f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
perceraian

Perceraian dan Peradaban Manusia yang Hilang

Tabiat manusia memang lebih sering mengingat satu kesalahan dibandingkan 99 kebaikan. Itulah manusia sebagai “makanul khoto’ wannisyaan”.

Penulis, kurang lebih sejak 2017 sampai sekarang masih berkiprah di LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pimpinan Wilayah ’Aisyiyah Jawa Tengah. Yang mana, kebetulan juga selama ini menjalin Mou atau bekerjasama dengan PA dan PN di wilayah Solo Raya untuk Pengadaan Posbakum (Posbantuan Hukum).

Penulis sendiri, selama ini, lebih banyak menjalani profesi paralegal di Pengadilan Agama Sukoharjo, Pengadilan Negeri Sukoharjo, Pengadilan Agama Wonogiri, Pengadilan Agama Boyolali, Pengadilan Agama Sragen, dan Pengadilan Agama Klaten.

Dengan prosentase yang penulis hadapi tidak lain dan tidak bukan adalah perceraian. Baik itu Cerai Talak (Pemohon; Suami yang mengajukan) maupun Cerai Gugat (Penggugat; Istri yang mengajukan), Dispensasi Nikah bagi yang telah hamil dahulu maupun tidak. Mereka yang masih berada di bawah umur 19 tahun sesuai UU yang terbaru baik laki-laki maupun perempuan harus mengajukan dispensasi nikah.

Kasus-kasus disebut di atas, selama masa pandemi ini, kenaikannya sangat signifikan dan drastis. Ada lagi soal perwalian sertifikat atas nama anak dibawah umur. Di Undang-Undang terdahulu, perbaikan nama dibuku nikah masih harus disidangkan; Peraturan yang terbaru itu tidak diperlukan, cukup menunjukkan kesalahan nama atau apapun itu di buku nikah; di KUA tempat di mana mereka dahulu menikah, kemudian pengangkatan anak (Adobsi anak).

Permohonan perlawanan atas Verzet atau Verstek (putusan sepihak tanpa kehadiran Tergugat/Termohon kemudian membuatkan jawaban atas Gugatan/Permohonan, replik, duplik, dan lain sebagainya.

Yang jelas, profesi sebagai paralegal, telah penulis lakukan sebagaimana mestinya.

Inilah dunia yang hari ini di isi dengan keramaian orang ingin berpisah. Penulis sempat merenung dan menyoroti tajam persoalan “Perceraian” ini. Kenapa hal ini bisa terjadi sedemikian deras? Apakah mereka tidak tahu atau ingat ikrar “mistaqon gholidzo”? perjanjian suci yang abadi. Bukan hanya untuk kepentingan duniawi semata, melainkan melintas batas untuk kehidupan yang kekal abadi di akhirat (bagi orang islam).

Baca Juga  Bercerai Bukanlah Bencana

Maraknya dan berbondong-bondongnya manusia datang di Pengadilan dengan niat berpisah sangatlah naas, bahkan berulang kali penulis sering bersikeras agar mengupayakan berdamai dan berdamai; namun memang rata-rata mereka yang datang ke Pengadilan adalah opsi/ jalur terkahir yang mereka tempuh, berbagai jalan telah di upayakan namun kenyataanya tidak seperti yang diinginkan.

Ya inilah hidup dan kehidupan…

Naik dan turun…,

Bahagia, kadang sedih…

Datang dan pergi silih berganti….

Jangan pernah pergi untuk dicari…

Iqro’…

Bacalah tanda- tandanya yang tersirat dan tersurat niscaya semua akan mendapat petunjukNya….

Wahai orang-orang yang merindu…

Sampaikanlah kabar gembira dari sebuah nasehat lama….

Bacalah buku-buku cinta yang indah….

Film-film roman yang mengharukan…

Puisi-puisi yang menghanyutkan hati dan perasaan…

Itu semua akan ditulis langsung oleh penulisnya yakni Tuhan…

Penulis ingin menggaris bawahi prosentase kebahagian yang akhirnya menimbulkan sebuah pertanyaan. Apakah ia, warga dan rakyat Indonesia sudah bahagia lahir batin dengan kondisi seperti ini? Bisa dibayangkan setiap hari dari 5 orang, 10 orang bahkan 15 orang ramai-ramainya menghadap bercerai.

Ini menunjukkan angka kebahagian masyarakat indonesia masih dipertanyakan, apalagi kesejahteraannya. Karena, rata-rata penyebab terjadinya KDRT, percekcokan, pertengkaran adalah faktor ekonomi; perihal nafkah lahiriah menjadi pemicu utama.

Meskipun ada juga karena sebab yang lain, seperti dijodohkan pihak ketiga dan seterusnya, ketidak sepemahaman pendapat, keyakinan yang berbeda, sifat tempramen dan mudah marah berkata kasar, bahkan sampai ancaman – ancaman. Juga masih banyak lagi yang bila penulis boleh sedikit observasi sebab di antara hal-hal di atas tidak lain karena faktor “pemahaman keaagamaan yang kurang mendalam”. Inilah pemicu utamanya.

Coba bayangkan, bila mana mereka memiliki pemahaman keagamaan yang komprehensif dan cukup, kalaulah mereka dalam keadaan tidak memiliki harta benda yang cukup, asalkan mereka memiliki pegangan keagamaan yang kuat; paling tidak bisa menjadi benteng dan perisai untuk mengarungi bahtera kehidupan.

Baca Juga  Fatimah, Tenaga Pengobatan dalam Perang Uhud

Meskipun tidak ada jaminan, semua serba disandarkan pada agama. Karena pernikahan, hakikatnya adalah ibadah, termasuk juga kehidupan di dunia merupakan ibadah. Maka, pun pun juga harus bernilai ibadah

Penulis juga akhirnya mempertanyakan sekolah pra nikah untuk masyarakat Indonesia yang sempat di gagas oleh Menteri PMK kemarin, yang sampai sekarang tinggalah sebuah isu. Sampai saat ini belum ada narasi yang lebih diterima untuk khalayak anak muda terutama calon pasutri.

Melihat kasus di atas, tindakan preventif amatlah dibutuhkan saat ini sebagai upaya pencegahan pernikahan dini. Dengan memberi bekal wawasan dan ilmu dalam rumah tangga, penulis yakin akan tercapai tujuan pernikahan itu sendiri, yakni sakinah, mawaddah, warohmah.

Keluarga-keluarga yang SAMAWAakhirnya akan menjadi (qoryah toyyibah), kampung yang baik. Kemudian akan menjadi “baldah aminah” (baldatun toyyibatun warrobbun ghofur) peradaban puncak sebuah bangsa dan negara yang baik di dalam ampunan Allah Swt.

Selain itu juga, harusnya ada upaya pendampingan-pendampingan keluarga baru yang lebih massif agar mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Di samping kita tetap mengawal generasi SDM – SDM yang unggul di masa yang akan datang untuk memperoleh kebahagiaan fiddunya wal akhirah.

Bagikan
Post a Comment