f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
UU cipta kerja

New Normal dan Lahirnya Generasi “Empathy Leadership”

Kepedihan akibat wabah pandemi Covid-19 sangat terasa dan menjadi momok yang sangat menakutkan bagi sebagian besar negara diberbagai belahan bumi. Mengutip berita dari media online bulan April 2020, Menteri Keuangan mengabarkan bahwa kerugian Covid-19 mencapai US$ 9 triliun untuk 2020-2021. Karena, kontraksi ekonomi dunia dan PHK di mana-mana. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memperkirakan angka kerugian akibat pandemi Covid-19 di Indonesia mencapai Rp 320 triliun selama kuartal I-2020.

Kerugian ekonomi dalam hal ini terjadinya resesi akan menjadi salah satu momok yang menakutkan bagi pemerintahan Indonesia. Walaupun beberapa pengamat mengatakan ekonomi Indonesia tetap resesi meski tidak ada Covid-19. Tetapi untuk perdebatan ini kita pinggirkan terlebih dahulu dan melihat lebih jauh lagi realitas yang terjadi ketika adanya dampak ekonomi yang diakibatkan oleh Covid-19.

New normal menjadi salah satu jalan yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan ekonomi nasional setelah meluncurkan dana pemulihan ekonomi. Pemerintah lewat kementerian keuangan mengimplementasikan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dengan besaran dana yang awalnya Rp.150 Triliyun dinaikkan menjadi Rp.640 Triliyun. Dana yang sangat besar untuk dikelola dengan baik dengan syarat tanpa adanya moral hazard dari pemangku kebijakan akan menghasilkan progres yang baik dalam upaya penyelamatan ekonomi.

New Normal dan Urgensi Kestabilan Ekonomi

Karena ekonomi sedang mencari titik seimbangnya di tengah Covid-19, maka dana yang pengalokasiannya tepat. Seperti Rp.172,1 T untuk mendukung konsumsi dan daya beli masyarakat, Rp.34,15 T untuk subsidi bunga, Insentif perpajakan sebesar Rp.123,01 T. Bahkan penjaminan untuk kredit modal kerja UMKM sebesar Rp.6 T. Secara garis besar pemerintah sudah tepat dalam pengambilan tindakan preventif sebagai upaya penyelamatan ekonomi. Akan tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan direnungkan oleh pemangku kebijakan dalam bidang ekonomi.

Baca Juga  Memandang Perempuan dan Jilbab dari Berbagai Sudut

Presiden Jokowi dalam satu kesempatan pidatonya mengatakan bahwa bangsa Indonesia harus mulai berdamai dengan Covid-19. Menurut opini penulis ini merupakan satu sinyal untuk kita semua menjalankan normal baru dalam berkehidupan sosial maupun ekonomi. Yang kemudian itu terbukti sekarang, kita menjalankan new normal. Dengan adanya new normal ini roda ekonomi tetap berjalan yang sebelumnya berhenti ditempat dikarenakan adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Dari langkah tersebut berimplikasi pada ekonomi Indonesia mengalami penurunan dibanding ditahun sebelumnya dalam kuartal yang sama.

New Normal membuat kita tetap melakukan kegiatan sosial ekonomi dengan protokol yang sudah ditetapkan sebelumnya. Gelombang empati lahir selama adanya pandemi, mulai dari kota-kota besar sampai ke desa-desa. Tetapi, empati tersebut belum merata dikarenakan masih ada  polemik dalam menyalurkan bantuan sosial. Terlebih, korupsi dari berbagai perangkat pemerintah terhadap dana bantuan langsung tunai untuk Covid-19.

Tetapi kita harus tetap bersyukur di tengah new normal, lahir new generation dengan Gen Empathy Leadership. Salah satu hal yang membuktikan lahirnya generasi tersebut adalah semakin maraknya crowdfunding. Advokasi ataupun demo terkait dana Bantuan Langsung Tunai untuk Covid-19.

Lahirnya Kepemimpinan Empati

Lahirnya era new normal menjadi momentum untuk menguatkan Gen Kepemimpinan Empati sebagai akibat dari masalah-masalah yang berkaitan dengan kemanusiaan. Menguatkan empati adalah keniscayaan di tengah pandemi. Dan kita harus menyambutnya dengan penuh semangat dan persiapan manajemen yang baik. Agar, rasa empati tidak cepat pudar setelah pandemi ini lewat.

Lolly Daskal penulis buku The Leadership Gap: What Gets Between You and Your Greatness, menjelaskan ada enam cara empati yang akan membentuk kepemimpinan. Yaitu empati membangun keterikatan, empati memberikan pemahaman, empati mengajarkan kita hadir ketika bawahan membutuhkan, empati membawa pada pengertian, empati mempertajam ketrampilan sosial, dan empati membangun iklim komunikasi yang lebih baik.

Baca Juga  Belajar Parenting Sejak Muda

Solusi Integrasi Sosial

Baron dan Byrne (2005) menyatakan dalam buku psikologi sosial bahwa empati adalah merupakan suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasakan simpatik, mencoba menyelesaikan masalah dengan mengambil perspektif orang lain. Dari pengertiannya bahwa empati membuat kehidupan sosial kita khususnya bangsa Indonesia yang penuh dengan perbedaan menjadi bangsa yang kuat secara sosial.

Kepemimpinan empati akan menjadi amunisi kita sebagai individu dalam menyemai nilai nilai kebaikan dalam masyarakat yang beragam. Karena, empati juga akan membuat kita tidak memaksakan standar hidup kita kepada orang lain. Sebab, pada dasarnya pemaksaan standar hidup adalah salah satu masalah dalam bangsa ini. Sehingga banyak terjadi kecemburuan sosial karena adanya gap sosial yang diakibatkan dari pemaksaan penyeragaman standar dalam hidup.

New generation ini harus disambut dengan baik karena merupakan aset untuk memperbaiki tatanan sosial dan ekonomi Indonesia yang hari ini mempunyai gap yang sangat jauh. Indonesia perlu diperkenalkan lagi dengan istilah gotong royong, Jepang sudah maju dengan konsep ini.

Konsep yang lahir dari empati yang tinggi pun pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan konsep zakatnya (Implementasi dari Kepemimpinan Empati) menjadikan negeri yang dipimpinnya sejahtera dan tidak ada kesenjangan ekonomi di dalamnya. Indonesia dengan potensi zakatnya sebesar 233 Triliyun merupakan ladang yang tepat untuk menyemai kepemimpinan empati lewat generasi baru yang tumbuh di era new normal.

Pemimpin Indonesia kedepannya harus mengerti lebih jauh lagi terkait karakter generasi baru yang lahir setelah pandemi ini. Generasi yang punya kepedulian sosial tinggi, menolak kedzoliman yang ada, dan punya jiwa melawan dan berkawan yang tepat pada konteksnya. Proses membangun kehidupan sosial berbangsa sudah harus mulai shifting dari arah lama menuju arah baru yang lebih menyesuaikan dengan karakter generasi. Ketika generasi baru ini tidak disambut dengan baik akan tetap terpampang nyata angka kesenjangan sosial dan ekonomi yang tinggi di Indonesia. Ketika kepemimpinan empati tidak mulai diterapkan oleh para pemimpin pemimpin politik maka Indonesia akan tetap berada di old normal dengan old mindset.

Bagikan
Post tags:
Post a Comment