f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kenikmatan

Sulitnya Menagih Utang

Kasus penagihan utang kembali memakan korban. Feby Nur Amelia, yang sudah berusaha baik-baik menagih utang ke seorang istri dari pewira menengah polisi berpangkat Komisaris Besar (Kombes) berujung ke meja pengadilan. Tuduhannya mencemarkan nama baik karena menagih utang via instastory miliknya.

Isi pembelaan saat persidangan menyebut, terdakwa telah melakukan komunikasi secara baik-baik via telepon, SMS, dan whatsapp. Tapi, tak pernah digubris oleh pelapor. Akhirnya terdakwa mengunggah status berisikan tagihan utang yang belum dibayar. Konon sudah sampai 5 tahun lebih.

Berbekal UU ITE, korban melaporkan kejadian tersebut ke kantor polisi. Pasal 45 ayat (3) juncto Pasal 27 ayat (3) UU ITE menjerat Feby atas tindakan yang patut diduga mencemarkan nama baik “Bu Kombes”.

Selain Feby, ada kasus lain yang tak kalah mengerikan dari penagihan utang. Salah seorang petugas koperasi keliling dipukuli oleh beberapa orang di sebuah kampung. Alasannya sangat sepele, yaitu menagih utang. Kasus ini diabadikan di video yang beredar di media sosial baru-baru ini.

Bukan dibawa ke kantor kelurahan atau minimal Rumah Pak RT, petugas penagih hutang justru menerima pukulan oleh sekelompok warga itu. Di akhir video sebelum adegan pemukulan, salah seorang warga berkelakar, “Nyairin boleh, nagih jangan.”. Kok lucu ya?

Rumitnya Masalah Penagih Utang

Tentu saja dua kabar tersebut sangat berbeda nasibnya. Perlakuan terhadap Feby terkesan jauh lebih “manusiawi” dibanding dengan warga terhadap petugas koperasi keliling. Tapi, semuanya itu asal muasalnya sama : Malas ditagih dan bayar utang.

UU ITE termasuk UU yang banyak cacatnya. UU ini tidak bisa memilah mana persoalan pencemaran nama baik, mana yang tidak. Pasal “Pencemaran Nama Baik” saja tidak memiliki landasan ideologis maupun teoritis. Intinya siapa yang sengaja maupun tidak sengaja membuat hati seseorang tidak enak, merasa tercemar nama baiknya, maka bersiaplah berhadapan dengan UU ITE.

Baca Juga  Keberadaan Sains, Bebas Nilai atau Terikat Nilai?

Padahal, pencemaran adalah masuknya atau bercampurnya suatu atau beberapa zat yang mengubah sistem atau keseimbangan suatu lingkungan. Seperti pencemaran lingkungan, pencemaran sungai, dan lain-lain. Apakah nama baik bisa tercemar? Apa yang bisa mencemarkan nama baik? Sampah? Debu? Asap? Atau apa?.

Mungkin yang dimaksud adalah penghinaan. Kalimat sering sekali ditemui ketika menerima kritikan, “Kamu menghina saya ya?”. Coba buka lagi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Penghinaan memiliki arti proses merendahkan seseorang. Merendahkan itu seperti apa?. Hanya orang-orang yang merasa tinggi saja yang akan merasa direndahkan. Bisa tinggi hati, tinggi harta, maupun tinggi martabat.

Seringnya kalau ada yang merasa terhina, maka hal tersebut malah membenarkan apa yang selama ini dituduhkan. Kasus Feby bisa menjadi contoh bahwa bobroknya pengutang akan terbongkar semua. Bisa saja Feby akan membuka semua bukti-buktinya di persidangan. Bukankah seperti itu akan membuat korban tambah malu? Apalagi kasus ini sudah terekspos banyak media. Kita tunggu saja hasil pengadilannya seperti apa. Kecuali kalau memang sudah tidak punya malu.

Ancaman bagi Penagih Utang

Kasus Feby dan Penagih tersebut membuka tabir bahwa masalah penagihan utang adalah masalah yang sangat serius. Hal ini bisa terjadi hampir setiap hari. Bisa antar teman, nasabah-lembaga keuangan, maupun antar saudara.

Sulitnya menagih utang bisa dirasakan oleh beberapa orang. Ancamannya banyak sekali. Yang paling parah adalah ancaman terhadap keselamatan jiwa. Awal tahun ini saja, publik sempat heboh kabar tewasnya seorang penagih utang di Bandung. Korban yang sedang menagih utang di kedai ramen, langsung disekap dan dianiaya hingga tewas.

