f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
keluarga

Menciptakan Keluarga Harmonis dengan Menerima Perbedaan

Hidup menjadi makhluk sosial mengajarkan kita melihat kemajemukan yang unik dan luas. Hidup untuk saling berdampingan, menyayangi, dan mengharapkan sesuatu menuju kebahagiaan yang satu. Kemajemukan ini akan mengantarkan kita kepada pemahaman esensial yang kita butuhkan demi pencapaian level kebahagiaan individu dan kelompok.

Saya teringat sebuah quote dari guru bangsa kita, Abdurrahman Wahid atau sapaan akrabnya Gus Dur. Ia mengatakan, “Yang dilarang oleh agama Islam adalah perpecahan bukan perbedaan.” Tentu ada beragam maksud dari kata perbedaan, tergantung konteks yang sedang dihadapi.

Untuk menuju pemahaman mendasar yang saya katakan tersebut, kita perlu paham apa yang harus kita sentuh untuk memulai penerimaan dari sebuah cita-cita toleransi. Mulai dari sebuah lingkup yang dekat dengan kita menjadi satu hal penting untuk mengajarkan hal kecil, umum, bahkan yang sifatnya privasi.

Keluargalah yang darinya seorang manusia terlahir suci, tidak tahu apa-apa akan memahami segalanya. Kita bisa paham bahwa keluarga merupakan madrasah pertama dari pengalaman belajar manusia.

Jika sikap berangkat seseorang baik maka keluarganya telah mencipta lingkungan yang baik. Dan tentunya berpengaruh pada praktik seseorang itu di luar. Jika sebaliknya, maka bisa jadi didikan dari keluargalah kurang baik.

Mendamba keluarga harmonis merupakan harapan semua orang. Orang tualah yang menjadi aktor utama mengawali, mencipta, dan menumbuhkan rasa kekeluargaan indah dan sentosa. Lagi-lagi, sebab orang tua yang akan menjadi tokoh panutan pertama anak sebelum ia mengenal kehidupan besar di luar.

Memulai Kesadaran

Ketika kita berbicara tentang pendidikan di lingkup keluarga, mungkin beberapa dari kita akan bertanya-tanya; pendidikan apa yang seharusnya agar seluruh anggota keluarga memiliki rasa saling percaya, cinta kasih, dan dapat bersikap ramah. Kemudian, menerima perbedaan dari seseorang yang merupakan saudara terdekat kita. Dan untuk menjawabnya, kita harus paham apa alasan keluarga menjadi pondasi awal mengajarkan rasa keterbukaan, sikap lapang, dan ramah menerima perbedaan.

Baca Juga  Kala Anak Muda Berkata: Mending Nikah Aja!

Mayoritas dari kita mungkin spontan mengamini bahwa keluarga merupakan kunci penting belajar segala hal. Dari keluarga, lingkungan pertama mengenalkan kita pada sikap simpati, komunikasi, dan memahami orientasi diri untuk akhirnya mengarungi lingkungan luar. Untuk memulainya, orang tua memiliki peran penting dalam membangun semua itu.

Cita-cita membangun sebuah rumah tangga harmonis, orang tua harus memiliki kesadaran pengetahuan bahwa apa yang mereka peroleh merupakan anugerah yang baik dan unik. Jika orang tua telah menanamkan sikap tersebut, upaya menebar cinta kasih melalui toleransi terhadap segala perbedaan menjadi satu hal yang mudah untuk orang tua ajarkan pada anak-anak.

Memahami toleransi dapat dengan sikap terbuka dan menghormati setiap perbedaan yang ada di antara manusia; dengan belajar dari diri dan orang lain menemukan kesamaan sehingga terjalin kenyamanan setiap manusia. Orang lain belum bisa memahami makna bahwa manusia adalah makhluk sosial jika belum dapat menerima perbedaan baik karakter, wujud, dan kemampuan.

Dan dari berbagai perbedaan tersebut seharusnya tertanam jiwa saling melengkapi dan dilengkapi. Kemudian, hubungan tersebut akan terjalin keterhubungan yang harmonis.

***

Adanya usaha kesadaran muncul karena beberapa dari kita barangkali perlu mengadakan evaluasi dan edukasi; khususnya ketika melontarkan ungkapan perasaan atau alih-alih menasihati untuk melakukan sesuatu sesuai versi mereka.

