f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
azan terakhir

Kumandang Azan Terakhir

 “Kamu yakin mau merantau, Le?”, tanya seorang ibu yang dalam hatinya tak tega jika anaknya harus berhadapan dengan dunia luar yang penuh dengan kejahatan dan kebohongan.

“Iya, Buk! Toh umur Shodiq sudah 24 tahun, Shodiq bisa jaga diri kok”, jawab sang anak mencoba meredam kekhawatiran ibunya.

Keadaan hening, ibu Shodiq tak menjawab apa pun. Tampak dari raut wajahnya ia tengah memikirkan banyak hal.

“Shodiq malu sama tetangga, Buk! Shodiq juga ingin mengubah kehidupan keluarga kita jadi lebih sejahtera. Jika Shodiq tak merantau, Shodiq hanya akan membebani bapak dan ibu.”

Ibu Shodiq menarik napas dalam. Sebenarnya ia masih tak tega dengan langkah yang akan diambil oleh anaknya itu. Apalagi ia juga tak dapat memberikan bekal banyak pada anaknya untuk merantau nanti. Air matanya memaksa keluar, tapi ia tak mau terlihat rapuh di depan anaknya.

“Ya sudah, jika memang begitu, ibu dan bapak mengizinkan. Kamu di tanah rantau nanti hati-hati. Selalu jaga perilaku dan sebisa mungkin hindari masalah. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi bapak-ibu di rumah”, sang ibu lantas memeluk anaknya begitu erat. Kali ini ia tak kuasa lagi menahan air matanya.

***

Belum genap satu tahun Shodiq merantau. Saat ini ia bekerja di sebuah toko elektronik yang terbilang besar di Yogyakarta. Sebagai orang yang berasal dari desa, Shodiq merasa gaji di tempat kerjanya ini jauh dari kata cukup. Sesuai niatnya di awal yang ingin menyejahterakan kehidupan keluarga, Shodiq tiap bulan selalu menyisihkan sedikit dari gajinya untuk orang-orang di rumah. Shodiq terus membayangkan senyum ibu dan bapaknya ketika menerima pemberian darinya suatu saat nanti. Ia sangat tak sabar melihat hal itu di depan matanya.

Namun, di balik seluruh harapannya tersebut, ada satu masalah yang disembunyikan oleh Shodiq. Sang bos dari tempat kerjanya benar-benar jauh dari yang ia bayangkan. Perlakuannya pada karyawan sangat mencerminkan bahwa ia adalah orang yang haus akan duniawi, tak mau sedikit pun rugi. Kesalahan sedikit saja, para karyawan akan dimarahi habis-habisan. Grafik penjualan menurun, maki-maki yang dilakukannya.

Sebagai bos, ia sekadar datang untuk melihat performa penjualan tokonya. Tak pernah sekali pun ia mencoba mengajak para karyawan untuk berdiskusi guna mencari akar masalah yang tengah melanda tokonya. Si bos melimpahkan seluruhnya pada karyawan. Apa pun alasannya, tak boleh ada kerugian sedikit pun menghampiri bisnisnya. Jika ia melihat karyawannya melakukan kesalahan, baik sengaja maupun tidak, ia tak segan untuk memukulnya.

Baca Juga  Mata Rantai yang Hilang dalam Pendidikan

Mengetahui tabiat bosnya termaktub, Shodiq kembali teringat akan pesan dari ibunya supaya berhati-hati. Kendati demikian, Shodiq masih tak terlepas dari luapan amarah si bos. Beberapa kali ia mengumpat dalam hati, merasa tak betah dengan sikap bosnya. Nuraninya yang terdalam memberontak, mengajaknya untuk keluar dari pekerjaannya itu. Namun, ia mencoba menguatkan diri dengan terus mengingat niat dan senyum bapak-ibunya. Shodiq mencoba tetap berdiri, meski terus menerima hantaman amarah berkali-kali.

***

Di satu waktu, Shodiq mencoba memberanikan diri untuk bertanya pada salah seorang temannya tentang alasannya tetap bekerja di tempat itu. Tentu Shodiq sudah memilih waktu yang tepat untuk momen tersebut.

“Wan! Kalau boleh tahu, kamu udah berapa lama kerja di sini?”, Shodiq menanyai teman kerjanya yang sedang mempersiapkan diri untuk pulang.

“Berapa ya? Kayaknya sekitar 3 tahunan, Diq”, Iwan menerka.

“Em…..berarti sudah lumayan lama ya, Wan!”, Shodiq mengangguk-anggukkan kepala.

“Memangnya ada apa kok tiba-tiba kamu tanya gitu, Diq?”, Iwan mencari tahu.

“Aduh! Gimana ya bilangnya?”, Shodiq masih merasa bimbang dan takut.

“Tentang si bos, ya?”, Iwan menebak, seolah ia dapat membaca keresahan hati Shodiq. “Tenang! Bukan cuma kamu kok yang merasa tak betah dengan dia. Semua karyawan di sini merasakannya”. Suara Iwan turut meramaikan malam Minggu, beradu dengan suara kendaraan yang seolah tak habis melintas.

Masih terdapat kebimbangan dalam hati Shodiq untuk bertanya lebih dalam tentang si bos. Ia diam, menatap langit kota perantauan yang kini mengundang rasa rindu pada tanah kelahiran. Iwan tak ingin rekan kerjanya yang baru itu menyimpan masalah sendiri, ia pun mempersilakan Shodiq untuk bicara apa saja tentang si bos.

***

“Tak apa, Diq! Kalau ada sesuatu, silakan cerita. Aku tak akan mengadu pada bos, tenang saja!. Kita rekan kerja, aku tak mau kamu merasa menghadapi semua ini sendirian. Teman-teman yang lain pun pernah cerita juga tentang si bos”, Iwan mencoba meyakinkan Shodiq.

