f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
toleransi

Menyemai Narasi Toleransi kepada Generasi Pandemi

Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang tidak sedikit, salah satunya adalah masalah intoleransi di tengah heterogenitas masyarakat. Buya Syafii Ma’arif pada sebuah kesempatan pernah berkata, “Kita ini kan…bangsa ini seperti menghianati sumpah pemuda, karena mungkin ada rantai terputus di masa lampau kita, sehingga toleransi orang itu berkurang.”

Berkurangnya toleransi pada masyarakat (masyarakat Indonesia)–meminjam istilah Buya–perlu menjadi perhatian bersama. Jika ini benar adanya, apa penyebabnya? Siapa subjeknya? Dan bagaimana orang tua, baik ayah maupun ibu, untuk menanggulanginya?

Indonesia Darurat Toleransi

Umar Hasyim dalam Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama mendefinisikan toleransi sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.

Mengutip artikel djkn.kemenkeu.go.id tentang hasil studi Microsoft, dengan judul “Civility, Safety and Interaction Online” edisi ke-5 Tahun 2021 mengemukakan bahwa Indonesia menduduki peringkat 29 dari 32 wilayah untuk tingkat keberadaban (civility) bermedia sosial. Peringkat ini berada di bawah Singapura dan Taiwan. Tingkat keberadaban bermedia sosial di atas meliputi risiko penyebarluasan berita bohong/hoaks; ujaran kebencian (hate speech); diskriminasi misogini; cyberbullying, tindakan sengaja memancing kemarahan (trolling); pelecehan terhadap kelompok marjinal (micro-agression); penipuan; mengumpulkan data pribadi untuk disebarluaskan ke media sosial guna merusak reputasi (doxing); hingga rekrutmen kegiatan radikal, terror, serta pornografi.

Berkaitan dengan hasil studi Microsoft tentang penilaian civility di atas, jika meminjam kategori yang Bruce A Robinson buat, maka indikator-indikator di atas merupakan bentuk-bentuk konkrit intoleransi. Melihat rendahnya peringkat Indonesia, hal ini menunjukkan masih tingginya intoleransi di tengah masyarakat; kasarnya, penulis istilahkan, “Indonesia Darurat Toleransi”.

Baca Juga  Perempuan Juga Bisa
Fenomena Learning Loss dan Pengaruhnya terhadap Generasi Pandemi

Pandemi Covid-19 cukup lama bercokol di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Bencana non-alam ini memberikan dampak cukup signifikan dalam beberapa sektor kehidupan, salah satunya segmen pendidikan. Pandemi Covid-19 menjadikan penerapan pendidikan di Indonesia berubah, baik metode maupun strukturnya. Ketidaksiapan para pelaku pendidikan dalam menerapkan metode pembelajaran jarak jauh memerikan impact secara langsung terhadap siswa, seperti tingginya interaksi siswa dengan gadget dan munculnya fenomena loss learning.

Interaksi siswa dengan gadget merupakan suatu hal yang baik ketika dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan porsinya, serta di bawah pengawasan orang tua maupun guru. Namun, ketika interaksi dengan gadget ini overdosis, maka mimpi buruk akan menghinggap pada kehidupan siswa. Overdosis sebagaimana penulis maksud diwujudkan dalam bentuk kecanduan gawai pada anak.

Selanjutnya, The Education and Development Forum mengartikan term loss learning sebagai situasi di mana peserta didik kehilangan pengetahuan dan keterampilan, baik secara umum maupun khusus atau terjadinya kemunduran secara akademik karena kondisi tertentu seperti kesenjangan yang berkepanjangan atau ketidakberlangsungan proses pendidikan.

Dua dampak negatif di atas ketika bertemu dan menjadi satu dalam diri seorang siswa maka akan berakibat buruk, khususnya pada sisi psikolosgis. Siswa pada generasi pandemi yang terkena dua dampak buruk ini akan memunculkan tanda-tanda negatif, seperti : mudah marah, perkembangan kedewasaan yang lambat, tidak mempertimbangkan berbagai hal dalam mengambil keputusan, dsb. Tanda-tanda negatif tersebut kemudian akan menyulut tindakan-tindakan intoleran pada diri siswa, termasuk dalam berperilaku di media sosial.

