Site icon Inspirasi Muslimah

RIP Akhlak Warganet +62

warganet

Menjadi influencer memang harus siap menghadapi ribuan watak warganet (netizen) dari yang pintar sampai yang asal-asalan. Hal itu memang lumrah, sebagaimana pemerintah yang harus siap menerima hujatan jika kebijakan yang mereka keluarkan tidak sesuai dengan harapan warganet. Mereka tahu konsekuensinya dan harus siap menerima.

Wahai warganet yang budiman, bisakah kita bersikap lebih kritis dan open-minded? Tak asal bicara dan menghujat yang berakibat buruk pada psikis influencer, sehingga mereka meninggalkan media sosial. Padahal mereka menyuarakan kebaikan. Namun, karena mereka muak dengan kalian akhirnya pergi. Apakah ini bukan urusanmu?

Oh iya, tugasmu kan hanya menjadi penikmat, bukan pembuat. Ibarat kamu suka sekali dengan kuliner, meski kamu tidak suka masak, kamu suka sekali mengomentari masakan. Kalau masakannya enak, kau diam. Kalau tak enak, kau ludahi dan kau maki. Padahal, kau tak pernah tahu proses panjang lahirnya ide masakan legendaris itu.

Warganet dan Dampak Hujatannya

Beberapa influencer mengalami perlakuan itu, misalnya Gita Savitri Devi. Gitasav, sapaannya; dia mengungkapkan kekecewaannya terhadap warganet. Bukan hanya kecewa, psikisnya pun ikut terganggu. Menangis, merasa sendiri, bahkan dia memandang semua orang seperti membencinya. Hingga, produktivitas pembuatan konten edukasi yang dia garap berkurang.

Saya, sebagai salah satu penikmat video vlognya di segmen Pagi-Pagi dan Beropini, merasa turut merugi. Gita juga mengungkapkan kekesalannya terhadap akun-akun yang chat DM Instagramnya dan mengatai seenaknya perihal Gita harus speak-up mengenai Palestina.

Begitu pula dengan Skinny Indonesian 24. Akun milik kakak beradik Jovial da Lopez dan Andovi da Lopez ini menyatakan mundur dari YouTube 24 Juni 2021. Setelah 10 tahun berkarya, dia menutup akunnya karena merasa karyanya tak begitu dihargai lagi.

Dalam sebab ini, warganet malah lebih memilih konten yang tak berbobot seperti: prank, gosip, kehidupan artis, dan seterusnya. Konten semacam itu tak jauh berbeda dengan dunia  pertelevisian, kurang mendidik dan tidak kreatif. Tak bisa memungkiri, content creator yang babat alas YouTube di Indonesia tak lagi mendapat ruang di lament rending. Subscriber-nya pun jauh di bawah akun artis dan pemilik akun huru-hara.

Jovi dan Andovi mengaku kerap mendapat hujatan warganet. Meski hal tersebut tak terlalu dia gubris. Namun, salah satu penggagas YouTube Rewind 2020 ini pernah sangat kecewa dengan komentar warganet saat kematian ayahnya. warganet meninggalkan komentar pedas. “Mampus kau bapak kau masuk neraka  karena tidak masuk Islam,” tulisnya.

Komentar itu sungguh tak layak muncul bagi seorang manusia kepada manusia lain. Sungguh tak humanis, sangat menyakitkan. Sebagai orang Islam, saya malu seagama dengannya. Islam tak mengajarkan, bahkan melarang keras berkata buruk. Jika tak bisa menahan, lebih baik diam tak perlu menulis komentar.

Ramah Itu Dahulu, Sekarang?

Banyak anggapan, katanya, orang Indonesia itu ramah. Padahal itu dahulu, nyatanya, di zaman sekarang, dunia cyber telah membentuk watak warganet bermuka dua. Baik di muka, maupun merundung di belakang lewat komentar.

Allah mengaruniai kita akal. Agama pun berpesan agar kita open-minded dan saling menghargai atas beragamnya sikap manusia. “Lakum dii nukum waliyadiin, Lanaa a’maalunaa walakum a’maalukum.” Orang lain yang berbeda dengan kita tak sepenuhnya salah. Mungkin kita yang belum tahu.

Jika orang lain berbuat yang tak patut, kita boleh mengingatkan dengan cara yang benar,  bukan malah menghujat. Jika tak suka, cukup unfollow dan tidak perlu melihat akun yang bersangkutan, karena akan membuang-buang energi saja!

Paling mutakhir, ustaz Adi Hidayat juga turut terkena nyinyiran perihal donasi Palestina. Tanpa bertabayun, warganet membuat kabar hoaks terkait penggelapan dana bantuan. Sepertinya kebebasan berpikir warganet +62 membikin tak takut kualat. RIP (rest in peace) akhlak netizen Indonesia.

