Site icon Inspirasi Muslimah

Perempuan-Perempuan Bergulat dalam Ekonomi Informal

perempuan ekonomi informal

Perempuan di Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya masih fokus pada soal keberlangsungan penghidupan dan pemenuhan kebutuhan dasar. Sumber daya seringkali dialokasikan secara berbeda tergantung konteks komunitas dan keluarga yang terpengaruh oleh konstruksi gender. Alokasi tersebut belum tentu adalah “pilihan rasional,” melainkan produk struktur sosial yang membentuk konstruksi gender mengenai pria maupun perempuan seperti apa “yang ideal” dalam pandangan lingkungan sosial.

Perempuan di Indonesia pada dasarnya tak memiliki keleluasaan untuk menentukan pilihan penghidupannya. Mereka “terpaksa” membuat pilihan karir yang sesuai dengan imajinasi gender struktur sosial yang ada yang menghendaki peran utamanya di ranah domestik. Perempuan yang sudah memilih karir untuk “sekadar menambah pendapatan keluarga” pun seringkali terjebak pada dilema antara fungsi produksi (kerja upahan) vs reproduksi (kerja ranah domestik).

Pekerjaan perempuan dalam ranah domestik sendiri pun selama ini tak pernah dilihat kontribusinya dalam sudut pandang ekonomi seolah-olah rumah tangga adalah selalu sebagai tempat konsumsi. Kerja reproduksi tak pernah dilihat sebagai hal yang produktif. Tidak ada bentuk perlindungan sosial atas kerja reproduksi sebagai konsekuensi dari tak dipandang produktif secara ekonomi. Pandangan yang “agak maju” kemudian adalah mendorong adanya pembagian tugas urusan domestik antara pria dan wanita di dalam keluarga.

Rezim Orde Baru juga memperparah relasi gender dengan mendudukkan perempuan semata sebagai “pelengkap suami dan harus menuruti mereka.”. Integrasi Indonesia ke dalam sistem pasar global telah menyerap asumsi tentang ruang publik dan privat serta kesenjangan antara kerja produktif dan reproduktif yang berlaku di Barat.

Konsep kerja di Barat berkembang saat sebagian besar angkatan kerja berada pada lapangan kerja formal. Di mana (secara teori) ada pemisahan antara kerja dan waktu luang dalam fungsi produksi dan reproduksi. Hal tersebut menjadi membingungkan kala di Indonesia sendiri hanya sebagian warganya yang bekerja di sektor formal yang menyebabkan pola pekerjaan yang berubah, batas yang kabur antara kerja dan waktu luang serta tugas reproduksi yang terkomodifikasi di tengah migrasi keluar penduduk desa ke kota. Konstruksi sosial yang dibentuk struktur sosial dan rezim Orba telah membuat rentan posisi perempuan yang hidup dari sektor informal akibat kekaburan antara fungsi produksi dan reproduksi. Statistik pemerintah bahkan tak mengakui fungsi reproduksi perempuan sebagai bentuk kerja.

Analisis Setyonaluri et.al., (2021) terhadap SUSENAS 2019 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status keluarga dan ketidakadilan gender dalam pasar tenaga kerja. Ketidakadilan gender terutama terjadi pada angkatan kerja yang telah menikah. Hampir semua pria yang sudah menikah memiliki pekerjaan. Sedangkan kurang dari separuh wanita yang telah menikah yang berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja.

Sektor formal cenderung tidak memberikan keleluasaan bagi perempuan dan anaknya untuk menyeimbangkan fungsi produksi dan reproduksi. Perempuan terus menanggung beban fungsi reproduksi tanpa perlindungan sosial. Di mana 90% perempuan dewasa muda di Jakarta dan Surabaya misalnya secara penuh melakukan fungsi reproduksi. Perempuan menjadi harus memilih pekerjaan yang memberikan mereka keseimbangan kedua fungsi dan jalan yang tersisa adalah ekonomi informal.

Dalam kajian Setyonaluri (2021) meyakini bahwa perempuan adalah pihak yang terbaik dalam pelaksanaan fungsi reproduksi. Mereka percaya bahwa hal tersebut sudah menjadi “kodrat” kaum hawa, sedangkan bekerja hanya dipandang sebagai “sampingan membantu suami.” Responden merasa bahwa perempuan boleh bekerja “hanya jika mereka bisa mengatur waktu” dengan urusan rumah tangga. Perempuan yang terpaksa bekerja pada sektor informal pada dasarnya hanya sebagai “cadangan keuangan” bagi keluarga.

