f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
warna primer

Retak yang Utuh 3 : Aku Ingin Menjadi Warna Primer, Bukan Abu-Abu

Sosok itu masih sama seperti sosok masa lalu yang pernah menawan Ozza dalam pesonanya yang misterius. Masih gagah dengan tubuhnya yang tinggi tegap. Sosok yang masih membius dengan tatapannya yang kadang tegas namun bisa menjadi sangat lembut. Masih mampu membuat ritme jantung Ozza berdetak lebih cepat dari semestinya.

“Bun…,” bisik Romi pelan ketika mereka sudah berdiri berhadapan. Jantung Ozza semakin tak karuan mendengar Romi masih memanggilnya dengan panggilan yang sama, meskipun mereka telah berpisah sekian lama.

Ozza mengukir senyum canggung di bibirnya. Ia terlalu gugup untuk bertingkah normal, meskipun Romi justru terlihat begitu tenang. Wajahnya sekarang bahkan terlihat lebih tampan daripada yang diingat Ozza. Ia terlihat segar dan sinar matanya yang dulu sayu kini tampak bercahaya.

“Datang sama siapa?” Tatapan Romi menyelidik, karena tak melihat siapapun yang dikenalnya berada di dekat Ozza. Rasanya absurd melihat Ozza sendirian di tempat seramai ini. Lagipula Pekan Raya Jakarta bukan tempat yang cocok untuk menyendiri.

“Oh. Tadi sama Luna.” Ozza menyebutkan nama keponakannya, “Dia masih betah di sana. Tuh!” Ozza menunjuk ke arah panggung utama di area terbuka. Beberapa orang nampak mengerumuni panggung sambil berjingkrak-jingkrak di tengah cuaca panas yang menyengat.

***

Dari pengeras suara, terdengar suara Ari Lasso, penyanyi favorit Ozza,  menyanyikan lagu berirama riang. Rupanya Ari Lasso dan kru panggung tengah melakukan test sound untuk penampilan nanti malam di panggung yang sama.

“Kok kamu nggak ikut? Ada Ari Lasso, kan?” Romi merasa heran melihat Ozza tidak ikut mengerumuni penyanyi idolanya. Tumben. Biasanya Ozza tak pernah mau ketinggalan.

“Panas.” Jawab Ozza pendek. Matahari Jakarta memang ibarat oven siang itu. Terlebih di area panggung utama yang terbuka, tanpa ampun memanggang siapapun yang berlama-lama berdiri di sana.

“Kamu sendiri sama siapa?” Kali ini giliran Ozza yang celingukan. Romi tampak santai sekali sore itu. Wajahnya bersih, sekilas aroma after shave-nya yang khas menguar. Sejak dulu Ozza senang mencium aroma musk dari after shave Romi yang terkesan jantan. Tanpa sadar ia menajamkan indra penciumannya.

“Kenapa? Aku bau keringat, ya? Sorry…,” melihat hidung Ozza yang kembang kempis, Romi mencium ketiaknya sendiri dengan raut muka serba salah.

“Oh, enggak kok… kamu wangi seperti biasa.” Ozza menjadi gugup.

***

“Aku sendirian.” Romi tersenyum simpul melihat wajah Ozza yang memerah. Pada saat seperti itu, Ozza nampak menggemaskan, seperti anak sekolah yang ketahuan menyontek pada saat ujian.

Baca Juga  Gelombang yang Tak Pernah Mereda

“Masak?” Ozza tak percaya. Romi yang dikenalnya adalah makhluk sosial yang sangat suka berada di tengah kerumunan, dan senantiasa dikerumuni oleh teman-temannya, seperti semut bagi gula.

“Iya. Aku sendirian. Perusahanku buka stan di sini. Kami bergiliran memantau stan yang dijaga SPG. Aku di sini sedang kerja, bukan jalan-jalan.” Romi terkekeh.

“Kamu masih di perusahaan properti, kan?” Selidik Ozza. Romi cukup lama bekerja di biro perjalanan yang kantornya berada di gedung yang sama dengan Ozza di kawasan SCBD, sebelum pindah ke perusahaan properti yang berkantor di Tangerang Selatan.

Sejak tergilas pandemi, biro perjalanan tempat Romi berkerja turut terimbas dan terpaksa memberhentikan semua karyawannya, termasuk Romi. Mereka memang sudah berpisah ketika hal itu terjadi, tetapi Ozza masih sering mendengar kabar terbaru Romi dari beberapa teman yang mengenal mereka berdua.  

