f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
anak-anak masjid berisik

Anak-Anak di Masjid, Sebenarnya Siapa yang Berisik?

Saya melirik ke samping kiri, ada beberapa anak berusia lima sampai delapan tahun. Mereka mengenakan mukena berwarna-warni, dengan motif bunga ataupun kartun. Mereka ceria sekali, saling berbisik tertawa kecil. Ada pula yang berusia lima tahun, tak berjilbab berjalan berjinjit mondar-mandir di depan saya.

Saya tersenyum sendiri sambil mengangkat tangan berdoa. Masjid yang monoton berisi orang-orang tua menjadi semarak dengan hadirnya malaikat-malaikat kecil ini. Meski kadang saya lirik kanan kiri, mencari Ibu atau Kakak mereka, agar berkenan memberi pengarahan agar mereka tidak terlalu berisik.

Hehe, mau bagaimana lagi, saya merasa tidak berhak menegur mereka, karena saya alumni rame di musala. Saya masih ingat betul tiap magrib, saya merengek ke Bapak saya. Lalu, Bapak akan memberikan wejangan agar saya menjaga sikap di musala. Namun, apa daya permainan dengan teman lebih menarik.

Saya suka bermain kejar-kejaran di antara jamaah. Kadang juga berputar di pembatas putra dan putri yang kala itu masih dalam bentuk kain. Hahaha, lalu saat sudah rakaat terakhir kami akan segera berkemas-kemas. Saya masih ingat betul, seorang takmir memarahi kami. Bonus juga Bapak memarahi saya dan tidak mengajak saya ke musala.

Saya menangis saat itu. Saya merasa sedih tidak boleh lagi ke musala. Ada rasa kehilangan meski masih dengan alasan khas anak kecil, tidak bisa bertemu teman.  Lalu, endingnya Bapak mengalah, dia mengajak saya untuk ke musala lagi. Namun, kali ini saya berusaha hanya cekikikan dan saling senggol dengan teman. Takut di marahi.

Ah, masa kecil yang syahdu. Bagaimana perasaan cinta musala dan masjid muncul dalam benih yang samar.

**

سْمِ ٱللَّٰهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Baca Juga  Perawat dan Masa Depan Edukasi Seks bagi Anak

Suara Imam menggema mengisi sudut-sudut masjid. Terdengar jelas, ayat terus dilantunkan. Saya bisa mendengar jelas suara berisik itu beradu dengan suara anak-anak yang di samping saya tadi. Saya berusaha memejamkan mata, berfokus pada bacaan Imam. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya saya malah keluar dari jalur.

Mulut saya dan tubuh saya salat, tetapi tidak dengan otak saya. Otak saya berjalan bebas. Otak saya menyusun rencana akan memasak sahur apa hari ini. Apakah saya sudah membayar tagihan listrik, atau dimanakah letak kunci rumah saya. Semua berdesing di kepala. Tiba-tiba saja saya sudah sampai di tahiyat akhir lalu ikut salam.

Apa hanya sekali saya melakukan itu? Nampaknya tidak, hampir setiap saat saya melakukannya. Lalu, pada akhirnya saya tahu, tubuh saya melakukan autopilot selama salat. Ya, Ibadah yang saya lakukan ini sudah dilakukan lebih dari dua puluh tahun, jadi wajar saja. Saya hanya merapal dan bergerak tanpa menghayati yang saya kerjakan.

Ah, saya jadi ingat ceramah dari Gus Baha, beliau mengisahkan bagaimana Umar bin Khattab diserang saat menjadi Imam. Padahal logikanya, harusnya jamaah bisa mencegah penyerangan itu. Lalu, mengapa saat itu Abu Lu’luah lolos, tidak lain dan tidak bukan karena semua peserta salat berada dalam keadaan khusuk.

Ada juga cerita unik dari Ali bin Abi Thalib. Al kisah beliau terkena panah saat perang. Terjadi sedikit diskusi bagaimana cara mengambil panah ini, karena akan sangat sakit prosesnya. Maka Ali meminta agar panah dicabut saat beliau melaksanakan salat. Lalu, benar saja beliau tidak bergerak dan asyik saja berdialog dengan Allah.

Ya, memang kita bukan manusia sekaliber sahabat Nabi. Untuk mencapai khusuk sekaliber beliau tentu susah. Bagaimana mereka bisa hanyut dalam salat.  Masuk ke dalam kalimat,

Baca Juga  Saat Buku Lebih Penting Ketimbang Isi Perut

إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

“Sesungguhnya, salatku ibadahku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan Semesta Alam.”

Hanya ada Allah, Allah dan Allah dalam salat. Semua panca indera, tubuh kita berada dalam keadaan sesadar-sadarnya berada di depan Allah. Tidak lagi dalam salat mereka mendengar ada suara selain lafadz salat, tidak ada lagi kontak fisik yang terasa di dalam menjalankan salat.

 Ya, keadaannya persis saat saya sendiri asyik nonton medsos atau televisi. Saya tidak bisa mendengar apa yang ada di sekitar saya, saya fokus. Semua menjadi tidak terlihat sementara. Percuma saja teriakan Ibu saat memanggil saya. Percuma juga ketika saya dicubit, jiwa saya sudah menyatu ke dalam media tersebut.

Memang menjadi polemik ketika membawa anak ke masjid atau musala. Saya yakin banyak orang tua yang mengajak anak ke masjid dengan tujuan membuat mereka cinta masjid. Saya juga percaya, tidak habis orang tua memberikan nasehat kepada anak. Di sisi lain, kadang memang anak-anak itu memiliki agenda untuk bersenang-senang di dalam masjid.

Jadi, saya merenungi yang berisik siapa sih sebenarnya. Anak-anak yang datang ke Masjid?   Ataukah sebenarnya kita sendiri yang gagal mendiamkan kepala dan hati kita, untuk bersatu padu bertemu dengan Allah dalam salat. Karena seyogyanya jika kita mampu beribadah dengan khusuk, ada atau tidak anak-anak kita akan merasa baik-baik saja di Masjid.

Bagikan
Post a Comment