f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
hijrah

Menyoal Tren Kajian Gerakan Hijrah: Dari Persoalan Otoritas Hingga Komodifikasi Agama

Sebagaimana tulisan-tulisan sebelumnya, saya selalu suka mengulas sesuatu dalam bentuk curhatan, baik itu hasil bacaan ataupun respons atas fenomena tertentu. Pada tulisan ini, saya ingin kembali curhat atas fenomena yang sebetulnya sejak dulu telah menjadi keresahan bagi saya dan kawan-kawan yang getol merespons tren keberagamaan gerakan hijrah kontemporer. Singkatnya, apa yang ingin saya ulas ini tidak lain merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya yang akan difokuskan pada upaya nalar kritis atas tren dan model kajian gerakan hijrah yang tampak mengalami ragam ‘anomali’.  

Pertanyaannya kemudian, seberapa penting isu ini untuk diulas? Sebelum menyimpulkan penting atau tidaknya, saya ingin mengajak pembaca untuk membandingkan antara model kajian konvensional dan kajian gerakan hijrah. Mari kita bandingkan dari dua aspek utama yakni dari sisi pemilihan pemateri dan pelaksanaan kajian. Dua aspek ini agaknya sudah cukup untuk menunjukkan penting atau tidaknya isu ini untuk diulas lebih lanjut.

Pertama, dari aspek pemilihan pemateri kajian. Jika pada kajian konvensional kualitas keilmuan menjadi pertimbangan utama, pada kajian gerakan hijrah justru sebaliknya. Dengan menjadikan kuantitas followers sebagai yang utama dan cenderung mengesampingkan kualitas keilmuan.  Kedua, dari aspek pelaksanaan kajian. Sebagaimana kita tahu bersama, bahwa aksesibilitas dan pemilihan tema-tema substansial menjadi hal yang paling utama dalam pelaksanaan kajian konvensional. Sementara pada kajian gerakan hijrah juga justru sebaliknya dengan pelaksanaan kajian yang sangat eksklusif (tempat dan harga tiket yang mahal) serta pemilihan tema yang cenderung monoton seputar cinta-cinta. Belum lagi masalah outfit kajian yang juga tidak murah.

Tanpa menjawab penting atau tidaknya, berdasar pada kedua fakta di atas agaknya pembaca sudah bisa menyimpulkan sendiri apa jawabannya. Mungkin ada yang beranggapan, hal-hal baik kenapa harus dipersoalkan? Bukankankah di luar sana masih banyak hal-hal buruk yang lebih pantas untuk diulas? Jawabnya, betul masih banyak. Tapi, bukankah sesuatu yang baik jika tidak dilaksanakan secara tepat juga bisa berdampak buruk? Silakan pembaca pikirkan sendiri dan kaitkan dengan apa yang saya ungkap di atas.

Baca Juga  Mengarungi Samudra Kepenyairan Buya Hamka

Tentu, sangat wajar jika pembaca dan saya berbeda pandangan dalam melihat fenomena ini yang lebih condong mengafirmasi bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang boleh dianggap sepele dengan beberapa posibilitas dampak buruk yang dapat ditimbulkan. Terlepas dari perbedaan itu, sebelum muncul prasangka tidak-tidak, saya ingin disclaimer bahwa posisi tulisan ini murni berangkat dari keresahan akademik yang didasarkan pada fakta-fakta yang ada dan sifatnya—jika boleh disebut—kritik sekaligus masukan bagi para aktivis gerakan hijrah. Tidak lebih dari itu, apa lagi sampai niat mau nyinyir, tentu saja tidak!

Kembali ke persoalan awal, kira-kira apa dampak buruk yang akan ditimbulkan dengan merebaknya ragam tren kajian gerakan hijrah ini? Jawabnya tidak terlepas dari dua poin utama yang terdapat di bagian judul (persoalan otoritas dan komodifikasi). Tapi sebelum ke situ, mari kita jujur-jujuran dengan membuka mata dan objektivitas keilmuan masing-masing. Saya yakin pembaca juga merasakan bahwa, sejak term hijrah diadopsi dan dijadikan label oleh ragam gerakan komunitas keagamaan, narasi agama semakin ke sini semakin terseret ke mana-mana. Mulai dari kepentingan cari ‘panggung’ (terutama di ruang media sosial) hingga kepentingan komersial. Kesannya memang agak sarkas, tapi itulah realitanya.

