f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
dapur nafkah nikah

Asap Dapur Mengebul Urusan Siapa?

“Buruan nikah, cari istri biar ada yang masakin!”

Sayang sungguh sayang, terkadang candaan itu terlontar dari seorang wanita yang sudah menjadi ibu rumah tangga. Jika tidak ada yang memasak di rumah, ada banyak restoran menawarkan makanan, bahkan sekarang bisa pesan secara online. Mengapa harus menikah terlebih dahulu supaya ada makanan yang tersaji? Bagaimana bila istri ternyata sama sekali tidak bisa memasak?

Sebaliknya, para gadis adakalanya mendapat teguran agar segera menikah supaya dapat mendapat nafkah dari suami. Celetukan seperti ini menjadi biasa bagi sebagian orang. Budaya patriaki agaknya masih mendarah daging. Meskipun saat ini sudah banyak perlawanan menghadapi stereotip tersebut, tetap saja masih banyak wanita yang dibungkam. Mereka harus berlapang dada menjalankan siklus hidup yang hanya berputar pada dapur, sumur, dan kasur.

KDRT karena urusan Dapur

Segala hal yang berkaitan dengan dapur identik dengan wanita khususnya istri. Padahal tugas memasak sejatinya dapat dilakukan bersama. Rasulullah Saw. saja ikut membantu istrinya menumbuk gandum untuk dimakan. Miris, tak jarang terjadi kekerasan dalam rumah tangga yang berakibat dari permasalahan dapur.

Ada suami yang menyekap dan menganiaya istrinya sendiri karena tidak bisa masak, seperti halnya kejadian tahun 2020 silam di Bogor. Pada 28 Maret tahun 2021 seorang pria berusia 67 tahun menampar dan meludahi sang istri karena terlalu lama memasak rendang ayam yang ia minta, insiden keji itu terjadi di Malaysia.

KDRT akibat permasalahan dapur ini bukan hanya terjadi pada wanita. Pria pun bisa menjadi korban, seperti yang terjadi di India, seorang istri memukuli suaminya sampai patah tulang hanya karena sang suami menolak makan masakan buatannya. Lantas bagaimana pertengkaran kecil yang tidak diliput oleh media? Pastinya ada banyak, hingga berimbas ke meja hijau dan perceraian.

Nafkah dalam peraturan perundang-undangan

Asap dapur mengebul seingkali dikonotasikan dengan nafkah. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafkah adalah belanja untuk hidup; uang pendapatan, selain itu juga berarti bekal hidup sehari-hari, rezeki. Pengaturan nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) dalam Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) KHI, yaitu bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:

Baca Juga  Perempuan Berdaya dari Tudung Dapur

a.    nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.

b.    biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.

c.    biaya pendidikan bagi anak.

Sedangkan pengaturan nafkah dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dapat dilihat dalam Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dalam pengaturan UU Perkawinan, tidak ditetapkan besarnya nafkah yang harus diberikan, hanya dikatakan sesuai dengan kemampuan si suami.

Lebih lanjut, UU Perkawinan mengatakan bahwa apabila suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan (Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan). Ini berarti apabila suami tidak memberikan nafkah untuk keperluan hidup rumah tangganya, istri dapat menggugat ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama (bergantung dari agama yang dianut oleh pasangan suami istri tersebut).

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) juga terdapat pengaturan mengenai nafkah secara eksplisit, yaitu dalam Pasal 107 ayat (2) KUHPer, yang mengatakan bahwa suami wajib untuk melindungi isterinya dan memberikan kepada isterinya segala apa yang perlu dan patut sesuai dengan kedudukan dan kemampuan si suami.

Melihat pada uraian di atas, pada dasarnya baik KHI, UU Perkawinan, dan KUHPer mengatur bahwa pemberian nafkah untuk keperluan kehidupan sehari-hari merupakan kewajiban dari si suami. Akan tetapi, tidak seperti KHI, UU Perkawinan dan KUHPerdata tidak mengatur lebih rinci mengenai apa yang menjadi tanggungan suami.

Nafkah dalam agama Islam

Pada dasarnya yang wajib menafkahi istri adalah suami. Ketentuan hukum wajib ini terdapat dalam al-Qur’an dan hadis.

“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut” (Qs Al-Baqarah [2]: 233).

Baca Juga  Perempuan, Makhluk Tuhan Paling Super

“Bertakwalah kalian kepada Allah berkenaan dengan wanita. Sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah Allah, menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah; dan hak kalian atasnya adalah agar mereka tidak memasukkan seseorang yang kalian benci ke atas kasur kalian. Jika mereka melakukan perbuatan itu maka pukullah dengan pukulan yang tidak melukai. Dan hak mereka atas kalian adalah nafkah mereka dan pakaian mereka, secara patut” [HR Muslim].