Dalam menasihati tersebut, terkadang orang tua seakan membatasi kemampuan atau hak anak. Beberapa pengalaman membuat anak semakin  tertutup kepada orang tua; dan hal ini tidak memungkiri mereka bersikap intoleran dan kesulitan menerima dan mencintai diri mereka sendiri.

Lahir dari bangsa yang majemuk terhadap perbedaan, mulai dari ras, suku, budaya, serta identitas; melahirkan kesadaran untuk hidup berdampingan dengan perbedaan itu sendiri. Sebab untuk menebarkan cinta damai pada orang lain bukan suatu hal yang mudah. Tapi bagaimana kita menerima mereka tetap hadir dan saling percaya diri terhadap apa yang mereka miliki.

Baca Juga  Simbiosis Parasitisme dalam Pernikahan Siri

Bukan sesuatu yang sangat sulit jika kita telah menyadari keberagaman itu hadir dan tentu merupakan sebuah anugerah Tuhan agar kita sebagai hamba tetap menebar kebaikan dan memahami bahwa perbedaan adalah sebuah kekayaan Tuhan untuk kita miliki.

Ada beberapa upaya yang untuk mengajarkan kepada anggota keluarga dalam menerima perbedaan terlahir dari sanak saudara kita.

Pertama, sikap saling terbuka

Memiliki sifat saling terbuka baik komunikasi, apa yang terjadi, dan dimiliki antar anggota keluarga merupakan hal penting dalam mewujudkan hubungan yang harmonis dan saling percaya. Termasuk anak yang perlu dibimbing dalam pertumbuhannya, orang tua memiliki tugas memberi pemahaman untuk saling terbuka atas pengalaman yang telah terjadi.

Untuk dapat saling terbuka, self disclourse yang merupakan pengungkapan hal yang sangat pribadi dan privat dalam diri kepada orang lain tanpa adanya paksaan menjadi satu cara yang dapat kita lakukan.

Kedua, tanamkan sikap saling menerima dan percaya terhadap perbedaan dan kemampuan yang dimiliki

Tiap anak pasti akan berproses dan tumbuh menyesuaikan diri dengan kemampuannya. Apa yang anak miliki merupakan anugerah dan orang tua berhak menerima dengan membimbingnya tumbuh sesuai kemampuan mereka. Pengalaman  yang tumbuh darinya baik fisik, psikologi, dan emosi adalah hal yang wajar.

Apa yang tumbuh darinya perlu kita yakinkan bahwa tak lain dari anugerah Tuhan yang Maha Esa. Pun, orang tua jangan terlalu membatasi dan melarang apa yang anak gemari. Sebab ketidakpercayaan anggota keluarga secara tidak langsung mengajarkan sikap intoleransi itu sendiri. Cobalah, ajarkan dan bimbing anak dengan kata-kata yang meningkatkan percaya diri bukan membandingkan atau menjatuhkan.

Ketiga, edukasi anak tentang toleransi dan intoleransi.

Seperti dalam sebuah kutipan Hellen Keller yang mengatakan “hasil pendidikan tertinggi adalah toleransi”, maka sepatutnya orang tualah teladan terbaik anak-anaknya. Sebab apa yang dilihat dan dilakukan orang tua cenderung menjadi contoh bagi anak. Banyak cara atau tindakan kecil yang dapat keluarga utamanya lakukan untuk menanamkan toleransi pada anggota keluarga lainnya.

Baca Juga  Pernikahan Beda Harakah, Refleksi antara Pemikiran dan Perasaan

Hal paling krusial adalah memberi pengetahuan kepada anggota keluarga tentang pentingnya toleransi hadir dalam diri masing-masing. Kemudian, menghindari sejauh mungkin tindakan intoleransi yang dapat menyebabkan perpecahan dan perasaan saling menyakiti. Yang dalam praktiknya dapat menyelipkan nilai toleransi dari tindakan sehari-hari, baik terhadap keluarga di rumah maupun orang lain di luar. 

Selanjutnya apresiasi dan hargai atas apa yang telah dilakukan, yang akhirnya dapat menumbuhkan percaya diri muncul sehingga ia dapat belajar mengapresiasi dan menghargai pula apa yang orang lain lakukan. Tekankan bahwa jika perbedaan selalu muncul dari diri adalah alami dan suatu karunia terbaik Tuhan yang diberikan untuk manusia lakukan sesuai porsinya masing-masing dalam hidup berdampingan dan berkeberagaman.

Bagikan
Post a Comment