Dengan adanya kedekatan para siswa dengan media sosial maupun dunia digital, menjadi sebuah tantangan tersendiri. Apalagi ketika harus berhadapan dengan siswa yang memunculkan sisi-sisi buruk sebagaimana penulis sampaikan di atas dari adanya pembelajaran jarak jauh.

Baca Juga  Duka Palestina, Dunia Jangan Sekadar Gimik
Media, Perempuan dan Narasi Toleransi

Dari pembahasan-pembahasan di atas, muncul sintesis bahwa fenomena kecanduan gawai dan learning loss karena pandemi Covid-19 mengakibatkan tingginya intoleransi pada generasi pandemi di Indonesia. Lantas untuk menjawab tantangan ini, perlu kiranya dilakukan tindakan-tindakan preventif dan kuratif, baik oleh orang tua, guru, dan orang-orang terdekat. Tindakan preventif diberikan kepada siswa yang belum terkena dampak negatif pembelajaran jarak jauh; tindakan kuratif diberikan kepada siswa yang sudah terkena dampak negatif pembelajaran jarak jauh akibat pandemi Covid-19.

Dalam praktiknya, semua pihak memiliki kewajiban untuk melakukan tindakan, baik preventif maupun kuratif. Perempuan, baik sebagai orang tua maupun guru dengan bekal modal sosialnya, menurut hemat penulis dapat memaksimalkan perannya untuk melakukan tindakan preventif maupun kuratif tersebut. Tindakan yang dapat kita lakukan meliputi :

1. Senantiasa memberikan edukasi dan bimbingan serta pengawasan kepada siswa/anak dalam pemanfaatan gawai dan pelaksanaan pembelajaran jarak jauh. Sebisa mungkin pendampingan terhadap siswa/anak jangan sampai terlewat. Hal ini memerlukan kolaborasi antara perempuan (baca : ibu) dan laki-laki (baca : ayah) berikut juga guru.

2. Melakukan komunikasi aktif dengan siswa/anak, agar ketika muncul permasalah/tindakan-tindakan di luar batasan dapat ditanggulangi lebih cepat.

3. Berikan ruang kepada siswa/anak untuk menyampaikan keluh kesah/curhatannya, dan berikan feedback yang baik kepada mereka.

4. Atur jadwal harian sesuai dengan karakteristik dan psikologis siswa/anak. Hal ini akan menghindarkan siswa/anak dari rasa bosan.

5. Buatlah kegiatan pembelajaran yang variatif dengan mempertimbangkan aspek afektif, kognitif dan psikomotoriknya.

*

6. Senantiasa mengapresiasi prestasi yang siswa/anak raih dan berilah reward untuk mereka.

7. Kuasai dan manfaatkan media sosial maupun media digital dalam memberikan edukasi, pengawasan dan peringatan kepada siswa/anak.

Baca Juga  Peran Female Influencer dalam Menjaga Kesejukan Bermedia Sosial

8. Berkonsultasi dengan berbagai pihak (misal : psikolog, guru, dan orang tua) di dalam pendampingan dan pengawasan terhadap anak.

9. Curahkan waktu dan kasih sayang kepada siswa/anak agar mereka nyaman dan senantiasa mendengarkan hal-hal yang orang tua/guru sampaikan kepadanya.

10. Selalu meg-update cara dan metode pendidikan terhadap siswa/anak sesuai dengan karakter yang mereka miliki.

11. Jika memiliki waktu senggang, orang tua maupun guru dapat membagikan pengetahuan dan pengalamannya dalam mendidik siswa/anak kepada orang lain. Hal ini bisa memanfaatkan media sosial/media digital.

Semoga pada Milad 2 Tahun Rahma.ID dengan mengusung tema “Perempuan, Kasih Sayang dan Perdamaian”, toleransi dapat kita semai dengan kasih sayang dan saling memahami antar makhluk hidup; serta mengajarkannya sedini mungkin kepada anak dan keluarga kita.

Referensi

Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar menuju Dialoq dan Kerukunan Antar Umat Beragama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), 22.

Tim Penyusun, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 200, (Jakarta: The Wahid Institute, 2010), 23-24

Djkn.kemenkeu.go.id (26 Juli 2021). Etika Bermedia Sosial. Diakses pada tanggal 17 April 2022 dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-pekalongan/baca-artikel/14086/Etika-Bermedia-Sosial.html

Bagikan
Post a Comment