f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
lebaran tanpa ayah

Lebaran Tanpa Ayah

Sudah sering kali merayakan Lebaran. Tentu banyak cerita melaluinya. Yang paling terkesan pastilah keceriaan. Wujudnya saja yang berbeda, tapi rasa campur aduk mewarnai datangnya Lebaran hampir dirasakan semua orang.

Betapa gembiranya kita dapat berpuasa sebulan penuh. Ditambah lagi berbagai kegiatan ibadah wajib maupun yang disunahkan tak luput dikerjakan. Ibarat bertani, Ramadan seolah hari bercocok tanam. Lelah bercampur senang menjalani prosesnya. Maka sudah sewajarnya apabila datangnya Lebaran sebagai hari raya adalah saat panen yang diimpikan.

Suara takbir bertalu-talu, menggema, bersahut-sahutan. Bayangan semasa kecil datang mengadu. Waktu itu belum terlalu mengenal apa itu haru, yang ku tahu sebatas tanda Ramadan segera berlalu.

Malam takbiran yang ditunggu-tunggu itu ingin cepat berganti dengan Lebaran. Baju baru tak sabar dikenakan. Tak hanya itu, aneka makanan dan minuman ingin segera dirasakan. Bayangan bermain bersama teman-teman mengajakku cepat-cepat ke peraduan.

Ya! Tidur secepatnya salah satu cara paling mujarab untuk bisa sampai ke hari esok, tanpa merasa  jenuh menunggu pergantian malam. Membayangkan betapa gembiranya bersama ayah ibu diajak bertamu. Bertemu tetangga, keluarga, kerabat dan handai tolan, menjadi aktivitas rutin yang dinantikan.

Setiap hari menyimpan cerita, begitu juga momen saat hari Lebaran. Banyak kenangan di dalamnya.

Pernah dulu, kami melewati Lebaran tanpa ditemani ayah. Karena harus berdinas atau sedang berada di luar kota. Beberapa hari sebelum keberangkatan, sudah diberitahu ibu kalau Lebaran nanti ayah terpaksa merayakannya jauh dari kami.

Sebelum pergi biasanya ayah sudah menyiapkan sejumlah uang untuk keperluan kami: ritual beli baju baru dan kue lebaran tak ada halangan. Sebagai penghibur saat Lebaran nanti ayah tak bersama kami, uang saku sudah pula dititipkannya kepada ibu.

Baca Juga  Yang Tua Yang Tetap Belajar

“Jangan marah, jangan sedih, ayah cuma pergi beberapa hari saja,” dibisikkannya ke telinga sewaktu kucium tangannya saat beliau pamit.

Tidak ada rasa sedih yang berkepanjangan saat itu. Karena selang berapa hari kemudian, kami bisa berkumpul, bercengkrama lagi. Semakin bahagia ketika itu ayah  membawa buah tangan. Mainan dan makanan ringan selalu disiapkan ayah sebagai oleh-oleh saat pulang.

Kenangan lainnya tersisip pada masa-masa kuliah saat berlebaran tanpa ayah. Agak beda yang kurasakan kali ini. “Feel” kumpul keluarga, kehangatan merayakan Lebaran seperti keluarga lain pada umumnya, tidak bisa kami rasakan. Lagi-lagi karena alasan pekerjaan.

Ada rasa kecewa. Ada rasa marah. Dalam hati menggerutu kenapa ayah tidak ada bersama kami saat Lebaran seperti ini. Sebegitu pentingkah pekerjaan ayah, sehingga momen Lebaran pun mesti berada jauh dari keluarga.

Seberat apapun rasa kecewa itu, semarah apapun pada ayah, tetap tak berani kami utarakan langsung kepadanya. Yang kami rasakan itu nanti terobati saat malam hari terdengar ketukan pintu, ayah pulang dari tugasnya. Atau, saat kami terbangun di pagi hari karena suara obrolan ayah dengan ibu. Biasanya dengan penuh semangat ayah menceritakan perjalanannya sesaat ketika sampai di rumah.

Hanya beberapa kali saja. Seingat ku tak lebih dari 5 kali merayakan Lebaran jauh dari ayah. Selebihnya kami selalu merayakan bersama-sama. Lebih-lebih saat kami tiga bersaudara sudah memiliki keluarga sendiri. Lebaran selalu bersama ibu dan ayah..

Tahun ini, bersyukur bisa kembali merayakan Lebaran bersama keluarga. Kesyahduan Lebaran sudah bisa dirasakan bahkan sejak takbir menandakan 1 Syawal dikumandangkan. Suara takbir bertalu-talu, menggema, bersahut-sahutan kali ini menusuk hati, mengena sampai relung yang terdalam.

Ada kesunyian menghimpit perasaan di tengah riuh keramaian. Macam-macam kenangan terbang melayang bebas seolah tertuju pada satu titik saja. Semakin kumandang takbir itu terdengar menyelinap dalam hati dan pikiran, semakin penuh rasa sesak dalam dada.

Baca Juga  Halalbihalal itu Halal atau Haram?

Tak tertahankan…

Awalnya memenuhi bola mata, lalu tak tertampung, mulailah buliran air jatuh membasahi baju yang dikenakan. Sesekali kuseka. Tapi, semakin diseka, semakin basah telapak tanganku. Tak terasa pecah juga tangis, meluap dari kepiluan, meluap dari sesaknya dada yang kurasakan.

Tangis kesedihan berpisah dengan Ramadan kali ini berbeda. Ia berbeda karena  kini bercampur dengan kerinduan.

Ya… Kerinduan ini adalah kerinduan yang tak berujung, kerinduan  berkumpul yang tak bisa lagi dirasakan, kerinduan yang menyisakan penyesalan seorang anak karena kurangnya bakti, kerinduan pada “segala hal” yang hanya bisa dilakukan oleh seorang Ayah, kerinduan yang hanya bisa diluapkan lewat doa saja. Kalaulah  dulu pernah kecewa, pernah marah pada Ayah karena tugas atau pekerjaan membuatnya tak bisa merayakan Lebaran bersama kami. Maka Lebaran kali ini rasa kecewa dan marah itu tak bisa dibujuk dan diobati dengan baju baru ataupun banyaknya mainan baru.

Rasa kecewa dan marah itu tertuju pada diri sendiri. Pada diri yang kurang berbakti.

Ayah tak bisa lagi membersamai kami. Bukan lagi karena tugas atau pekerjaannya. Kali ini ayah benar-benar pergi karena tunai sudah janji.

Ayah pergi  menghadap Ilahi. Ia pergi  tak pernah akan kembali lagi.

Allahummaghfirlahu warhamhu waafihi wafuanhu

Bagikan
Post a Comment