f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
gender

Menjelajahi Ketimpangan Gender: Perbedaan Ideologi dan Dampaknya terhadap Pernikahan

Ketidaksetaraan gender merupakan topik yang telah memicu diskusi selama bertahun-tahun, terutama dalam bidang perubahan sosial. Berbagai ideologi dan teori bermunculan untuk memahami dan mengatasi permasalahan ini. Salah satu tokoh terkemuka dalam wacana ini adalah Karl Marx, yang teori kelasnya menyoroti kesenjangan ekonomi dan implikasinya dalam konteks masyarakat yang lebih luas. Selain itu penerus pemikiran Marx lainnya seperti Mazhab Frankfurt telah mengkritik objektivitas dan netralitas pengetahuan ilmiah, dengan menyatakan bahwa sains dapat melanggengkan ketidakadilan.

Salah satu aspek di mana ketidaksetaraan gender masih menjadi hal yang signifikan, meskipun sering diabaikan, adalah wacana seputar hubungan gender. Ketidaksetaraan gender, yang pada dasarnya merupakan suatu sistem yang merugikan laki-laki dan perempuan, dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk kebijakan pemerintah, interpretasi agama, kepercayaan tradisional, dan asumsi ilmiah (Fakih, 2020).

Ketimpangan ini terwujud dalam berbagai cara: pemiskinan ekonomi, ketidakberdayaan politik, stereotip negatif, kekerasan berbasis kekuasaan, beban kerja yang tidak setara, dan penguatan nilai-nilai peran gender (Fakih, 2020). Ketidakadilan ini terutama terlihat dalam kehidupan perempuan pekerja, yang seringkali harus menjalankan banyak peran dan tanggung jawab.

Dalam konteks Indonesia, pernikahan seringkali dibingkai sebagai institusi sakral, dengan laki-laki mengambil peran kepemimpinan dan perempuan sebagai pengikut. Namun kekerasan berbasis gender sering terjadi dan penindasan ini didominasi oleh laki-laki. Perilaku ini berasal dari ideologi yang mengakar seputar relasi gender, yang melanggengkan ketidakadilan dalam rumah tangga.

Ideologi memainkan peran penting dalam membentuk persepsi dan tindakan kita. Konsep power/knowledge Michel Foucault menekankan bahwa kekuasaan dilaksanakan melalui pengendalian pengetahuan dan wacana, mempengaruhi norma-norma masyarakat. Ideologi, seperangkat keyakinan dan nilai-nilai yang mendukung kepentingan sosial tertentu, berdampak pada pengambilan keputusan dan perilaku. Teori psikologi sosial, seperti Theory of Planned Behavior, yang diintroduksi oleh Ajzen dan Fishbein, lebih jauh menyoroti hubungan antara sistem kepercayaan, sikap, dan tindakan.

Baca Juga  Hak-hak Pasangan dalam Pernikahan Menurut Ajaran Islam, Rahmania Wajib Tahu!
Ragam pemikiran feminisme sebagai ideologi perkawinan: Sebuah sketsa singkat

Feminisme sering disalah artikan sebagai gerakan melawan laki-laki, dianggap sebagai pemberontakan terhadap norma-norma masyarakat seperti pernikahan dan peran rumah tangga, serta dianggap tidak wajar. Kesalahpahaman ini perlu diperbaiki untuk mendorong penerimaan terhadap hubungan gender yang egaliter dalam pernikahan. Untuk memahami feminisme, penting untuk mengenali sifat feminisme yang beragam, mencakup berbagai perspektif dan pendekatan. Posisi Qibtiyah menempatkan perempuan sebagai “sama atau berbeda” dari laki-laki, sehingga menimbulkan perdebatan persamaan-perbedaan (Bacchi 1990). Perdebatan ini dicontohkan oleh teori pemaksimal-meminimalkan yang diperkenalkan oleh Catherine Stimpson (Chodorow 1978).

Posisi yang memaksimalkan, didukung oleh beberapa feminis, menggarisbawahi perbedaan gender, sementara yang meminimalkan menekankan pada meminimalkan perbedaan berdasarkan jenis kelamin. Banyak kritik, terutama terhadap para pemaksimal, seperti pernyataan Epstein (1988) yang menyatakan bahwa gagasan ini tidak memiliki dukungan empiris dan tidak dapat menjadi acuan kesetaraan gender (Qibtiyah 2020). Intinya, berbagai gerakan feminis memiliki titik awal yang sama: mengakui dan mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan demi kesetaraan, martabat, dan kebebasan di dalam dan di luar rumah (Fakih 2020). Namun, beragam ideologi, paradigma, dan teori membentuk pandangan berbeda mengenai sifat, penyebab, dan solusi atas penindasan dan eksploitasi perempuan. Berikut ini adalah sketsa singkat tentang ragam ideologi feminisme dalam memandang perkawinan.

