f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
dunia keinginan

Arogansi Ilmuwan dan Matinya Kepakaran

“Saya ini profesor beneran, kalau Anda belum tentu,” ujar seorang guru besar kepada lawan debatnya di sebuah acara televisi swasta. Selain mengandung cacat logika (menyerang pribadi), bagi saya, kalimat tersebut tak ubahnya semacam kepongahan berbalut intelektualitas.

Kepongahan yang akhirnya tak lebih dari sekadar unjuk emosi, bukan substansi. Akibatnya, masyarakat awam yang menyimak ucapan seperti itu bisa saja menjadi jengah kepada orang-orang yang mendaku dirinya sebagai kaum terdidik.

Inilah yang mungkin belum ditulis oleh Tom Nichols. Bukunya berjudul Matinya Kepakaran telah menyulut perdebatan hangat tentang kedudukan ilmuwan yang kian terpinggirkan di tengah masyarakat.

Tapi, sebab-sebab makin tersisihnya kedudukan ilmuwan dalam buku itu kebanyakan berkutat pada kondisi sosial masyarakat yang tidak kondusif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Contohnya ialah banyaknya segmen masyarakat yang masih menggemari teori-teori konspirasi.

Namun, menurut saya, matinya kepakaran tidak hanya bersumber dari masyarakat atau orang awam. Budaya anti ilmu pengetahuan juga bisa muncul akibat ulah gegabah para ilmuwan.

Kaum Intelektual di Tengah Masyarakat

Pada 23 Februari 1967, seorang pakar linguistik dari Amerika, Noam Chomsky, menerbitkan esai fenomenal berjudul The Responsibility of Intellectuals. Dalam esai itu, Chomsky menyatakan bahwa tugas intelektual adalah menyampaikan kebenaran dan mengungkap kebohongan.

Konteks munculnya esai tersebut adalah situasi ketika banyak intelektual di Amerika yang justru mendukung pemerintah AS untuk memulai Perang Vietnam. Chomsky hendak memberikan kritik mendasar atas sikap para ilmuwan (utamanya ilmuwan sosial) yang justru mencari-cari pembenaran atas kebijakan politik saat itu.

Sebagaimana kasus di atas, kedudukan intelektual di tengah-tengah masyarakat sangatlah penting. Hal ini disebabkan kaum intelektual memiliki privilege berupa akses terhadap pendidikan atau ilmu pengetahuan.

Baca Juga  Berbincang dengan Rumi

Akses tersebut dianggap merupakan keutamaan tersendiri karena masih banyak anggota masyarakat yang tidak bisa mendapatkannya. Dengan demikian, seorang intelektual harus mampu melaksanakan tanggung jawabnya untuk menyatakan kebenaran tanpa takut terdampak tendensi politik tertentu.

Apabila kaum intelektual tidak melaksanakan kewajibannya secara sempurna, maka yang menjadi pertaruhan adalah seluruh lapisan masyarakat. Pendapat seorang intelektual yang hanya mencari-cari pembenaran atas sesuatu yang keliru, dapat seketika berubah menjadi legitimasi bagi tindakan sewenang-wenang pemerintah/penguasa.

Akibatnya, penguasa seakan merasa didukung ketika memutuskan suatu kebijakan yang senyatanya menimbulkan kerugian pada masyarakat. Jika demikian kondisinya, masyarakat akan kehilangan rasa hormat kepada kaum intelektual.

Hubungan Ilmuwan dan Pemerintah

Dalam masyarakat demokratis, adalah penting bagi setiap kekuasaan untuk diawasi. Salah satu metode pengawasan yang efektif berasal dari kalangan terdidik atau para cendekiawan. Para intelektual ini dapat memberikan pendapat atau masukan mengenai kebijakan yang akan/telah dilaksanakan oleh pemerintah.

Selain itu, pada umumnya, para cendekiawan memiliki kemampuan menarik kesimpulan atau memahami suatu fenomena dengan pendekatan yang berbeda dari orang kebanyakan. Sebagai contoh, dalam kasus pandemi korona, pendapat seorang ahli epidemiologi cenderung lebih akurat daripada masyarakat awam.

Dengan demikian, masyarakat awam juga tidak bisa menyangkal terkait kebutuhan atas pendapat para ilmuwan. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang semakin modern, kehadiran ilmu pengetahuan dan ilmuwan menjadi suatu kebutuhan tersendiri.

Masalah yang kian hari makin kompleks di semua lini menuntut kerja sama yang baik antara masyarakat awam dan para intelektual. Masalah politik, teknologi, ekonomi, dan lainnya tidak akan bisa diselesaikan tanpa peran orang-orang yang ahli di bidangnya.

Peran sentral ilmuwan inilah yang harus direnungi oleh orang-orang yang mendaku dirinya kaum terdidik. Mereka dituntut untuk berkhidmat pada ilmu pengetahuan, bukan pada suatu kekuatan politik tertentu.

Baca Juga  Pendidikan dalam Arus Globalisasi Budaya dan Ilmu Pengetahuan

Kemesraan antara ilmuwan dan pemerintah seringkali menimbulkan kerugian lebih banyak pada masyarakat. Dalam kasus kebijakan Perang Vietnam, korban yang berjatuhan dari pihak Vietnam menyentuh angka 1,1 juta jiwa. Sementara di sisi Amerika, korban berjatuhan diperkirakan mencapai 58.000 jiwa.

Ilmuwan Harusnya Netral pada Kekuatan Politik

Tak berbeda jauh dengan kasus di Indonesia, seorang guru besar “mati-matian” membela buzzer pemerintah dengan argumen yang terdengar ilmiah. Padahal, yang ia pertahankan adalah posisi politik bukan posisi ilmu pengetahuan.

Masyarakat sudah muak dengan ulah pendengung (buzzer), akan menjadi muak pula dengan ulah ilmuwan yang terus mencari pembenaran. Posisi ini tidak menguntungkan bagi seorang ilmuwan atau pakar.

Para ilmuwan yang semula dipercaya untuk menyelesaikan masalah masyarakat, justru memperkeruh permasalahan yang ada. Padahal, seorang ilmuwan diharapkan netral pada kekuatan politik apapun, tapi silakan berpihak pada kekuatan ilmu pengetahuan.

Jika hal ini tidak disadari, bukan tidak mungkin, ke depan budaya masyarakat Indonesia dalam mengapresiasi ilmu pengetahuan menjadi semakin memprihatinkan. Belum lagi, ketika melihat betapa daya literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah.

Pada titik ini, terjadi pertaruhan masa depan kepakaran dan ilmu pengetahuan. Jika situasi ini tidak diindahkan, tentu sangat wajar apabila kelak muncul versi yang lebih mutakhir dari matinya kepakaran.

Hanya saja, versi mutakhir ini bukan bersumber dari perilaku masyarakat, melainkan dari ulah gegabah dan arogansi kalangan ilmuwan itu sendiri.

Bagikan
Comments
Post a Comment