f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kontes kecantikan

Menunjukkan Eksistensi Tak Harus dari Kontes Kecantikan

Belakangan ini jagat dunia maya sangat ramai dan heboh dengan unggahan Instagram Story Direktur Miss Universe Indonesia Bali, Sally Goivanny. Unggahan yang berisi tangkapan layar percakapan WhatsApp tentang adanya laporan bahwa peserta Miss Universe Indonesia 2023 menjalani pemeriksaan tubuh dalam kondisi telanjang menjadi perbincangan hangat. Bukan sekedar body checking biasa, akan tetapi kabar yang beredar menyebutkan jika beberapa oknum meminta para peserta untuk telanjang di depan beberapa lelaki, beberapa juga medokumentasikan dalam foto.

Mencuatnya kasus yang sampai membuat CEO Miss Universe Indonesia mengundurkan diri tersebut memanglah baru terjadi pada kontes kecantikan, khususnya di Indonesia. Namun, selain itu memang kontes kecantikan sejak dulu awal keberadaannya sampai kemudian masuk ke Indonesia kerap kali mengundang ketidaksetujuan dari berbagai pihak dengan berbagai alasan. Dari mulai sebagai ajang pemuasan nafsu lah, ada yang menyebut sebagai bentuk eksploitasi wanita, ataupun sebagai lahan bisnis para kapitalis.

Kontes Kecantikan sebagai Sebuah Komoditas

 Miss Universe atau kontes kecantikan merupakan sebuah ajang kontes yang sudah lama berlangsung. Berawal dari kegiatan pemasaran yang terjadi di Amerika Serikat, lambat laun seiring perkembangan zaman kegiatan tersebut berubah menjadi sebuah ajang kontes kecantikan yang pesertanya merupakan wanita dari seluruh dunia. Tertulis pada laman resminya, Miss Universe merupakan salah satu kegiatan yang bertujuan memberdayakan perempuan untuk mengembangkan kepercayaan diri yang mereka butuhkan demi mencapai yang terbaik.

Jika kita telisik lebih dalam, kegiatan tersebut memang tampak sebagai kegiatan yang dapat kita katakan pemberdayaan kaum perempuan. Karena perempuan-perempuan yang terpilih kemudian bukan sembarang perempuan. Akan tetapi selain memiliki paras yang cantik, ia juga harus memiliki kecerdasan yang mumpuni dan kepribadian yang matang. Namun, jika wanita dalam hal kecantikan, kecerdasan, dan juga kepribadiannya menjadi sebuah komoditas, bukankah itu sama saja dengan menjadikan wanita sebagai sebuah objek pasar?

Baca Juga  Perlindungan terhadap Perempuan dan Usaha Merawat Peradaban

Mengutip dari jurnal dengan judul Kontes Kecantikan dan Eksploitasi Perempuan dalam Media, oleh Hermansyah, bahwa dalam hal kontes semacam itu, secara tak langsung mengindikasikan bahwa mereka (perempuan) hanyalah sebuah objek yang dikelola sedemikian rupa menjadi tayangan yang menghasilkan keuntungan bagi kaum kapitalis. Selain itu, kecantikan yang seharusnya bisa setiap wanita rasakan dan miliki, seakan menjadi terbatas hanya segelintir orang tertentu saja yang memilikinya, tatkala sebuah kecantikan menjadi sebuah item pada ajang kecantikan.

Walaupun banyak yang beranggapan bahwa kontes semacam itu tidak hanya bicara soal kecantikan saja akan tetapi juga soal kecerdasan dan kepribadian, tetap saja patokan utama dari kegiatan yang telah berlangsung lama itu tidak lain soal fisik. Karena jika bicara soal dampak sosial, kecerdasan, dan juga kepribadian, seharusnya hal-hal semacam itu dapat siapapun realisasikan tanpa harus menyesuaikan fisik dengan yang terbentuk oleh konstruk sosial yang ada. Toh masih banyak wadah-wadah lain khususnya untuk kaum wanita agar bisa mengembangkan diri tanpa harus serta merta ‘menjual’ tubuh mereka dengan komoditas pasar yang mana tentu orang di belakangnya ialah para kaum patriarki.