Melansir mediaindonesia.com, Microsoft telah merilis Digital Civility Index yang menunjukkan tingkat kesopananwarganet sepanjang tahun 2020. Hasilnya cukup memprihatinkan, pasalnya, warganet Indonesia mendapat peringkat paling tidak sopan dalam bermedia sosial se-Asia Tenggara.

Sementara itu, Singapura menjadi negara paling teladan di Asia Tenggara yang berhasil menempati urutan keempat secara global untuk tingkat kesopanan di internet.

Dari hasil survei yang melibatkan 16.000 responden di 32 negara itu, kualitas kesopanan warganet Indonesia menempati urutan ke-29 dari 32 negara. Disebutkan bahwa, 68 persen ketidaksopanan bermedia sosial justru dilakukan oleh orang yang sudah berusia dewasa. Kebanyakan mereka menyebarkan kabar hoaks dan segala macam kebencian serta diskriminasi.

Critical Thinking di Rumah dan Sekolah

Dari kejadian yang dialami Gita Savitri, Jovi, Andovi, dan UAH di atas, sepertinya pendidikan Indonesia tak boleh cuci tangan dalam hal ini.

Bagaimanapun, warganet Indonesia adalah orang-orang yang dahulunya mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah negeri ini. Atau bahkan sekarang masih duduk di bangku sekolahan hari ini. Hanya saja bangkunya pindah ke rumah atau warung wifi. Maka selain sekolah, peran pendidikan keluarga pun sangat penting.

Generasi Z dan alfa yang kini tengah duduk di bangku sekolah seharusnya diberikan pendidikan akhlak secara komprehensif. Materi akhlak dan muamalat harus meluas maknanya. Bukan hanya berakhlak terhadap guru, orang tua, teman, tetangga saja.

Kemudian muamalat yang mencakup jual beli, utang piutang dan pinjam meminjam saja. Ya, itu semua penting. Hanya saja perlu menambah materi tentang etika bermedsos. Karena kehidupan masa kini meliputi dunia nyata dan maya (internet). Maka, pendidikan akhlak juga harus memasukkan tata cara memperlakukan teman virtual dalam kehidupan maya.

Tak dapat dimungkiri bahwa, pelajar SD–SMP di zaman sekarang rata-rata memiliki media sosial. Murid SD kelas satu saja, terkadang juga sudah mempunyai akun media sosial. Entah menggunakan akun orang tuanya atau akun pribadinya dengan menambah umurnya. Sulit untuk melarang, karena  menurut beberapa orang, semakin anak dilarang semakin dia ingin mencobanya.

Pendidikan 4C  dan Keteladanan Guru di Medsos

Langkah yang tepat yakni mengajarkannya berpikir kritis. Kurikulum pendidikan saat ini harus mengandung 4C. Empat komponen tersebut terdiri atas: creativity, critical thinking, collaboration, dan communication. Dengan membiasakan siswa berpikir kritis di setiap pelajaran, dia akan lebih bisa memilah sikap mana yang seharusnya dilakukan untuk menanggapi kejadian dalam hidup.

Sistem pendidikan juga harus mengakui seluruh anak di bidang masing-masing. Seperti sembilan kecerdasan menurut Howard Gardner, kreativitas, pendidikan alternatif, dan lainnya.

Bukan hanya kognitif semata yang diagungkan. Semua anak masing-masing memiliki bakat dan bisa berprestasi dalam bidangnya. Itu yang perlu divalidasi oleh sistem pendidikan saat ini. Agar anak mendapat pengakuan dan memancarkan energi positifnya.

Selama sistem pendidikan kita masih belum memvalidasi itu semua, maka anak-anak yang ‘gagal’ dalam hal kognitif akan mencari validasi dari tempat lain. Di medsos misalnya dengan cara mem-bully teman medsos. Dengan demikian dia merasa benar dan hebat dengan menyalahkan orang lain.

Selain itu, pendidik pun hendaknya memiliki media sosial untuk memberikan teladan pada murid. Karena keteladanan lebih membekas daripada teori ataupun ceramah saat ini. Tak ada salahnya jika guru dan murid saling mengikuti dan mengomentari di media sosial. Selain membuat guru berhati-hati memposting sesuatu, murid pun akan merasa sungkan untuk berbuat neko-neko.

Begitu pula dengan guru Bimbingan Konseling (BK) yang secara konvensional melayani permasalahan siswa di sekolah. Sudah saatnya BK turut ambil bagian dalam pendidikan akhlak bermedsos. Membuat meme atau parodi edukatif bisa jadi solusi. Selain itu, guru BK bisa membuka konsultasi online di Instagram, YouTube, bahkan Tik Tok.

Bagikan
Exit mobile version