f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
maiyah

Maiyah, Kefakiran Manusia, dan Kepemilikan Saham

Sudah cukup lama saya tidak memboikot email redaksi Rahma.id dengan tulisan-tulisan saya lagi setelah jangkep tiga bulan kemarin saya ‘pensiun’ magang menjadi reporter dalam redaksi yang dihimpun oleh Mbak Mona, dkk.

Ada satu cuplikan obrolan dengan seorang kawan yang perlu saya kemas dalam bentuk esai singkat yang hanya Rahma.id yang menurut saya bisa menampungnya. Kira-kira, tulisan yang ini sebagai salah satu bentuk kebanggaan saya untuk mendokumentasi momentum penting dan makjleg buat hati saya. Karena tulisan yang ini bukan karangan, betul-betul renungan personal yang coba saya kemas secara agak lebih materiil.

Tidak kurang dari 20   kali saya sudah mengikuti Padhangmbulan. Jadi, dalam kurun waktu lima sampai enam tahun ini, ada enam sampai tujuh kali absen, dan setiap tanggal “mbulan” (malam purnama), setiap pagi saya merasakan injeksi segalon kesegaran luar biasa yang membuat saya rindu pada suasana Maiyahan yang sarat dengan ilmu itu.

Hanya saja anehnya, sampai saat ini tidak ada selarik pun bait selawat atau secuil dalil ayat yang cementhel. Semua nglothok di luar kepala alias terkelupas dari ingatan. Jadi, tidak ada yang terhafalkan. Namun toh, Maiyah bisa menyemangati saya untuk mengikuti jenis liqa’ yang lain sehingga kekurangan itu mudah-mudahan bisa sedikit tertutupi.

Piye-piye kerjone, nandi ae olehe kerjo, tetep to butuh segoro. Segorone yo Maiyah kuwi.” Kurang lebih begitu resume atas ucapan kawan saya yang bernama Petruk itu.

Hal yang dapat saya sarikan dalam Maiyahan selama ini adalah bahwa saya tidak memiliki saham apapun dalam hidup saya. Bahkan perasaan mak ceneneng, saat saya melihat sosok bintang film cantik pun menyadari bahwa prosesnya bukan milik saya. Saya tidak pernah meminta dan tidak pernah bisa memproduksi limpahan hormon-hormon di balik proses mak ceneneng tersebut dengan bahan yang saya miliki sendiri. Bahkan, yang mengaku ‘aku’ di dalam diri saya pun sebenarnya bukan milik saya.

Baca Juga  Ikhlas dan Bersyukur Mendatangkan Nikmat Tidak Terduga

Nah, salah satu tafsir ucapan kawan saya—Petruk—itu adalah bahwa pekerjaan apapun bentuknya, penghasilannya, di manapun tempatnya, dia butuh Maiyah untuk kembali ngelingake bahwa semua itu bukan miliknya.

Hakikat Manusia: Fakir dan Lemah

Saya terkesan dengan pikirannya yang mak bedunduk itu. Perasaan untuk turut menyadari bahwa saya ini sangat fakir dan lemah. Sehingga semua bentuk pujian untuk apa saja yang siapapun sematkan pada diri saya sebenarnya tidak patut saya nikmati dan tidak perlu saya cari-cari. Biar saja yang menikmati yang empunya sendiri, yakni Allah Swt.

“Ya, karena saya tidak punya bargaining apa-apa terhadap Allah Swt., saya punya keinsyafan bahwa Dia adalah ‘Bos Mutlak’ saya. Saya sudah semestinya sepuluh ribu persen menurut pada kehendak-Nya, meskipun kehendak itu mungkin tidak masuk dalam logika saya.” Begitu ujar si Petruk yang sekarang tengah dalam kondisi “teruji” keikhlasannya menerima jenis penyakit kategori paling romantis sepanjang hidupnya.

Analoginya begini. Kalau saya bisa menciptakan tools, atau robot, atau yang kini marak disebut AI penggaruk kotoran kucing, maka dia tidak akan saya perkenankan protes jika saya suruh nyoroki telek. Kendati mungkin si robot sebenarnya merasa jijik. Bahkan, kalau dia ngadat tidak mau kerja maka tentu akan segera saya pretheli onderdilnya atau malah saya campakkan saja ke tempat sampah. Pokoknya semau saya.