Belum lagi dengan beberapa penagih utang yang mengalami trauma fisik dan psikis. Mereka diberi ancaman berupa intimidasi verbal maupun serangan fisik.

Baca Juga  Ibu, Pelukis Pelangi Toleransi Keluarga

Tidak ada perlindungan baik materi maupun non materi bagi penagih utang yang diberikan oleh negara maupun perusahaan lembaga jasa keuangan. Baik secara individu maupun kelompok. Hanya KUHP yang bisa diharapkan untuk melindungi mereka. Berbeda dengan yang pengutang, mereka punya payung hukum cukup lengkap. UU ITE, UU KUHP, UU KUH Perdata, UU Perlindungan Konsumen, dan lain-lain.

Belum lagi pengutang yang dilindungi oleh semacam kelompok ormas atau preman. Intimidasi kepada penagih hutang jelas sangat tinggi. Teman saya pernah menagih di suatu daerah di Kabupaten Banyumas. Pengutang berdiri dibalik perlindungan yang mengatasnamakan “Masyarakat Anti Riba”. Hampir terjadi kekerasan secara verbal, sampai penarikan KTP secara paksa.

Banyak Alasan untuk Ingkar Janji

Kata “Riba” ini saja menjadi bisa menjadi tameng bagi pengutang selain UU ITE. “Riba mas, dosa besar kalau makan riba. Aku gak mau bayar kalau gitu.”. Lah memangnya tidak bayar utang terus aman dunia dan akhirat? Ya tidak. Belum lagi pemikiran yang tidak realistis, sudah tahu bank atau lembaga keuangan itu riba, mengapa masih berutang di bank?

Kadang kalanya, pihak penagih utang itu tertekan oleh keadaan. Bagi penagihnya bersifat pribadi, bisa jadi dia memiliki kebutuhan mendesak dan segera membutuhkan uang. Akhirnya terpaksa berakting layaknya pengemis. Kalau penagihnya bersifat pekerjaan, bisa jadi karena tuntutan dan tekanan pekerjaan. Akhirnya, berbagai cara ditempuh agar uangnya bisa minimal kembali seperti saat meminjam.

Bahkan ada yang sampai menggertak pengutang karena setiap waktu selalu ingkar janji. Oh, bukan ingkar janji, tapi meleset dari janji. Kalimat sama tapi seakan-akan berbeda. Seperti Kalung Antivirus Corona, tapi bukan Kalung Anti Covid-19.

Bagi yang berniat berutang, alangkah baiknya jika sudah dihitung matang-matang kekuatan ekonominya. Siap dengan nilai angsuran setiap jatuh temponya, mau bulanan maupun harian. Kalau perlu didiskusikan baik-baik dengan Pihak marketing atau Account Officer-nya, jika terjadi sesuatu di depannya seperti ingkar janji atau wanprestasi akan seperti apa tindakannya.

Baca Juga  Utang Menyebabkan Hidup Segan, Mati Tak Mau

Jika sesama individu, baik teman maupun keluarga, sebisa mungkin membayar dengan tepat waktu. Buatlah janji yang sekiranya masuk akal untuk mengembalikan. Jangan terlalu lama untuk mengembalikan, karena bisa jadi kebutuhan yang dipinjami datang tiba-tiba dan mendesak. Hubungan silaturahmi bisa rusak dan hancur karena masalah utang piutang.

Komunikasi yang Utama

Dari keseluruhan itu, komunikasi yang utama. Jelas berbagai kasus tindakan tak bermoral tersebut akibat komunikasi yang macet. Whatsapp diblok. SMS tak terbalas. Telepon tak pernah diangkat. Giliran diunggah via media sosial, malah ujung-ujungnya main lapor. Itu sehat?

Khusus yang masih bersikeras “Jangan ikut bank. Riba!”, sudah tidak perlu htang bank, kredit motor via leasing, maupun menjaminkan BPKB atau Sertifikat Tanah di koperasi. Apapun belinya harus tunai. Syukur-syukur tidak perlu berurusan dengan lembaga keuangan, seperti investasi, menabung, atau deposito uang. Karena semua lembaga keuangan sudah tercemar oleh bakteri riba, seperti apa yang diyakininya.

Selain selamat dari dosa riba, tentu saja menyelamatkan diri dari wajah seram para penagih utang yang siap-siap bertamu ketika terjadi keterlambatan angsuran.

Jadi, sudah siap berutang? Kami tunggu di kantor kami. Eh malah iklan.

Bagikan
Post a Comment