Baca Juga  Antara Kamu dan Mahabbah Kepada-Nya

Mendengar ucapan Iwan itu, Shodiq menarik napas dalam. Ia memaksa bibirnya mengucapkan sesuatu. “Aku hanya ingin tanya satu, Wan! Kamu, juga teman-teman yang lain, punya alasan apa hingga bisa membuat kalian bertahan di tempat ini?”.

“Oh, itu ya!? Sebenarnya, baik aku maupun karyawan yang lain benar-benar tak betah di sini. Tapi, jika kami memilih keluar dari sini, belum tentu kami akan mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak. Kami semua sama seperti kamu, Diq! Perantau. Jika kami tak mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup, kami jelas tak dapat bertahan hidup. Jadi, alasannya sederhana, kami hanya ingin dapat hidup berkecukupan di tanah rantau. Tetap bekerja di tempat ini, sama artinya dengan memilih jalan aman bagi finansial kami”, Iwan mengakhiri dengan hembusan napas yang berat.

Shodiq yang mendengar jawaban Iwan tersebut kini merasa memiliki teman yang memikul nasib sama. Alasannya untuk bertahan di tempat itu kini bertambah satu lagi, ia tak sendirian. Selepas mengakhiri percakapan malam Minggu itu dengan basa-basi, Shodiq dan Iwan pun berpisah menuju tempat tinggal masing-masing. Kondisi jalanan belum juga sepi, langit malam pun masih terus mengundang rindu pada tanah kelahiran.

***

3 tahun terlewati sudah. Shodiq merasa bahwa tabungan untuk orang tuanya kini sudah cukup banyak. Ia akan pulang hari ini. Jadwal kepulangannya tersebut telah ia siapkan jauh hari sebelumnya. Buah tangan untuk sanak saudara tak lupa ia siapkan. Shodiq meminta tolong Iwan untuk mengantarkannya ke statisun. Tanpa kata tapi, Iwan mengiyakan permintaan rekan kerjanya itu.

Selepas duduk di kursi sesuai yang tertera di tiket, Shodiq menarik napas lega. Momen inilah yang benar-benar ia tunggu selama ini. Ia kian tak sabar melepas rindu yang terus ditahannya. Namun, perjalanan untuk sampai di rumah masih sangat lama. Oleh sebab itu, ia banyak menghabiskan waktu perjalanannya di alam mimpi. Berharap dengan begitu durasi kepulangannya akan terasa lebih singkat.

Cukup lama Shodiq terlelap. Ia terbangun karena merasa HP-nya terus-terusan bergetar. Saat dilihatnya, ternyata ibunya memanggilnya. Ia segera menerima panggilan itu dan mengucap salam. Tak ada jawaban. Shodiq mengulangi salamnya, masih tak ada jawaban. Mulanya ia mengira bahwa mungkin penyebabnya adalah masalah jaringan. Namun, saat ia melihat HP-nya, jaringannya justru sangat bagus. Shodiq kembali mengulangi salamnya. Kali ini ia diam sejenak, menunggu jawaban dari ibunya.

Baca Juga  Setitik Cahaya di Sarang Setan

Samar-samar terdengar isak tangis di sana, hati Shodiq merasa cemas. Ia sangat berharap tak ada hal buruk menimpa keluarganya. Shodiq ingin memastikan, ia terus bertanya ada apa pada ibunya melalui telepon. Namun, sang ibu tak kunjung menjawab dengan kalimat. Tangisnya justru kian keras terdengar di telinga Shodiq. Hal itu jelas membuat Shodiq kian khawatir dan takut.

***

“Buk! Ada apa, Buk! Tolong jawab, Buk! Jangan buat Shodiq takut!”.

“Bapakmu, Le!”, sang ibu mulai melontarkan kalimat meski dengan diiringi isak tangis.

“Bapak kenapa, Buk?”, ketakutan Shodiq memuncak.

“Bapak sudah meninggal, Le!”

Kabar duka dari sang ibu tersebut langsung mengalirkan air mata Shodiq dengan deras. Kaki Shodiq seolah tak mampu berdiri. Semua harapannya melihat senyum bapak dan ibunya kini buram, perlahan berganti dengan bayangan isak tangis yang memenuhi rumahnya. Kini giliran Shodiq yang terbungkam. Mulutnya seolah kehilangan kemampuan untuk mengucap satu kata pun.

Di kepalanya kini terlintas kenangan-kenangan bersama sang bapak. Dan, momen yang paling membuatnya menangis adalah saat bapaknya mengantarkannya ke stasiun kala berangkat merantau. Tak disangkanya ternyata itu adalah momen terakhirnya melihat wajah bapaknya. Air mata Shodiq belum berhenti mengalir, malah semakin deras.

Dalam hati Shodiq berucap, “Bapak! Maafkan Shodiq yang belum bisa membuat bapak tersenyum. Jika dulu bapak yang mengumandangkan azan di telinga Shodiq saat Shodiq lahir. Sekarang izinkan Shodiq mengumandangkan azan untuk bapak, meski hanya dalam hati. Semoga bapak mendengar kumandang azan terakhir untuk bapak ini”. Shodiq lantas menata diri, matanya masih berurai air mata. Dalam hati ia mengumandangkan azan untuk ayahnya. Ia memaksa diri untuk dapat menyelesaikan azannya hingga tuntas. Semua itu Shodiq lakukan karena ia sadar bahwa ia tak akan sampai di rumah sebelum bapaknya dimakamkan. Perjalanan pulang yang ditempuh Shodiq kini dipenuhi linangan tangis dan rasa sedih.

Bagikan
Post a Comment