f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
tan malaka

Jomlo Ideologis Bernama Tan Malaka

Mungkin sudah banyak kalangan aktivis gerakan sosial yang tidak asing dengan tokoh revolusioner dari Suliki, Padang yakni Tan Malaka. Tokoh yang hampir sebagian hidupnya, hanya sibuk berjuang mencerdaskan dan memerdekakan bangsa ini, cukup misterius jika ditelusuri sepak terjangnya. Sosok ini juga dikenal sebagai “Bapak Republik Indonesia”. Sebab selama masa pelarian politiknya dia menulis konsep bangsa Indonesia ke dalam buku yang berjudul “Naar de Republiek Indonesia” pada tahun 1924.

Di lain sisi, saking misteriusnya, beliau memiliki total nama samaran sebanyak 23. Ia juga sempat dipenjarakan 13 kali dan menguasai 8 bahasa asing. Ia juga sudah menjelajahi 11 negara akibat sikap politiknya yang dianggap menentang kaum kapitalis, imperialis dan kolonial. Total perjalanannya diperkirakan mencapai 89 ribu km atau dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin atau juga setara dengan 2 kali keliling bumi. Sungguh fantastis memang perjuangan tokoh yang satu ini untuk memerdekakan Indonesia.

Perihal organisasi, setidaknya Tan Malaka pernah bergabung di 9 organisasi, baik di Indonesia maupun di luar negeri saat pelarian politiknya. Di samping itu, Tan Malaka juga termasuk pemikir dan penulis produktif. Tak ayal, terhitung ada 26 buku yang sudah diterbitkannya.

Terlepas dari itu semua, dalam tulisan kali ini penulis ingin mengajak kita semua yang mendaku kaum muda penerus bangsa ini ke depan untuk meneladani disiplin dan konsistennya Tan Malaka dalam berjuang dengan tidak terlena dengan persoalan asmara. Sebab perjuangan memerdekakan bangsa ini menjadi skala prioritas dalam hidupnya.

Hal ini pernah ia ulas di bukunya “Madilog” yang terbit pada tahun 1934. Ia mengatakan bahwa: “Bukankah seseorang pelarian politik itu mesti ringan bebannya, seringan-ringannya? Ia tak boleh diberatkan oleh benda yang lahir, seperti buku ataupun pakaian. Hatinya terutama tak boleh diikat oleh anak isteri, keluarga serta handai tolan. Dia haruslah bersikap dan bertindak sebagai “marsuse’’ (angkatan militer siap gempur) yang setiap detik siap sedia buat berangkat; meninggalkan apa yang bisa mengikat dirinya lahir dan batin.”

Baca Juga  Perkembangan Hukum Islam di Masa Khalifah Abu Bakar As-Siddiq (11-13 H atau 632-634 M)

Tan Malaka ini bisa penulis asumsikan bahwa di samping sebagai pelopor perjuangan yang anti kompromi dengan penjajah dan konsisten di garis kebenaran. Tan ini juga seorang yang sudah memberikan contoh gerakan tanpa sang kekasih atau support system ala anak sekarang yang apa-apa harus ada yang menyemangati; “Gak bisa belajar, belum disemangatin ayang” (ungkapan pemuda masa kini yang terjebak dalam gelora asmara).

Tan Malaka ini, seperti ditulis Adam Malik dalam buku “Mengabdi Republik”, pernah tiga kali jatuh cinta sebenarnya. Sekali di Belanda, sekali di Filipina, dan sekali lagi di Indonesia. Tapi, bagi ia semua itu hanya cinta yang tak sampai, perhatiannya terlalu besar untuk perjuangan kemerdekaan bangsa ini.

Tentu Tan Malaka ini adalah sosok pemuda cerdas nan saleh pada zamannya. Sebab dari literatur yang berkembang meskipun sering dikenal sebagai tokoh berhaluan komunis tapi sebenarnya dia adalah seorang hafiz. Satu hal yang perlu kita ketahui soal Tan ialah bahwa ia menjadikan organisasi itu sebagai alat perjuangan. Jadi, pelabelan bahwa ia tokoh komunis, penganut marxisme dan sejenis pelabelan lainnya, bagi penulis adalah generalisasi yang keliru.

Hal ini juga diafirmasi oleh Sugata Bose, seorang sejarawan dan politikus India yang mengatakan bahwa Tan Malaka adalah “Patriot Ekspatriat”, atau orang yang melampaui tanah air dan ideologi. Tan juga bukanlah orang yang dogmatis dan terbuka terhadap berbagai ideologi. Kemerdekaan dan kemanusiaan adalah tujuan perjuangannya.

