f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
munir

Munir, Kemanusiaan dan Keberpihakan

17 tahun sudah kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib, namun sampai detik ini belum ada titik terang atas keadilan yang masyarakat harapkan, utamanya keluarga. Hingga saat ini aktor intelektual belum juga terungkap dan tertangkap. Pollycarpus yang telah meninggal seakan menjadi aktor tunggal atas pembuhuhan Munir.

Apapun alasannya, menghilangkan nyawa seseorang, apalagi tanpa alasan yang jelas; nyata-nyata adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia, pelanggaran terhadap anugerah Tuhan atas kehidupan. Seperti kata Marthen Kriale, bahwa HAM adalah hak yang bersumber dari Tuhan. Dipertegas oleh DF. Scheltens, bahwa HAM adalah hak yang diperoleh setiap manusia sebagai konsekuensi seseorang dilahirkan menjadi manusia.

Pembunuhan Munir menyisakan nurani kemanusiaan

yang sangat mendalam karena menyangkut keberadaan manusia di dunia. Membiarkan kasus ini terbengkalai dari rezim ke rezim; tentu memberikan kekecewaan yang juga mendalam atas harapan seluruh masyarakat untuk mengungkap kasus ini hingga ditemukan sang aktor intelektual pembunuhan.

Harapan atas penuntasan pembunuhan Munir tentu tertuju pada pemerintah karena pemerintah yang memiliki wewenang mengungkap dan menegakkan HAM. 17 tahun bukan waktu yang singkat atas penantian pengusutan sang aktor intelektual, dan realitas rezim saat ini belum memberikan sinyal positif. Minimal memberikan tanggapan atas kegelisahan publik terhadap penuntasan penegakan HAM pada kasus pembunuhan Munir.

Pelanggaran HAM Berat

Bisa kita pastikan bahwa pembunuhan Munir adalah pelanggaran hak asasi manusia berat karena menyangkut kejahatan kemanusiaan.

Pasal 7 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menjelaskan bahawa ada dua jenis pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Tentu, kasus pembunuhan munir ini adalah kejahatan kemanusiaan di mana secara rinci dijelaskan dalam Pasal 9; bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

Baca Juga  Gadis Kretek: Sebuah Refleksi

Ada 10 hal serangan yang dimaksud yaitu: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid.

Dalam kasus Munir, salah satu unsur itu sudah terpenuhi dimana pembunuhan tersebut telah diputuskan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Pollycarpus, yaitu pilot Garuda Indonesia GA-947, yang juga agen Badan Intelijen Negara (BIN). Semestinya, hal ini dapat menjadi pintu masuk untuk terus mengejar dan mengungkap siapa dalang, siapa aktor intelektual atas pembunuhan Munir.

Janji Politik

Upaya mengungkap aktor intelektual pembunuhan Munir selalu menjadi komoditas politik dalam janji-janji kampanye capres-cawapres dari periode ke periode. Sayangnya, janji hanya sekedar janji! Realitasnya? Jauh dari harapan.

Tak terkecuali Joko Widodo sebagai presiden saat ini. Joko Widodo juga menempatkan kasus pelanggaran HAM atas pembunuhan Munir sebagai komoditas politik di periode pertama. Janjinya untuk menuntaskan dengan mengungkap aktor intelektual menggebu-gebu dan berusaha sangat meyakinkan serta mengambil hati rakyat.

Dua periode kepemimpinan presiden Joko Widodo berjalan, namun hingga saat ini tak kunjung memperlihatkan langkah konkret. Dalam temuan Kontras, janji itu justru menimbulkan paradoks di mana pemerintah saat ini justru memberikan ruang istimewa, kesempatan, kehormatan pada orang-orang yang diduga kuat sebagai aktor intelektual.

Baca Juga  Pay It Forward
Kerberpihakan

Kasus Munir, di samping tentang kemanusiaan yang adil dan beradab juga tentang ke-Tuhan-an. Semua yang merasa dirinya manusia yang ingin dihargai keberadaan hidupnya di dunia serta memiliki iman yang kuat mesti meneriakkan lantang tiada henti atas upaya paksa menghilangkan nyawa seseorang.

Yang dikhawatirkan jika kasus ini menguap begitu saja, dianggap kadaluwarsa, dan ada upaya pemutihan kasus oleh pemerintah. Faktanya, Tim Pencari Fakta (TPF) yang diberikan tugas menggali, menyoroti dan mengurai kasus kematian Munir tiba-tiba menyatakan “fakta gelap”: dokumen laporan hilang!

Tentu semua tercengang mendengar hal itu. Artinya, selalu ada upaya untuk menghilangkan jejak atas pengungkapan aktor intelektual dalam kasus pembunuhan Munir. Hal ini harus dibaca publik bahwa tak ada sedikitpun niat baik atas penegakan hak asasi manusia sebagaimana janji politik 7 tahun silam. Anehnya, peristiwa pelanggaran HAM justru terus terjadi, berulang-ulang, yang dibuktikan dengan represifnya aparat terhadap pengkritik pemerintah.

Sebagai rakyat dan tentu sebagai manusia, bangsa ini semestinya membuka mata lebar-lebar bahwa apa yang terjadi pada Munir akan sangat mungkin terjadi pada siapa saja; pembunuhan, penghilangan paksa terhadap nyawa, penganiayaan dan seluruh tindak pelanggaran hak asasi manusia akan terus “menghantui” perjalanan bangsa kedepan jika bangsa ini hanya duduk diam membisu.

Bagikan
Post tags:
Post a Comment