f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
nikah sederhana

Normalisasi Nikah Sederhana di KUA, Jalur Aman Menyambut Bahagia

“Kalau nikah nanti, aku mau sewa gedung serbaguna 2 hari  Fa, tapi kok calonku nampak ragu belum menyodorkan kata “iya” ”. Demikian kalimat pembuka percakapan saya dengan teman saya, sebut saja Risma. Risma yang tahun depan merencanakan pernikahan, menyampaikan niatnya untuk mengadakan pesta di gedung serba guna. Namun, ia sedikit mengalami kendala. “Biaya sewa gedung serba guna lumayan, Ma. Belum vendor dan sebagainya, kamu yakin?” Ujarku.

Mendengar pertanyaan yang saya lontarkan, pendar di wajah Risma memudar. Antusiasnya berkurang saat melanjutkan cerita rangkaian keinginan di momen berharganya. “Ma, aku tanya tok loh, bukan maksud apa-apa, aku tidak meragukan kemampuanmu, tapi apa semua sudah kamu timbang baik buruknya, gimana dengan kemampuan calon suamimu?”  Kataku menanyakan ulang. “Baik buruk gimana maksud mu, Fa?” Risma bertanya-tanya.

***

Di bangku itu, kami bicara panjang lebar soal serba-serbi pernikahan. Terkhusus pernikahan anak jaman sekarang. Soal pernikahan yang diberi stereotip “harus mahal”. Bukan hanya artis saja yang menggelar pernikahan dengan megah dan wah. Bahkan masyarakat pedesaan pun tak jarang menjadikan pernikahan sebagai ajang megah-megahan atau dalam Bahasa Jawa, “jor-joran”. Mulai angka puluhan juta hingga milyaran rupiah rela mereka gelontorkan. Tak peduli uang  tersebut hasil tabungan ataupun  hutangan.

Hal itu tentu saja menjadikan momok bagi sebagian pasangan muda, sehingga tak jarang mereka ragu dalam melanjutkan hubungan ke jenjang lebih serius bernama pernikahan.  Permintaan pasangan tanpa menilik kadar kemampuan, tuntutan orang tua akan pesta pernikahan  yang “tidak biasa”, menjadi sebentuk ketakutan sebagian orang untuk duduk di pelaminan. Memang tidak semua mindset pasangan dan orang tuanya demikian, tapi kasus-kasus ngeri yang dilatarbelakangi masalah tersebut cukup meresahkan dan butuh banyak perhatian.

Baca Juga  Kriteria Pasangan Ideal, Belajar dari Rasulullah Saw

Seperti halnya kasus yang terjadi di Kudus, Jawa Tengah. Seorang perawat cantik lebih memilih gantung diri lantaran terlilit hutang besar pasca gelar pesta pernikahan. Miris memang. Momen pernikahan yang seharusnya menjadi gerbang awal melaksanakan ibadah panjang, nilai sakralnya justru bergeser menjadi sebuah ajang unjuk citra dan berujung pada hilangnya nyawa.

Tanpa menghakimi siapapun, saya kira ketika kondisi “memaksakan” demikian terjadi, sudah pasti ada dorongan motivasi, entah tuntutan pihak orang tua ataupun kemauan diri sendiri yang menyebabkannya. Mereka terdistraksi sehingga terdorong untuk mengusung citra pernikahan ideal dengan terpancang pada standarisasi orang-orang, padahal kata  “ideal” demikian adalah kenisbian. Lalu apa tujuan dari semua? Tidak lain tidak bukan, minimal agar selepas gelaran acara tak menjadi bahan “rasan-rasan” atau gunjingan. Kalaupun tidak ada dorongan demikian, kecil kemungkinan mereka-mereka ini memaksakan diri menempuh jalur terjal jika kantong mereka memang sedikit  belum mencukupi. Pasti mereka lebih memilih jalur aman bukan?

Tak sampai di situ, ada pula kasus pencurian di Purbalingga yang dilatarbelakangi oleh hal yang serupa. Saya yakin banyak pula kasus-kasus sama yang mungkin tak terliput dan terdengar di telinga kita. Sekali lagi nilai suci pernikahan ternoda oleh kasus-kasus semacam ini.

Namun belakangan ini ramai soal tren  nikah sederhana di KUA. Dengan mengenakan pakaian wajar serta membawa mahar,  pasangan tersebut menggelar pernikahan dengan senyum mengembang tanpa mengurangi kesakralan. “Yang penting adalah sah secara agama dan negara,” tutur pengantin baru dalam sebuah video viral tersebut.

Saya rasa tren demikian perlu terus kita gaungkan dan viralkan. Bagi saya, tren tersebut seakan mendobrak stereotip mahal dari pernikahan . Menurut saya, normalisasi nikah di KUA  tersebut seakan menjadi sebuah tawaran solusi bagi muda-mudi untuk menjalani ibadah panjang tanpa terbebani urusan hutang. Tanpa menafikan effort dan kerja kerasdari calon suami, normalisasi ini seakan dapat meringkus banyak kasus-kasus ngeri setelah gelaran resepsi. Ya, dengan menganggap nikah sederhana di KUA sebagai hal wajar, maka secara sepontan turut menggemakan slogan kesederhanaan, minimalis dan praktis yang menjadi konsep dari ajaran Islam sediri. Bukankah konsep kesederhanaan hadir untuk memberi angin segar bagi orang-orang untuk menjalani kehidupan dengan tenang? Iya, salah satunya tenang tanpa terlilit hutang.

Baca Juga  Nikah, Jangan Asal Nikah

Bayangkan jika normalisasi nikah di KUA masif digalakkan. Tentu nikah di KUA  perlahan tidak lagi dipandang sebagai hal yang “kurang wajar”. Menepis anggapan nikah di KUA adalah nikah tanpa modal alias “ndak mbondo”. Karena bagaimanapun ada hal yang lebih besar yang dikerjakan setelah pelaksanaan pernikahan itu sendiri. Ndak kok di habis-habiskan saat gelaran resepsi. Bukan lagi lelucon, jika pasangan muda yang setelah malam pertama seharusnya mencanangkan goal besar kehidupan, justru sibuk memikirkan cara melunasi hutang. Sudah pasti kesehatan mental terguncang dan jadi beban fikiran. Hal demikian harus menjadi perhatian dan pertimbangan.

***

“Saat mewah-mewah menjadi mainstream, maka sederhana jadi asing”, paparku menutup diskusi panjang malam itu”. Risma mengangguk seolah benar-benar paham. Saya tak begitu banyak menghujam Risma dengan pertanyaan-pertanyaan. Ia sedikit termenung, mungkin ia sedang  mencerna ulang gambaran yang usai saya sodorkan. “ Aku mulai faham,” tandasnya.

Sebenarnya saya bukan kaum pembenci pesta-pesta pernikahan. Jika memang pesta diadakan sesuai dengan kemampuan, ya monggo, silakan. Selagi pasangan tidak terbebani biaya resepsi dan tidak mendorongnya mencari sokongan dana sana-sini, ya tidak masalah. Bicara soal kemampuan, tentu kemampuan setiap orang pun berbeda. Maka  jangan pula dipukul rata. Terlebih lagi mengganggap gelaran nikah di KUA sebagai hal yang kurang bahkan dipandang tidak wajar, jangan! Saya pun faham nikah merupakan momen yang patut dikenang dan setiap insan pasti punya wedding dream pilihan. Tapi yang patut diperhatikan, sudahkah kita menimbang  hal-hal yang lebih krusial?

Bagikan
Comments
Post a Comment