f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
Guru

Berkah Ramadan, Gara-Gara Ngabuburit Jadi Guru TPA Dadakan

Dulu saya mengira bahwa saya tidak cukup cakap untuk menjadi seorang guru. Nggak usah sampai jadi guru, deh. Sekadar mengajari orang lain saja, soal apa pun itu, saya masih payah. Pokoknya, saya nggak jago kalau hubungannya sudah sama pedagogi-pedagogian gitu.

Klaim ini bukan tanpa alasan. Sewaktu SMA, saya pernah mendapatkan tugas sebagai tutor sebaya dalam rangka persiapan ujian nasional (UN). Kebetulan, kemampuan saya memahami pelajaran kala itu, tidak buruk-buruk amat. Oleh sebab itu, saya ditugaskan oleh guru dan pengurus kelas untuk mengajarkan materi pelajaran UN yang saya pahami kepada kawan sekelas saya.

Sayangnya, kemampuan memahami materi ini tidak linier dengan kemampuan mengajarkannya. Meski sudah paham materi pelajaran, belum tentu materi tersebut bisa saya ajarkan kepada orang lain dengan cara yang lebih simpel.

Inilah yang terjadi pada kawan sekelas saya. Bukannya pada paham, gara-gara saya, kawan sekelas malah jadi tambah bingung dengan materinya. Ketahuan betapa noob-nya saya kalau mengajar, bukan? Haha.

Akibat kegagalan menjadi tutor ini, saya langsung mengambil kesimpulan kalau saya tidak mahir dalam mengajari orang. Kejadian ini pula yang membatalkan niat saya untuk berkuliah di jurusan pendidikan.

***

Pikiran culas dan pendek saya kala itu, “Lha wong ngajari teman sendiri saja nggak bisa, malah jadi tambah mbingungi, ini mau ngajarin anak orang lain”. Padahal, sebetulnya ya nggak ada hubungannya juga, sih. Kuliah pendidikan mah kuliah saja. Toh kuliah pendidikan justru diajari bagaimana cara mengajar yang baik dan ilmu pedagogi gitu kan ya? Sayangnya, dulu saya belum bisa berpikir sejernih itu. Menyesal.   

Seiring berjalannya waktu, kurang lebih setahun berselang sejak kejadian tersebut, ada satu pengalaman yang kemudian membalikkan klaim awal saya. Ah, ternyata saya tidak secupu itu kok dalam mengajar. Duh, maaf ya teman-teman pembaca, saya narsis dikit. Hehe.

Baca Juga  Memahami dan Menghayati Pesan-Pesan Nabi Isa

Ya, memang belum bisa dibilang cakap sih. Tapi, setidaknya saya sudah tidak trauma lagi untuk mengajar. Ada keberanian yang mulai tumbuh dalam diri agar saya tidak takut membagikan materi pelajaran yang saya pahami.

Dan yang lebih penting lagi, berbeda dengan dulu, kini saya jauh lebih berani untuk menanyakan apakah audience memahami materi yang saya sampaikan atau belum. Jika belum, ya saya sudah lebih legowo untuk mengajarkan ulang materi pelajaran tersebut. Tentunya dengan metode lain dan bahasa yang lebih komunikatif.

Sikap berani dan legowo saat mengajar, saya peroleh gara-gara saya pernah mendapatkan tugas sebagai guru TPA (Taman Pendidikan Alquran) dadakan saat ngabuburit. Asli dadakan banget, tanpa ada persiapan sama sekali. Kurang lebih begini lah ceritanya.

***

Jadi, kala itu saya memang sedang menghabiskan Ramadan di Jogja. Saya tinggal di semacam asrama pondokan mahasiswa. Secara rutin, tiap tahun saat Ramadan tiba, penghuni asrama memang akan bertugas menjadi guru TPA keliling kampung.

Biasanya penghuni asrama di tahun kedua atau ketiga yang bertugas. Kondisi saya kala itu belum sampai menginjak tahun pertama di asrama. Wong baru masuk beberapa bulan, kok. Makanya, saat itu, saban sore hari saat Ramadan masih bisa saya habiskan dengan ngabuburit santai dan bebas (untuk tidak menyebutnya gabut).

Pada suatu sore hari, satu jam sebelum berbuka, karena sedang terlihat ngabuburit santai, saya mendapat tugas dari pengurus asrama untuk mengantarkan barang ke rumah salah seorang warga yang masih satu kampung dengan asrama tempat saya tinggal. Saya sih, saat itu manut-manut saja. Datanglah saya ke rumah yang di maksud.

Eladalah, ternyata di rumah tersebut juga sedang menggelar TPA keliling. Di sana kakak tingkat asrama saya sedang berjibaku mengajari anak-anak mengaji. Dan kelihatannya sih, mereka cukup kerepotan. Bagaimana tidak kerepotan? Wong murid TPA-nya ada sekitar 40-an, sementara pengajarnya hanya 3 orang, kok.

Baca Juga  Seember Air Mukjizat dari Langit

Saya sempat bertegur sapa dengan ketiga kakak tingkat asrama tersebut. Niatnya, setelah selesai mengantar barang, saya mau langsung pamitan, pulang ke asrama. Melanjutkan ngabuburit saya yang santai itu.

***

Sayang seribu sayang, saya batal melanjutkan acara ngabuburit saya tadi. Seorang kakak pengajar malah menahan saya untuk tidak lekas pulang dan menyuruh saya untuk membantu mereka mereka.

Padahal, saya sudah bersikukuh mengatakan bahwa saya tidak jago mengajar. Terlebih lagi, ini dadakan banget ya, gaes. Nggak ada persiapan sama sekali. Tapi, si kakak pengajar tadi juga tidak kalah bersikukuhnya meyakinkan saya untuk mencobanya dulu. Barang mengajari ngaji 3-5 anak saja dulu katanya. Hadeh.

Pada akhirnya, saya luluh dan mencoba mengajar beberapa anak. Tentu saja ketika saya mengajar, saya kikuk, canggung, dan kebingungan. Tapi, ya nggak apa-apa, lah. Hitung-hitung sesekali ngabuburit saya biar berkualitas gitu. Haha.

Dari kejadian dadakan itu, saya malah sadar bahwa sudah menemukan kembali setitik keberanian untuk mengajari anak-anak. Dan, sejak itu pula saya jadi lebih sering untuk bantu-bantu mengajar. Ya tidak rutin, sih, cuma beberapa kali saja.

Tapi, dari beberapa kali mengajar ini, titik keberanian yang saya ceritakan tadi, justru semakin membesar. Di tahun-tahun berikutnya, tidak hanya menjadi pengajar TPA, saya juga ikut membantu mengajar sebagai Pembantu Pembina Pramuka Siaga di salah satu SD di Kota Jogja. Selain itu saya juga mulai memberanikan diri untuk melamar sebagai tentor untuk bimbingan belajar privat.  

Kejadian yang awalnya hendak saya ternyata hindari tersebut, qodarullah ternyata malah berperan besar dalam karier mengajar saya. Yah walaupun sampai sekarang saya belum jago-jago amat, sih, soal mengajar. Tapi, barangkali ini kali ya, yang dinamakan berkah Ramadan gara-gara menjadi guru TPA dadakan. Alhamdu…lillah~ (ulin)

Bagikan
Post a Comment