Melihat perjuangan dan latar belakang Tan ini tentu perempuan mana yang tak jatuh hati dengan laki-laki seperti dia pada zaman itu? Sebagai seorang keturunan bangsawan dengan gelar Datuk Sutan Malaka, hafiz, dan seorang intelektual yang pernah menempuh pendidikan di Belanda tentulah Tan ini seorang “High Value Man”. Tapi malang, kisah cintanya selalu pelik dan penuh labirin di tengah situasi penjajahan pada zaman itu.

Baca Juga  Safiye Sultana, Ibu Para Sultan Utsmani

Dengan status quo dan kualitas pribadinya, alasan Tan memilih jomlo sampai ia wafat tentulah bukan sembarang jomlo melainkan seorang jomlo ideologis. Jadi, tidak usahlah ia disama-samakan dengan pengertian jomblo mainstream pada saat ini. Sebab saat belum genap berusia 17 tahun ia harus menerima gelar “Datuk” sebelum ayahnya meninggal. Dan jika Tan menolak, ibunya memaksa agar Tan menikah. Dengan alasan ideologis, ia lebih memilih opsi menerima gelar tertinggi dalam adat minang itu. Sejak saat itulah nama lengkapnya berubah menjadi Ibrahim Datuk Tan Malaka.

Adapun beberapa perempuan yang pernah dekat dengan Tan Malaka di antaranya: Pertama, Syarifah Nawawi, perempuan Minang pertama yang mengecap sistem pendidikan Eropa. Ia merupakan teman sekolah Tan Malaka waktu di Kweekschool Bukittinggi. Namun cinta Tan Malaka bertepuk sebelah tangan, karena Syarifah tak menanggapi surat-surat yang dikirimkan Tan Malaka. Bahkan menurut Harry A. Poeze, seorang peneliti dari Belanda yang hampir seumur hidupnya meniliti tentang Tan Malaka pernah bertanya pada Syarifah perihal Tan Malaka dan jawaban Syarifah ialah bahwa Tan Malaka adalah seorang yang aneh.

Kedua, Fenny Struyvenberg, seorang mahasiswa jurusan kedokteran berdarah Belanda. Dia sering datang ke pondokan Tan waktu sekolah di Belanda. Dengan Fenny, Tan kabarnya menjalin hubungan cukup serius. Fenny bahkan sempat ke Indonesia menyusul Tan, tapi sungguh malang, kisah cintanya kembali kandas.

Ketiga, Nona Carmen, anak perempuan Rektor Universitas Manila yang memberi petunjuk masuk Filipina dan mengajarkan Tan bahasa Tagalog. Lagi dan lagi, Nona Carmen pun tak mampu menetap lama dengan pria aneh nan misterius seperti Tan Malaka.

Selanjutnya perempuan keempat atau terakhir yang dekat dengan Tan Malaka yakni, Paramita Rahayu Abdurachman. Kedekatan Tan Malaka dengan Paramita Rahayu Abdurachman atau yang kerap dikenal Yo Paramita ini berlangsung sesudah proklamasi 1945. Yo Paramita ini adalah salah satu perempuan peneliti generasi pertama di Lembaga Research Nasional (cikal-bakal LIPI) dan merupakan keponakan Menteri Luar Negeri Indonesia pertama Ahmad Soebardjo. Namun karena suasana politik pasca kemerdekaan yang belum stabil, lagi dan lagi membawa Tan Malaka kembali bersembunyi dari kejaran kempetai Jepang. Akhirnya, cinta mereka tidak benar-benar berujung pada pernikahan yang sah.

Baca Juga  Nasaruddin Umar dan Kontribusinya Terhadap Kajian Tafsir Gender

Membaca kisah cinta Tan Malaka yang pelik dan penuh labirin, semestinya bisa kita ambil pelajaran yang tersirat di dalamnya. Ia memilih jomlo bukan karena tidak menginginkan pernikahan, sebab ia memilih jalan kejomloan itu sebagai upayanya untuk memerdekakan Indonesia secara 100% dari belenggu penindasan kaum kolonial, kapitalis, dan imperialis asing. Akhirnya, jika semua pemuda adalah Tan Malaka, barangkali Indonesia emas 2045 bisa betul-betul terwujud dan bonus demografi tidak menjadi bencana demografi.

Bagikan
Post a Comment