***

“Kamu masih di asuransi?” Tanpa kentara, Romi menjawab pertanyaan Ozza dengan pertanyaan lagi, seakan tak ingin memberikan Ozza informasi yang tak perlu. Ia biasa melakukan hal itu bila ingin menghindari pertanyaan yang tak ingin dijawabnya.

Ozza menghela nafasnya dengan berat, ”Aku lagi cari kerja.”

“Kerja di kantorku saja.” Romi menjawab dengan cepat. Bahkan terlalu cepat, seakan sudah lama menanti Ozza bergabung dengannya.

“Tapi aku nggak jago jualan properti.

“Kata siapa aku kerja di properti?” Romi tersenyum misterius, membuat Ozza mengedarkan pandangnya dengan curiga.

Romi memang tak seperti biasa. Penampilannya yang dulu rapi dan perlente kini terlihat lebih santai dan kasual. Ia hanya berkaos oblong, bercelana jeans model klasik, dipadu dengan sepatu kanvas berwarna cerah. Berbeda dengan penampilannya dulu yang lebih sering berkemeja batik, dipadukan dengan celana dari bahan katun drill serta bersepatu kulit. Penampilan kasualnya hari ini membuat Romi terlihat jauh lebih muda dari usia sebenarnya.

Ozza tak tahu apakah hari ini Romi memang menyesuaikan outfit dengan lokasi kerjanya di Pekan Raya Jakarta yang rata-rata pengunjungnya memang berpenampilan kasual, atau memang seperti itulah penampilannya sehari-hari.  Ozza sudah terlalu lama tak bertemu dengannya.

***

“Bagaimana? Mau bergabung di kantorku saja?”

“Aku kan belum tahu kamu kerja di mana?”

“Aku kirim alamatnya deh, share loc. Hari Senin besok mampir ya?” Romi mengulurkan selembar kartu nama berwarna kuning cerah. Ada namanya tercetak tebal di sana. Ozza seketika terbelalak melihat title yang tertulis di bawah nama Romi.

“Ka… kamu owner? Di Platinum?” Ozza tak percaya, dibolak-baliknya kartu nama itu seolah memastikan bahwa hurufnya tidak berubah.

Baca Juga  Menjauhi Hal yang Samar
***

Platinum adalah perusahaan start up yang sedang naik daun. Perusahaan itu baru saja IPO di bursa efek. Ia bahkan sempat membeli beberapa slot sahamnya pada penawaran perdana karena penasaran. Dan sesuai perkiraannya, harga sahamnya naik dengan cepat. Kini harga sahamnya sudah seratus lima puluh persen lebih tinggi dari harga penawaran perdananya dua bulan lalu, namun Ozza belum ingin menjualnya di pasar sekunder.

Ia ingin menyimpan sahamnya lebih lama. Toh ia bukan trader, tetapi investor. Untuk apa terburu-buru melepas saham yang bagus, siapa tahu dalam jangka panjang hasilnya malah lebih menguntungkan? Ia memang mengincar capital gain, namun juga senang mengumpulkan dividen.

Romi hanya tersenyum samar,”Karena itulah aku perlu bantuan kamu.” Romi paham sekali ritme kerja Ozza. Ketika mereka masih menjadi pasangan, entah berapa puluh kali ia harus menjemput Ozza yang lembur hingga larut malam. Pekerja keras seperti Ozza jelas idaman setiap pengusaha.

***

“Apa nggak masalah bila kita kerja bareng? Kamu nyaman dengan kita?” Ozza menunjuk dirinya sendiri dengan ragu. Sebenarnya bukan Romi yang dikhawatirkannya. Justru Ozza yang merasa tidak percaya diri berada di samping Romi.

Ia merasa seperti bayangan bila berada di samping Romi yang serba cemerlang. Romi terlalu sempurna. Ia pintar, tampan, dan baik hati. Di manapun berada, ia selalu bersinar. Di sisi lain, Ozza selalu tenggelam dalam perasaan inferiornya sendiri yang akhirnya malah membuatnya sering bertengkar dengan Romi.

