f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
sebagai ibadah

Memburu Raudhah

Tak ada yang lebih mengharukan manakala memasuki bulan kelahiran Rasulullah Saw selain dengan mengingat kembali perjalananku ke makam beliau di masjid Nabawi. Sebuah momen di mana saya berkeinginan menyapa beliau dari dekat, di tempat beliau bersemayam. Lalu bersimpuh menyampaikan shalawat dihamparan karpet hijau itu.

Meninggalkan kota Makkah, saat itu di musim haji 2019 lalu. Setelah bermukim selama hampir 32 hari, rinduku membuncah. Membayangkan betapa bahagianya, perjalanan menuju Sang kekasih agungNya, panutan seluruh umat manusia.

Waktu itu, setelah zuhur para jamaah haji di evakuasi dari kota Makkah, menempuh perjalanan panjang dengan Bis membelah jalanan menuju Kota Cahaya, Madinah. Sepanjang jalan saya memutar tasbih entah berapa kali berharap shalawat ini terdengar sampai makam beliau.

***

Setelah menempuh perjalanan  darat sekitar 12-13 jam, rombongan kami tiba di Kota Madinah. Saat itu suasana masih gelap, karena masih pukul 2 dini hari. Kami cek ini di Hotel Mabarak Silver, tempat kami tinggal selama 9 hari.

Tak jauh dari hotel kami, petugas haji memberitahu bahwa masjid Nabi hanya 300 meter saja. Di kejauhan tampak gerbang masjid yang masih di tutup dan nanti akan dibuka sekitar pukul 3 dini hari.

Meski lelah dan mengantuk, saya berencana shalat tahiyyatul masjid, shalat malam, sambil menunggu shalat jamaah subuh untuk pertama kalinya. Kemudian saya dan suami mulai menata-nata kopor di kamar serta barang-barang agar nyaman ditempati kami berempat.

Setelah istirahat sejenak, saya langsung mandi dan bersiap berangkat menuju masjid Nabawi yang selama ini hanya saya lihat di foto-foto teman yang haji atau umrah, juga di google image. Tak sabar rasanya aku berjalan cepat-cepat. Jalanan dari hotel hanya lurus saja melewati pertokoan tibalah saya masuk melalui pintu 25.

Baca Juga  Melihat Cinta di Mata Ainun

Subhanallah, hatiku berdebar dan air mataku menetes hangat di pipi. Menghayati bahwa di sini bersemayam 3 manusia mulia, Rasulullah Saw, Abu Bakar Ashiddiq dan Umar Bin Khattab. Sebuah persahabatan yang agung dan mulia sampai di liang lahat.

***

Hari pertama, pagi hari saya masih belum ke raudhah, menunggu bimbingan dan arahan Bu Nyai pembimbing kami yang ternyata menginformasikan bahwa setelah jamaah shalat isya kami bersama-sama ke raudhah.

Setelah shalat isya berjamaah, saat itu saya memilih tempat dekat pintu kayu yang ada monitor flat. Di mana informasi raudhah dibuka untuk peziarah perempuan. Sambil menunggu pintu yang dibuka sekitar pukul 11 malam,

Saya harus  menahan diri agar tidak batal dengan melakukan banyak shalat Sunnah; membaca Al-Qur’an dan tentu saja mengkhatamkan shalawat jazariyah sebagai wasilah dan salam pada beliau.

Setelah petugas mengisyaratkan pintu akan dibuka. Kami jamaah perempuan dari berbagai negara Asia, menghambur ke arah pintu kayu dan saling  berdesakan. Setelah petugas membuka, kami berhamburan sambil sama-sama menangis berlari-lari seperti orang yang dilanda kerinduan yang menyesak tak sabar bertemu dengan kekasih.

Lalu saya duduk di bawah naungan 6 payung yang menaungi area depan raudhah untuk perempuan. Sambil menunggu antrian dipanggil, saya tak henti menangis di sajadah. Melafalkan kalimah Hamdalah dan sujud syukur.

Setelah itu petugas mengizinkan kami masuk. Dengan derai air mata, hiruk pikuk peziarah yang melantunkan shalawat tak ada yang tidak menangis meski kami bedesakan.

