f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.

Si Capung Belang (3)

Oleh: Ali Audah*

Aku memejamkan mata. Kukuatkan batinku agar siap mengikuti langkah Hardy. Dia bersikeras membawaku ke sebuah ruangan di dalam Keraton Jogja ini. Setauku, bangunan istana ini sudah dibangun sejak jaman Belanda dulu. Pokoknya sudah lama sekali. Bagi orang Jawa sepertiku, ini bukan sekedar Istana Raja. Ini adalah salah satu pusat pengaturan jagat raya. Raja bagi kami adalah titisan Ilahi, menyatu dalam Roh Maha Kudus, biasa disebut dengan “manunggaling kawula Gusti”. Jadi kami pasti tidak akan berani menatap wajah Raja, itu tidak sopan sekali. Memang orang modern tidak akan dapat memahami hal seperti ini.

“Ayo, Nda, selak keburu petheng (nanti keburu gelap),” Hardy tidak sabar menungguku di halaman mushola. Mushola ini disebut penduduk sekitar dengan nama Masjid Keben karena berdekatan lokasinya dengan pohon Keben. Letaknya di depan pintu gerbang masuk Kamandungan Lor (Keben) Keraton Yogyakarta sedikit serong ke selatan.

Kuangkat badanku dengan sedikit gemetar. Tikar lusuh yang kududuki bergeser sedikit, beberapa dedaunan pohon beringin terbang perlahan ke arah wajahku. “Ya, Dy. Bismillah,” kataku pada Hardy. Aku berjalan dengan mulut tak berhenti berkomat-kamit. Hardy tertawa. “Ada-ada saja, kamu ini, Nda. Kalau aku tidak didatangi langsung oleh punggawa Keraton tentu aku tak mau repot membawamu ke sini,” kata Hardy meringis dan terkekeh melihatku yang agak pucat wajahnya.

Sore itu hari agak gelap, aku melihat ke langit. Awan mendung di atas kami. Sebentar lagi hujan deras, batinku. Untuk masuk masuk ke Bangsal Pagelaran, pengunjung harus melewati Tepas Keprajuritan Kraton Yogyakarta dan membayar tiket masuk. Biasanya ada saja pengunjung terutama anak muda yang menggunakan topi dan kacamata gaya, kedua benda ini biasanya akan diminta untuk dilepaskan. Karena ini adalah akhir pekan, maka cukup banyak pengunjung yang datang. Saya dan Hardy segera melangkahkan kaki ke dalam dan melewati Relief Perjuangan Pangeran Mangkubumi. Ada desir-desir angin yang aneh di sekitar telingaku, seakan lagu ucapan selamat datang dengan tembang kuno.

Baca Juga  Ketika Takdir Terus Menguji

Langkah-langkah kakiku di sepanjang Relief Perjuangan Pangeran Mangkubumi seakan tidak menyentuh tanah. Aku merasa desiran angin yang menerpaku adalah ucapan salam dengan menggunakan tembang kuno. Mungkin itu adalah tembang dari Serat Cebolek. Kakekku Mbah Gondo pernah bercerita, serat ini adalah kitab sejarah yang sangat penting, karena mencatat riwayat hidup dan perjuangan Pangeran Mangkubumi, raja pertama yang mendirikan Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat pada Hari Kamis Pon, 13 Maret 1755 dengan bergelar Sultan Hamengku Buwana I.

“Ssttt… Nanti setelah melewati Bangsal Pacikeran, kita akan masuk ke Sitihinggil. Ada abdi dalem yang sudah menunggumu di sana, Nda,” kata Hardy berbisik pelan. Aku mengangguk. Aduh, biyung. Apakah semua ini ada hubungannya dengan Si Capung Belang, jeritku dalam hati.

Benar dugaanku. Tak berapa lama kami melangkah masuk ke dalam Sitihinggil, hujan turun dengan deras. Suara guntur beberapa kali memekakkan telinga. Beberapa kali aku berta’awudz dan bershalawat untuk menenangkan hati.” Subhana man sabbahat lahu. Maha suci zat yang mana petir bertasbih kepada-Nya”, aku membaca doa yang sering diajarkan Kiai Salimin kepada kami sehabis berlatih mengaji. Daerah kami memang terkenal dengan petir dan angin puting beliung. Kiai Salimin mewanti-wanti anak didiknya untuk sering membaca doa ini setiap kali mendengar suara guntur.

Di dalam ruangan Siti Hinggil aku berdiri terpaku melihat isi dalam ruangan ini. Sebagai wong deso, seumur-umur aku belum pernah masuk ke sini. Berbeda dengan Hardy, yang masih mempunyai hubungan erat dengan Keraton. Ayah dan kakeknya adalah abdi dalem turun temurun. Tetapi ada yang lebih membuatku tercekat. Ada satu sudut ruangan yang aku merasa sangat familiar. Itu adalah tempat di mana Si Capung Belang dalam wujud seorang Ratu mendatangiku di dalam mimpi!

Baca Juga  Melukis Kawah, Mendekap Ayat

*

Bagikan
Post a Comment