduanya, yang suatu hari ingin bersepeda keliling kampung sekedar melepas kejenuhan. “Hanya sebentar Mbak P main sepeda”, ujarnya kepadaku. “P lalu pulang dengan wajah sendu terus cerita kalau tadi ketika bersepeda ada beberapa tetangga yang menatapnya degan tatapan seolah olah berkata kamu belum sembuh, kenapa kok sudah main sepeda?”

Saya coba mentralisir suasana dengan mengambil segelas air mineral yang tersaji dan menghabiskannya. Berharap air itu mampu menghilangkan kegetiran yang terasa dari cerita  Mbak I.  Setelah cukup tenang Mbak I kembali melanjutkan ceritanya

“Ada lagi Mbak, pas P main bola sendirian di teras rumah. Ada anak anak tetangga yang, bilang Sukur P saiki nggak nduwe bapak” (Kapok P sekarang ndak punya bapak). Saya berusaha membayangkan bagaimana seorang anak kelas 4 SD harus merasionalisasi kata-kata yang dilontarkan teman bermainnya. “Mereka kan ga mungkin ngomong gitu bu kalau ndak mendengar dari orang tuanya? “

Ingin rasanya kupeluk Mbak I saat itu, mungkin itu bisa sedikit meringankan beban dipundaknya. Tapi lagi-lagi protokol Covid-19 yang mengharuskan jaga jarak membuat saya mengurungkan niat tersebut.

 “Dunia benar benar seakan akan memusuhiku Mbak, petugas puskesmas yang datang cuma bilang aku mau di rapid, aku mau di swab, tapi setelah itu ndak pernah tanya kabar gimana kondisiku? Bahkan hasil swab pun kalau tidak bertanya, ya nggak dikasih tau. Alasannya karena ketika aku ditelpon tidak diangkat Mbak, dan aku justru tahu kabar hasil swabku dari omongan tetangga”

Baca Juga  Perempuan dan Nasib Mimpi-mimpinya; Kisah Perempuan Remaja dalam Cengkraman Militer

Saya terpekur dan tiba-tiba jadi teringat film pendek berjudul Tilik yang ada di youtube  dan sedang ramai dibicarakan.

“Aku sempat berpikir untuk nggak mau hidup lagi Mbak, aku masih berduka suami kapundut, dikucilkan masyarakat sampai seperti itu, rasanya sudah jatuh tertimpa tangga. Belum lagi fitnah dan hoax yang mengabarkan soal suami sudah positif Covid Mbak. Padahal suami di swab saja belum, dan aku di swab hasilnya baru 3 minggu kemudian, tapi berita kalau suami sudah postif sudah beradar di masyarakat duluan bahkan sampai ke media”.

Suami Mbak I meninggal di awal bulan Juni. Di masa itu mendiang suami Mbak I adalah salah satu dari sedikit ASN di kota saya yang jadi PDP Covid-19 di awal. Sebelumnya, belum ada ASN PDP yang positif di kota saya yang meninggal.

Kabar kematian itu bahkan sempat menjadi heboh di media online lokal. Kehebohannya sampai membuat dinas tempat mendiang almarhum bekerja harus di liburkan/di lockdown selama satu minggu.

“Aku baru cerita ke sampeyan Mbak, Mas. Orang-orang yang bisa dipercaya  tentang kronologi suami kapundut”. Saya terdiam dan jadi merasa ikut bersalah. “Karena percuma kalau aku cerita ke orang-orang mereka juga nggak akan paham”.

Rasanya kami sebagai teman sekantor juga seperti tetangga Mbak I  yang lain, seolah olah mengucilkannya, karena baru setelah dua bulan berkunjung dan menanyakan kabar. Hampir dua jam saya dan suami mendengarkan cerita Mbak I, semoga itu bisa sedikit meringankan bebannya dan mungkin juga untuk menebus rasa sesal kami.

Covid ini memang benar membunuh, tidak hanya bagi yang tertular penyakitnya, tapi juga orang orang yang kena dampak stigmanya. Berita-berita di televisi tentang tetangga yang bergilir mencantolkan makanan di pagar bagi orang orang yang melakukan isolasi mandiri, ternyata hanya cerita-cerita utopia buat Mbak I.

Gebyar pembentukan kampung tangguh yang diharapkan mampu memberi dukungan untuk penanganan Covid-19 di level paling bawah, nyatanya tidak memunculkan kesinergian lintas sektor terkait seperti peran ketua RT, Ketua RW, Kepala Desa, Babinsa maupun bidan desa yang mampu mengatasi permasalahan di tingkat paling bawah.

Baca Juga  Hikayat Singkat Tidur Manusia

Bagi penyintas Covid-19 seperti Mbak I, sakit fisik mungkin sudah sembuh, tapi trauma psikologis akibat stigma dan di kucilkan mungkin butuh waktu lebih lama untuk sembuh. Stigma Covid-19 ini membuat dia harus berusaha keras untuk bisa  menempatkan diri dengan baik dengan lingkungan. Dit engah duka ditinggal suami yang sebeutulnya sudah membutuhkan dukungan psikologis tersendiri, ternyata dia masih harus menghadapi pengucilan yang mana hal ini membuat Mbak I terluka dan mengalami tekanan psikologis yang lebih dalam.

Ternyata bukan hanya Mbak I sekeluarga saja yang mengalami pengucilan ini. Setelah saya googling banyak juga curhat penyintas Covid-19 di medsos yang merasakan hal yang sama dengan Mbak I. Dikucilkan oleh tetangganya.

Dalam curhatan di medsos itu, ada yang ketika bertemu tetangga di acuhkan. Tidak ada tetangga yang berani lewat depan rumahnya; bahkan ada tetangga yang mau pindah rumah karena ada PDP Covid-19 disebelah rumahnya.

Mungkin kita harus lebih banyak lagi membuka diri untuk sekitar. Menelusuri kemungkinan ada tetangga yang sedang melakukan isolasi mandiri. Dan kemudian menggerakkan dan mengajak tetangga yang lain untuk sedikit memberi bantuan. Untuk bergilir mengirim makanan, atau sekedar menanyakan bagaimana kabar mereka selama isolasi mandiri.

Mari bersama-sama dengan tetangga yang lain meringankan kesulitan yang mereka alami. Karena di masa tersebut tidak saja bantuan bantuan materi yang dibutuhkan oleh para PDP dan orang orang yang mendapatkan Covid ini. Tapi juga dukungan psikologis dan penerimaan. Sebab katanya, hati yang gembira adalah salah satu cara meningkatkan imun tubuh untuk mempercepat penyembuhan Covid-19.

Bagikan
Comments
  • Wurry Srie

    Selamat Mbak Wulan, tulisan yg mengharukan….

    November 16, 2020
Post a Comment