Ozza membutuhkan dukungan untuk menjadi percaya diri, namun Romi tak pernah memberikan apa yang dibutuhkannya. Ozza yang tak bisa percaya laki-laki sempurna seperti Romi mau menjadi pasangannya, selalu saja meragukan ketulusan Romi.

Sebenarnya Ozza hanya ingin diyakinkan bahwa Romi memang sungguh-sungguh menyayanginya. Namun keraguan Ozza justru membuat Romi gerah. Sedikit demi sedikit laki-laki itu kemudian menjauh dari Ozza karena merasa tak nyaman, hingga akhirnya sama sekali tak berkomunikasi lagi. Begitu saja mereka berpisah, tanpa pernah ada kata putus.

***

Sejak kecil, Ozza memang anak yang tidak memiliki kepercayaan diri. Doktrin orangtua telah merusak kesehatan mentalnya. Mungkin karena berasal dari keluarga tak mampu, sejak kecil orangtuanya selalu menyuruh Ozza mengalah dan menekankan padanya bahwa ia tak boleh banyak berharap terhadap dunia. Ozza selalu merasa orang lain lebih baik darinya, bahkan setelah ia menorehkan prestasi tertinggi.

Rupanya sifat minder yang dibawa Ozza sejak kecil masih terbawa hingga ia dewasa, meskipun di tempat kerja Ozza berhasil menutupi perasaan inferiornya dengan baik dan tetap mampu memberikan kinerja terbaik. Orang mungkin mengenal Ozza sebagai gadis yang lincah, ceria dan rajin bekerja. Namun di ruang privat, orang-orang terdekat Ozza dapat menyaksikan kepribadian Ozza yang berbeda. Ozza berubah menjadi dirinya sendiri, sebagai perempuan pemalu, peragu dan penakut.

Baca Juga  Rumah Rahasia Bapak

Bila diibaratkan warna, Ozza hanyalah abu-abu yang hanya diperlukan untuk membuat gradasi, sedangkan Romi adalah warna primer yang selalu ada dalam setiap kanvas.

***

Ozza menatap Romi dengan tatapan hampa. Ia tak percaya pada hatinya. Ia juga tak mau terlalu banyak berharap pada Romi karena tak ingin sakit hati untuk yang kedua kali. Ozza tahu pasti hatinya belum berpaling. Nyatanya setelah bertahun-tahun putus dari Romi, ia masih saja sendiri. Tanpa Romi di sisinya, Ozza kembali menjadi dirinya yang dulu, selalu menutup diri dan tidak mempercayai laki-laki.

Setelah jauh dari Romi, Ozza memilih menenggelamkan diri dalam pekerjaannya. Setidaknya hingga sebulan yang lalu, ketika ia memilih opsi pensiun dini yang imbalannya cukup menggiurkan. Perusahaan tempatnya bekerja telah diakuisisi oleh investor asing, dan Ozza merasa tak memiliki cukup kemampuan untuk mengimbangi perubahan itu. Ia membayangkan tata kelola perusahaan setelah diakusisi pasti lebih rumit, dan memilih hengkang sebelum ditendang.

Awalnya Ozza merasa senang berhenti bekerja di usia yang masih muda, masih produktif. Dengan mengantongi pesangon yang nilainya cukup besar pula, sehingga ia tak perlu khawatir untuk mencukupi kebutuhannya. Namun entah mengapa, Ozza merasa kosong. Terlalu kosong hingga ia tidak mengenali dirinya sendiri.

***

Ozza yang biasa sibuk bekerja setiap hari, kini lebih banyak rebahan. Seharusnya ia bisa menikmati hari tanpa kesibukan, namun Ozza tidak betah. Bekerja sudah terlalu mendarah daging baginya dan sudah dilakukannya hampir seumur hidupnya.

Ozza bahkan merasa iri melihat kesibukan pagi orang-orang kantoran yang berdandan seadanya dan tergesa-gesa ke tempat kerja. Padahal ketika masih menjadi pekerja, Ozza merasa sesak. Ia muak menjadi budak korporasi yang membuat hari-harinya tersita hanya untuk urusan kerja.

Ternyata ia masih seperti manusia kebanyakan, yang selalu ingin berada di tempat di mana ia tidak sedang berada. Ozza merasa abu-abu. Gamang. Tak tahu apa yang diinginkannya. Ia ingin hidupnya berwarna. Ia ingin warna primer, bukan abu-abu.

Bagikan
Post a Comment