Begitulah saya memaknai kedudukan hakiki saya dengan Yang Mempunyai saya. Meskipun tentu saja saya juga selalu memohon kepadaNya agar Dia selalu memberikan segala sesuatu yang mengenakkan dan tidak memberatkan saya.

Dalam hal ini pun saya sangat bersyukur bahwa trademark-nya Allah Swt. adalah Rahman dan Rahim. Bayangkan saja jika Dia itu berlaku kejam dan sewenang-wenang. Celakalah saya.

Baca Juga  Revolusi Teknologi Digital dan Dampak Terhadap Perekonomian (Part 2)

“Kerelaan untuk menerima kedudukan antara khaliq dan makhluq inilah yang saya definisikan sebagai keikhlasan. Dan, mungkin orang lain silakan kalau mempunyai definisi yang lain. Sumangga kersa. Dan, hanya definisi inilah yang menjadi kekayaan terbesar dalam hidup saya dan saya rasa lebih dari cukup untuk mencukupi kehidupan saya.” Begitu curah hati saya kepada si Petruk.

Keikhlasan Induk Kucing Betina

Implementasi definisi ikhlas ini sering saya kiaskan melalui kehidupan induk kucing betina. Ketika si kucing betina baru melahirkan, si induk masih rajin menemani merajut hari-hari. Sesekali memindahkan anak-anaknya ke sana ke mari. Namun, ketika ia mulai menyusui, kucing jantan sudah mulai berlari ke kucing betina yang lain.

Sedang si induk betina berjuang menahan lapar dan haus saat menyusui demi menghadirkan buah cinta kasih, si jantan justru menjadi ‘pengkhianat’ yang nyata. Mengumbar syahwat dengan nglenceri kucing-kucing betina tetangga. Tetapi, si induk betina yang lepas melahirkan tadi tidak sakit hati.

Barangkali si induk kucing betina berkata:

“Yah, aku harus menerima karena suamiku memang diciptakan sebagai makhluk yang harus berpoligami. Kalau dia diciptakan menjadi seekor arwana jantan maka niscaya dia akan menungguiku ketika menyusui dan mengetahui anak-anak kucing mulai bisa trantanan hingga mencari makan sendiri. Sementara aku adalah kucing betina yang harus menyusui dan monitoring anak-anak kucing itu sendirian sebagai bentuk pelaksanaan amanat yang diberikan kepadaku. Silakan engkau, Suamiku, numpaki betina-betina yang lain karena itu syariat yang diberikan bagimu.”

Setelah mengetahui anak-anaknya sudah bisa berjalan, melompat, dan ngoyak-ngoyak sesuatu, si induk betina masih tetap menemani. Sesekali mencarikan makan dan melindunginya sekuat tenaga. Bahkan, dengan ancaman pelototan kucing jantan, ia pun akan siap bertarung habis-habisan demi anaknya. Sebisa-bisanya. Semampu-mampunya. Barangkali hingga titik darah penghabisan. Sungguh dia sangat bertanggung jawab.

Baca Juga  Milenial dan Kebutuhan Keuangan Syariah; Edukasi Pasar Modal Syariah dengan Target Financial Freedom

Namun, ketika anaknya ditakdirkan harus mati satu per satu, tidak ada derai air mata yang mengalir. Dia ridha. Dia tidak terlalu stres. Bahkan, ketika anaknya habis sama sekali, dia pun malah mulai mencari cara menggemukkan kembali badannya dan mencari jantan kembali. Dan proses itu akan berulang hingga akhir hayatnya. Tak ada keluh kesah serta protes apalagi hingga terjadi demonstrasi massal para betina untuk menuntut emansipasi.

Cerita-cerita empiris Cak Nun dalam Maiyah-an, senantiasa menyemangati saya untuk menerapkan keikhlasan sebisa-bisanya. Cak Nun pernah mengatakan bahwa kalau kita berbuat baik maka alasan satu-satunya adalah karena kita ingin berbuat baik karena Allah. Titik. Tiada koma apalagi titik dua.

Bagikan
Post a Comment