***

“Assalamualaikum ya Sayyidina Rasulullah, Assalamualaikum ya Sayyidina Abu Bakar, Assalamualaikum ya Sayyidina Umar”.  Saya sesenggukan tanpa henti. Tak peduli badan dan kepalaku berbenturan dengan badan peziarah lain. Saya menyebutkan nama almarhum kedua orantuaku, memanggil mereka bahwa saya sudah di raudhah. Membayangkan bahwa keduanya telah mendengar suaraku dengan gembira.

Baca Juga  Belajar dari Peristiwa Maulid Nabi dan Sumpah Pemuda

Hanya 15 menit saja perjuangan pertama saya di raudhah. Petugas sudah menggiring kami keluar karena di belakang kami masih banyak peziarah yang menunggu giliran. Saya keluar sekitar pukul 1 malam.

Keesokan harinya saya mulai menyusun strategi. Perjuangan menuju raudhahku yang kedua adalah bakda shubuh. Saya memilih waktu ini supaya pulang ke hotel tidak  larut malam.

Raudhah hanya di buka di 2 waktu, ba’da isya pukul 23.00 – 01.00 dan pagi di buka pukul 07.30 – 09.00 untuk sekian ribu jamaah.

Menikmati waktu subuh di dalam masjid Nabawi,  sungguh terasa syahdu dan indah. Apalagi di area dekat gerbang kayu itu. Setiap pukul 6 kubah besar di atas kami yang akan menuju raudhah bergeser dan tampaklah langit biru dan awan putih; beberapa burung merpati yang masuk tampak sangat menakjubkan.

Para peziarah perempuan selalu riuh dan mengabadikannya dengan kamera ponsel. Saya pun tak ketinggalan. Merekam detik-detik bergesernya kubah sebagai kenangan yang tidak terlupakan.

Kali ini saya tidak tergesa-gesa. Saya malah bersantai-santai di area payung 6. Membiarkan jamaah lain yang dipanggil masuk lebih dahulu, saya memilih belakangan saja agar tidak berdesakan. Dan benar saja, terlihat petugas yang duduk kelelahan memanggil sisa peziarah termasuk saya masuk ke raudhah.

***

Raudhah lebih lengang dan longgar, saya bisa berganti-ganti tempat untuk shalat Sunnah. Saya menikmati lebih banyak waktyu sekitar 25-30 menit di sana. Lebih lama dibanding sebelumnya .

Perjuangan saya memilih waktu subuh ini, tak salah. Saya bisa menikmati sejuk dan indahnya suasana pagi masjid Nabawi ini pasca ziarah raudhah dengan berjalan-jalan mencari view yang bagus untuk dokumentasi.

Saat itu saya ingin sekali befrfoto dengn latar belakang Kubah Hijau dimana di bawahnya tepat adalah makan Nabi. Dari pintu 25 saya berjalan menuju pintu 35-40 yang kata jamaah haji yang saya temui adalah tempat yang saya maksud.

Baca Juga  Memeluk Mimpi (2): Sebuah Keberuntungan

Saya berjalan terus sampailah di mana saya di area tersebut. Panas dan sepi. Terlihat beberapa orang dari negara lain, menangis sesenggukan menatap kubah hijau. Melantunkan shalawat sambil mengangkat dua tangan layaknya orang memanjatkan doa

Saya menatap kubah hijau itu dari kejauhan, menangis bahagia. Mensyukuri tiada henti  menikmati  pandangan mata sambil terus bermonolog rindu. Rindu pada Nabi Saw, para sahabat, dan kedua almarhum orangtuaku.

Setelah itu saya meminta tolong sepasang peziarah dari tanah air  untuk mengambil foto saya. Dengan background kubah hijau itu. Sebagai kenangan bahwa diri yang selalu diliputi dosa ini, pernah menginjakkan telapak kaki yang kotor ini, mendekat-lekat dan tepat di  “Taman surga” .

Bahwa saya ingin menyampaikan pada Rasulullah segala kerinduan dan keluh  kesah, menumpahkan rintihan-rintihan betapa butuhnya saya sebagai umat beliau untuk dipanggil namanya di tepi telaga kautsar kelak dan memohon syafaat.

Menggumankan cita-cita yang mungkin terlalu tinggi, agar  bisa meminum air telaga itu langsung dari telapak tangan beliau dan mendapat syafaatnya di akhirat kelak nanti.  Selamat datang bulan Rabiul awal. Allhummasholli ala sayyinida Muhammad.

Bagikan
Post a Comment