Agama yang awalnya mengakar secara sosiologis oleh mereka direpresentasikan dalam bentuk tren-tren populer yang pada saat yang sama telah menggeser ragam makna substansial ajaran agama. Ia tidak lagi menjadi imprissant dalam tubuh manusia. Melainkan tampil dalam kode-kode gaya hidup dan hiburan yang mengubah agama menjadi proses konsumsi material. Agama dalam hal ini menjadi sangat dekat dengan dunia perdagangan hingga berujung pada jebakan komodifikasi agama.

Berdasar pada realitas tersebut, mari kita bahas dua poin utama yang saya maksud tadi yakni terkait otoritas kepakaran agama dan komodifikasi sebagai dampak nyata merebaknya ragam tren kajian gerakan hijrah.

Baca Juga  Perempuan Tangguh Di Balik Peristiwa Hijrah (2)

Pertama, masalah pergeseran otoritas kepakaran agama. Proses produksi pengetahuan agama yang awalnya berdasar pada keberadaan tokoh dengan kharisma keilmuan sebagai basis legitimasi secara perlahan bergeser menjadi lebih terbuka. Kehadiran para selebgram agamis (lihat tulisan saya yang lain, matinya kepakaran agama di tangan selebgram agamis) yang dengan gagah berani memberikan ragam ‘fatwa agama’. Tanpa didasarkan pada pandangan tokoh di berbagai kajian hijrah dan platform media sosial menjadi bukti nyata atas perubahan ini.

Singkatnya, kehadiran selebgram agamis ini telah menggeser syarat kepakaran agama dari banyak tidaknya keilmuan menjadi banyak tidaknya jumlah followers. Dengan kata lain, semakin banyak jumlah followers maka semakin didengar fatwa-tawanya. Meskipun itu monoton hanya seputar tema nikah muda dan percintaan.

Kedua, masalah komodifikasi agama. Sebenarnya, cukup banyak tulisan yang telah menguraikan fenomena ini secara panjang lebar. Termasuk saya juga pernah mengangkat tema ini di salah satu rumah jurnal. Tapi, di antara banyaknya tulisan itu, saya tertarik berbagi kepada pembaca tulisan salah seorang aktivis perempuan bertajuk ‘mahalnya biaya untuk berhijrah’. Dari judulnya saja, sudah jelas apa yang mau disorot oleh sang penulis.

Meski dibatasi oleh jumlah kata, ia dengan sangat apik berhasil menunjukkan fakta-fakta seputar gerakan hijrah yang cenderung sangat dekat dengan jebakan komodifikasi agama. Menariknya, ia menguraikan ragam fakta itu berdasar pada pengalaman empirisnya dengan membandingkan pola ‘berhijrah’ sebelum dan setelah munculnya komunitas hijrah ini. Baginya, dulu untuk mendekatkan diri kepada ajaran agama itu tidak butuh uang banyak. Tapi setelah munculnya tren hijrah ini semua berubah drastis. Hal ini disebabkan adanya stigma yang seakan menganggap orang belum disebut berhijrah jika belum ikut kajian dan fashion komunitas hijrah yang pada saat yang sama harganya cukup mengherankan.

Baca Juga  Pernikahan Unik Suku Jawa dan Suku Batak

Terutama dengan munculnya ragam brand lokal buatan artis-artis hijrah yang harganya bisa membuat gemetar. “Gilak, satu pasang baju untuk keseharian bisa dijual dengan ‘harga segitunya’ harga baju ‘segitu’ biasanya hanya sanggup saya beli setahun sekali” tutur aktivis ini. Belum lagi keberadaan ratusan penyewa tenant yang siap siaga menawari produknya di setiap event komunitas hijrah.

Cara dan ekspresi setiap orang dalam mendekatkan diri dengan ajaran agama memang beda-beda. Tapi ketika pola seperti ini dibiarkan begitu saja dan menjadi sesuatu yang mengakar bisa berabe agama ini. Bukannya malah membuat orang semakin mendekat dengan ajaran substansial agama justru menjadi terjebak dengan sesuatu yang bersifat simbolik. Analoginya, “Dari yang seharusnya seseorang mandi terlebih dahulu malah sibuk cari dan pakai parfum yang mewah. Padahal mandi terlebih dahulu itu lebih penting dari sekedar pakai parfum.” Wallahu a’lam bi al-shawab.

Bagikan
Post a Comment