Jikapun kegiatan tersebut masih berjalan dengan alasan lewat kontes semacam itu bisa turut mengenalkan budaya maupun pariwisata kita pada dunia, bukankah masih banyak juga cara lain untuk memperkenalkan hal tersebut. Tanpa harus turut menjadikan standarisasi kecantikan pada wanita menjadi suatu ajang. Yang mana dampaknya akan kembali lagi pada perempuan-perempuan di seluruh dunia dalam mengartikan makna cantik. Sebut saja kita bisa mengenalkan budaya dan pariwisata di negeri ini melalui perhelatan MotoGP di Mandalika, atau yang akan datang kita pun akan menjadi tuan rumah FIFA World Cup U-17.

Baca Juga  Partisipasi Perempuan dalam Penanggulangan Bencana

Mengutip dari laman Republika, dalam sebuah artikelnya tertulis bahwa sejarah di negeri ini pun sedari dulu sampai masa orde baru selalu menolak ajang-ajang kecantikan semacam itu. Berawal dari penolakan kaum wanita di Semarang pada tahun 1935, Gerwani yang menolak hal serupa di tahun 1960an, pelarangan oleh Ibu Tien Soeharto sekitar tahun 1970, hingga Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo yang juga menerbitkan pelarangan penyelenggaraan Puteri Indonesia maupun mengirimkan wakilnya ke luar negeri.

Kecantikan Bukan Soal Pengakuan

Sebagaimana telah penulis singgung sebelumnya, walaupun kontes kecantikan dewasa ini mempunyai nilai positif baik bagi perempuan yang turut serta ataupun bagi daerah atau negara sebagai ajang mempromosikan budaya dan pariwisata, tetap saja penyajiannya dalam sebuah kontes kecantikan sangat kurang pas. Karena dalam hal ini konstruk sosial telah masyarakat bentuk sedemikian rupa, kecantikan terstandarisasi, wanita hanya menjadi objek untuk kebutuhan pasar.

Kontes kecantikan semacam ini tidak jauh bedanya dengan penerapan ujian nasional di negeri ini. Yang mana jika dalam kontes kecantikan, kecantikan kontestan perempuan yang terstandarisasi, sedangkan dalam kasus ujian nasional, kemampuan siswanya yang terstandarisasi. Padahal keduanya sama-sama qodrat Tuhan yang melekat pada setiap individu. Kecantikan perempuan tentunya akan berbeda-beda jika kita tanyakan pada orang-orang yang berbeda pula. Kemampuan setiap orang pun berbeda-beda tentunya, dan kedua hal itu tidak memiliki standar tetap. Karena jika ada standarisasi dalam dua hal tersebut akan menimbulkan mindset soal cantik dan tidak cantik, mampu dan tidak mampu.

Seorang perempuan tentu harus menganggap dirinya cantik, menganggap dirinya mampu, dan menganggap dirinya cerdas. Tanpa harus hal-hal tersebut mendapat pengakuan dari orang lain atau kelompok tertentu. Bukan pengakuan yang seorang perempuan butuhkan dalam menunjukkan eksistensi diri, melainkan bukti dan aksi yang nyata. Kecantikan bukan soal pengakuan, tapi itu soal estetika, dan estetika itu soal etika. Sebagai seorang perempuan muslim khususnya tentu tahu harus berkiblat ke mana dalam soal etika. Karena jika hanya terus menjadikan orang lain sebagai patokan, menjadikan pengakuan sebagai alat ukur, maka sampai kapanpun kecantikan itu tak kan kalian dapatkan.

Baca Juga  Urgensi Perempuan Muslim dalam Literasi Digital

Maka, dalam menyikapi kasus body checking yang sampai mengharuskan untuk bertelanjang bulat, alangkah baiknya sebagai seorang muslimah menghindari hal-hal semacam itu, baik dalam kontes kecantikan ataupun dalam hal pekerjaan. Terlebih jika hal tersebut harus kalian lakukan di depan laki-laki. Tubuh wanita itu berharga, nilainya tidak bisa diperjualbelikan begitu saja, kecuali dengan lawan jenis yang memang secara sah merupakan pasangan hidup.

Terakhir, saya akan mengutip kata-kata dari seorang biksu, penulis, sekaligus aktivis HAM asal Vietnam bernama Thich Nhat Hanh yang bunyinya, “Menjadi cantik berarti menjadi diri sendiri. Kamu tidak perlu diterima oleh orang lain, tetapi kamu harus menerima dirimu sendiri”.

Bagikan
Post a Comment