Istri dan suami mempunyai kewajiban dan hak masing-masing, tetapi keduanya harus memperhatikan hal-hal penting yang berkaitan erat dengan kewajiban bersama suami-istri dalam kehidupan rumah tangga, yaitu:

  1. Antara suami dan istri harus saling menghargai, menghormati, mempercayai dan berlaku jujur satu dengan yang lain.
  2. Antara suami-istri harus saling setia dan memegang teguh tujuan perkawinan.
  3. Suami dan istri harus berlaku sopan santun dan menghormati keluarga masing-masing.
  4. Suami dan istri harus menjaga kehormatan diri dan berlaku jujur terhadap dirinya dan pasangannya.
  5. Setiap persengketaan harus dihadapi dengan makruf dan harus bersedia menerima penyelesaian.
  6. Antara suami dan istri tidak mencari-cari kesalahan pasangannya dan harus berlapang dada dan pemaaf. (Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah oleh Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah)
Istri mencari nafkah

Seorang istri bisa bekerja di luar rumah untuk mengabdikan diri pada masyarakat atau untuk menerapkan ilmunya . Istri yang mencari atau membantu suami mencari nafkah bagi keluarganya adalah sedekah sebagaimana hadis Rasulullah berikut,

“Dari Zainab istri Abdullah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Bersedekahlah wahai kaum wanita! Bersedekahlah sekalipun dengan perhiasanmu. Zainab berkata: Mendengar sabda Rasulullah saw tersebut, lalu aku pulang menemui Abdullah -suamiku- seraya berkata kepadanya: Anda adalah seorang laki-laki yang miskin. Rasulullah saw memerintahkan kepada kami kaum wanita agar bersedekah. Cobalah datangi beliau dan tanyakan bolehkah jika aku bersedekah kepada keluarga? Jika tidak akan aku alihkan kepada yang lain.” Abdullah menjawab: Sebaiknya kamu sajalah yang mendatangi beliau.

Maka pergilah aku, lalu di pintu rumah Rasulullah saw kudapati wanita Anshar yang bermaksud sama denganku. Sebagaimana biasa, orang-orang yang ingin bertemu Rasulullah saw selalu diliputi rasa gentar. Kebetulan Bilal keluar mendapatkan kami. Kata kami kepada Bilal: Tolonglah kamu sampaikan kepada Rasulullah saw, bahwa dua wanita sedang berdiri di pintu hendak bertanya, apakah dianggap cukup, jikalau kami berdua bersedekah kepada suami kami masing-masing dan kepada anak-anak yatim yang berada dalam pemeliharaan kami? Dan sekali-kali jangan engkau beritahukan siapa kami. Maka masuklah Bilal menanyakan kepada Rasulullah saw, tetapi beliau balik bertanya: Siapa kedua wanita itu? Bilal menjawab: Seorang wanita Anshar bersama dengan Zainab. Beliau bertanya: Zainab yang mana? Bilal menjawab: Zainab istri Abdullah. Rasulullah saw bersabda: Masing-masing mereka mendapat dua pahala. Yaitu pahala (menyambung) karib kerabat dan pahala karena sedekah.” [HR. Muslim]

Baca Juga  Melibatkan Suami dalam Pengasuhan

Kebolehan istri membantu suami mencari nafkah tidak dapat menggugurkan kewajiban suami untuk mencari dan memberi nafkah bagi istrinya. Suami tidak boleh berlepas tangan dari memberi nafkah kepada keluarganya. Sedangkan istri, tidak boleh semena-mena terhadap suami karena telah mencari nafkah bagi keluarga. Perlu menjadi perhatian, bahwa jika istri berperan mencari nafkah untuk keluarga, maka bukan berarti ia pun berhak memimpin rumah tangga dengan meninggalkan suaminya. Itulah yang disebut dengan ‘sedekah’ dari istri bagi suami dan keluarganya.

Oleh karenanya, konsep kesalingan sangat kita butuhkan dalam membina bahtera rumah tangga. Tidak ada salahnya berbagi tugas, asalkan kedua belah pihak setuju.  Tidak ada yang melarang apabila pasangan pasutri sama-sama mencari nafkah, lalu memperkerjakan pembantu rumah tangga. Atau keduanya bekerja, kemudian berbagi tugas di rumah. Istri memasak, suami mencuci piring. Suami yang mencuci baju, istri yang menyertrika pakaian. Bahkan boleh saja istri yang mencari nafkah, sedangkan suami yang memasak dan menangani urusan domestik, asalkan kedua belah pihak sepakat.

Nah, kalau menurut kalian asap dapur mengebul urusan siapa?

Bagikan
Comments
  • Elen

    Menurut elen si Urusan keduanya MB is,,, karna jujur elen belum pernah denger ada pendapat yang mengharuskan suami/istri harus masak setelah menikah, yang ada juga adat di Indonesia yang sering berpendapat bahwa wanita itu kewajibannya, dapur, sumur, kasur. Dan sedih nya adat ini sudah mendarah daging di sebagian orang di muka bumi 😁

    Januari 7, 2022
Post a Comment