Kajian Setyonaluri (2021) menunjukkan bahwa penerimaan perempuan atas pandangan bahwa “perempuan bekerja untuk membantu suami” dipengaruhi oleh pihak keluarga terutama ibu dan saudara perempuan. Mereka terinspirasi oleh ibu atau saudara perempuannya yang bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Mereka juga terpengaruh oleh pandangan agama yang menganggap bahwa “ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya,”. Sehingga mendorong mereka mengutamakan fungsi reproduksi. Banyaknya forum-forum daring yang mendoktrin perempuan untuk fokus mengurus rumah tangga juga mendorong mereka memilih fokus pada fungsi reproduksi.

Perempuan di sektor informal sebenarnya terbagi menjadi beberapa jenis. Yaitu mereka yang memiliki usaha sendiri, berusaha dengan memiliki buruh harian lepas, buruh bebas di sektor pertanian, buruh bebas non pertanian dan buruh keluarga tidak mendapat bayaran. Data Sakernas 2019 mencatat bahwa 60,8% perempuan bekerja di sektor informal. Perempuan yang bekerja di sektor informal biasanya berumur tua, berpendidikan rendah, tidak pernah mengikuti pelatihan kerja dan kebanyakan tinggal di pedesaan.

Perempuan yang memiliki bisnis sengaja memilih tetap memiliki usaha kecil. Hal tersebut terutama terkait dengan komitmen waktu yang harus terbagi dengan fungsi reproduksi. Usaha kecil lagi-lagi hanya menjadi bentuk upaya untuk menambah penghasilan suami. Perempuan juga tak memiliki kendali pengambilan keputusan ekonomi dalam keluarga. Mereka biasanya tunduk kepada suami dalam pilihan ingin berbisnis dan membutuhkan restu laki-laki untuk menjalaninya. Perempuan pemilik usaha kecil memiliki kendala lain berupa minimnya akses informasi mengenai proses pendaftaran usaha.

Kaum pria di sisi lain terdorong untuk mengembangkan usaha mereka dengan berbagai kendala. Hal tersebut disebabkan usaha tersebut adalah kegiatan penuh waktu, di mana keuntungannya dipakai sebagai sumber utama penghidupan keluarga. Mereka memiliki waktu untuk mengejar pengembangan usaha karena minim menjalankan fungsi reproduksi.

Pandemi Covid-19 telah membuat kondisi perempuan di sektor informal semakin rentan. Perempuan yang bekerja di lapangan kerja formal seperti sektor pariwisata, akomodasi, ritel, restoran dan seni dan hiburan cukup terdampak pandemi serta membuat mereka terlempar ke ekonomi informal. Kebijakan pemerintah untuk melakukan pembatasan mobilitas juga membuat banyak pemutusan hubungan kerja dan perempuan menjadi harus mencari sumber penghidupan.

Pandemi Covid-19 di sisi lain mendorong penurunan jam kerja yang berdampak ke pendapatan perempuan secara signifikan. Pandemi covid-19 memaksa perempuan mengadopsi teknologi digital untuk bertahan hidup missal dengan menjalankan bisnis secara daring. Digitalisasi membuat perempuan semakin terjebak dalam dilema produksi dan reproduksi.

Pandemi covid-19 membuat beban reproduksi yang dijalankan perempuan yang sudah terlibat dalam ekonomi informal semakin berat. Perempuan harus memastikan kesehatan mental anggota keluarga maupun kerentanan terkena Covid-19, kala suami mungkin bekerja dari rumah serta anak sekolah dari rumah. Perlindungan sosial sulit diakses oleh perempuan yang terlibat dalam ekonomi informal saat pandemi disebabkan adanya persyaratan formal berupa izin usaha sampai dengan agunan.

Negara perlu hadir untuk memberikan perlindungan sosial bagi fungsi reproduksi perempuan. Tak hanya mendorong perlunya pembagian peran urusan domestik. Negara harus memastikan bahwa perempuan juga berhak mendapatkan akses lapangan kerja formal bersama dengan pemenuhan hak-haknya.

Bagikan
Exit mobile version