Feminisme Liberal.
Didasarkan pada keyakinan bahwa kebebasan dan kesetaraan berasal dari rasionalitas dan pemisahan antara ranah privat dan publik (Fakih 2020). Mendukung persamaan kesempatan dan hak karena tidak ada kesenjangan gender yang melekat. Laporan ini mengkritik ketidaksesuaian antara janji liberalisme dan diskriminasi terhadap perempuan, serta mendorong akses yang lebih luas untuk memberantas ketidaksetaraan gender. Namun, pendekatan ini mengabaikan ideologi patriarki dan faktor sosio-ekonomi yang lebih luas yang berkontribusi terhadap kesenjangan (Fakih 2020).

Baca Juga  Catatan Reflektif di Hari Kartini: Kekerasan terhadap Perempuan, ‘Diam’ itu Bukan Lagi Emas

Feminisme Radikal
Muncul dari perjuangan melawan seksisme Barat pada tahun 1960-an, kelompok ini memandang kecenderungan menindas laki-laki dan ideologi patriarki sebagai isu sentral. Mereka menganggap laki-laki, baik secara biologis maupun ideologis, sebagai tantangan utama bagi perempuan. Patriarki adalah akar penyebab penindasan, dan hierarki seksual melanggengkan dominasi laki-laki. Meskipun penting untuk memahami ketidaksetaraan gender, pendekatan ini dikritik karena terlalu berfokus pada perbedaan biologis dan mengabaikan faktor lain seperti ras dan kelas (Fakih 2020).

Feminisme Marxis
Berbeda dengan feminisme liberal dan radikal, pendekatan ini melihat penindasan perempuan terkait dengan perjuangan kelas. Hal ini sejalan dengan hubungan suami-istri dengan dinamika borjuasi-proletariat. Status perempuan mencerminkan kemajuan masyarakat. Determinisme ekonomi mendasari perspektif ini, menekankan perjuangan kelas dan transformasi ekonomi. Namun, pandangan Marxis sering kali dibatasi, misalnya pada masa pemerintahan orde baru di Indonesia yang menganggap Marxisme tabu (Laksana 2017).

Feminisme Sosialis
Menggabungkan feminisme Marxis dan radikal, laporan ini menyoroti ketidakadilan gender dan kelas sebagai hal yang saling berkaitan. Ia mengkritik kapitalisme dan penindasan gender, dengan mempertimbangkan konstruksi sosial dan faktor ekonomi. Peran gender dipandang sebagai konstruksi sosial, yang dilanggengkan oleh keluarga dan pembagian kerja. Ia mengkritik kapitalisme dan penindasan gender. Namun, lembaga ini kesulitan mengintegrasikan analisis kelas dan gender secara koheren (Fakih 2020).

Feminisme Muslim
Menjelajahi persimpangan kompleks antara Islam dan feminisme, ia terbagi menjadi feminisme Islam, yang memasukkan ajaran Islam ke dalam feminisme, dan feminisme Muslim, di mana umat Islam mendukung cita-cita feminis tanpa menggabungkannya dengan Islam (Qibtiyah 2019). Sudut pandang tersebut beragam, mulai dari konservatif (menekankan peran alamiah), moderat (mengizinkan kontribusi perempuan), hingga progresif (menantang norma gender) (Qibtiyah 2019).

Baca Juga  Hidup adalah Kebermanfaatan

Singkatnya, feminisme mencakup beragam ideologi. Mulai dari liberal yang berfokus terhadap kesetaraan hingga kritik radikal terhadap patriarki, pemikiran Marxis yang mengaitkan penindasan dengan perjuangan kelas, keterkaitan kelas dan gender dalam paham sosialis, hingga interaksi kompleks antara prinsip-prinsip Islam dan feminis dalam feminisme Muslim. Memahami beragam perspektif ini adalah kunci untuk mengapresiasi berbagai diskusi seputar hubungan gender dalam pernikahan.

Penutup

Memahami ideologi-ideologi ini membantu kita memahami kompleksitas ketidaksetaraan gender dan dampaknya terhadap pernikahan. Masing-masing pendekatan menawarkan wawasan dan solusi unik. Sehingga berkontribusi terhadap dialog yang sedang berlangsung dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi ideologi-ideologi ini secara mendalam melalui studi empiris, sebab tentu masih banyak ragam ideologi feminisme yang belum tertulis, setidaknya dalam tulisan ini. Sehingga menawarkan pemahaman yang lebih mendalam tentang pengaruhnya terhadap dinamika kehidupan nyata.

Tulisan ini pernah dipresentasikan dan dipublikasikan pada 1st International Conference of Applied Psychology and Humanities 2022 dengan tema “Families Mental Health and Challenges in the 21st Century”. Tulisan ini dapat dikutip di Wicaksana, B.S. (2023). A brief sketch of various ideologies regarding gender relations in marriage from the perspective of feminism. In Arifin et al. (eds), Families Mental Health and Challenges in the 21st Century: Proceedings of the 1st International Conference of Applied Psychology on Humanity (ICAPH 2022). (pp. 154 – 161). United States: CRC Press. DOI: 10.1201/9781003402381-21

Bagikan
Post a Comment