f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
nasyiatul aisyiyah

Nasyiatul Aisyiyah dan Gagasan Kesetaraan

Kelahiran Nasyiatul Aisyiyah pada 1931 silam sesungguhnya dapat ditinjau sebagai respons yang Muhammadiyah lakukan atas kesadaran kesetaraan gender. Pada masa-masa itu, posisi laki-laki dan perempun sungguh beda—dan dibedakan. Perempuan bukanlah pilihan utama, ia acap dikesampingkan, lebih-lebih dalam urusan-urusan umum dan melibatkan khalayak ramai.

Praktik diskriminasi dan ekploitasi terhadap perempuan semenjak era prakemerdekaan dinilai sebagai pintu masuk tumbuh suburnya ketimpangan relasi yang bias gender. Kesemua ini dapat terjadi mulai pada ranah domestik hingga pada tataran yang lebih luas: negara. Perempuan lebih banyak didudukkan sebagai warga second class, dan oleh karenanya dianggap layak untuk tidak diutamakan.

Perempuan bernasib malang: kehadirannya dikesampingkan, perannya ditiadakan, fungsinya dinihilkan. Berangkat dari kesadaran itu, maka, gagasan kesetaraan pada akhirnya muncul seiring dengan lahirnya keyakinan bahwa ketimpangan harus lekas diakhiri—dan tatanan masyarakat dapat dibangun bersama. Antara laki-laki dan perempuan secara beriringan, jangan satu sama lain saling meninggalkan.

Lagipula, Islam sebagai agama amat men junjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kesetaraan bagi seluruh penganutnya tanpa memandang gender. Laki-laki dan perempuan di tempat yang setara sebagai sama-sama hamba, artinya keduanya saling memiliki potensi kebaikan dan kemaslahatan. Satu sama lain tidak saling merendahkan dan menghinakan.

Mantra Kesetaraan

Sampai hari ini, gagasan—sekaligus tuntutan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan masih kuat digaungkan. Sebutlah berbagai elemen masyarakat dan komunitas ramai, masih menempatkan isu sekitar kesetaraan sebagai topik kampanye. Tuntutannya selalu konsisten: perempuan dan laki-laki tidak boleh timpang. Keduanya harus saling mengisi dan memberi.

Ruang publik kini juga nyaris selalu riuh oleh amplifikasi isu kesetaraan. Di mana-mana bahasan kesetaraan menjadi topik hangat sekaligus juga seksi. Tulisan-tulisan menjamur bak cendawan, lalu lintas media sosial ramai dan berjejal, ruang-ruang diskusi selalu semarak dan hangat. Kesemuanya seolah menuju satu tarikan napas yang sama.

Baca Juga  Setiap Suami-Istri Perlu ‘Kencan’

Laki-laki dan perempuan kemudian dimafhumi memiliki kedudukan yang sama dan setara dalam mengekspresikan gagasan dan pemikiran. Perempuan bukan lagi dianggap liyan dan oleh karenanya mulai tidak lagi ditempatkan dan diletakkan pada posisi belakang. Perkembangan sosial masyarakat sudah berada pada fase tidak lagi melulu mendudukkan gender sebagai pertimbangan utama dalam hajat-hajat orang ramai. Artinya, di antara mereka sudah dianggap setara.

Kelahiran Kesetaraan

Kelahiran Nasyiatul Aisyiyah dapat dipandang sebagai bentuk perlawanan atas mapannya narasi terhadap perempuan pada zaman itu: yakni bekerja di sekitar dapur, sumur, dan kasur. Perempuan kala itu nyaris tidak punya kesempatan untuk keluar dari peran tradisionalnya itu—dan kemudian Nasyiatul Aisyiyah lahir lalu menyuarakan sekaligus menciptakan ruang ekspresi terhadap perempuan (muda).

Putri Islam yang terdidik kemudian menjadi ciri khas gerakan Nasyiatul Aisyiyah seiring dengan berkembangnya narasi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sebagai sesama khalifah fil ‘ardl. Laki-laki dan perempuan dapat sama-sama memimpin alam semesta. Nasyiatul Aisyiyah memandang bahwa perempuan juga memiliki hak atas akses pendidikan yang sama dengan laki-laki sebagai salah satu isu utama pergerakan.

Pendidikan, sebagai piranti utama jalan meraih pengetahuan diretas oleh Nasyiatul Aisyiyah melalui gerakan-gerakannya. Kemudahan-kemudahan terhadap jangkauan pendidikan ditempuh sebagai jalan menuju pencerahan dan peradaban. Mengadakan sekolah, menyelenggarakan kursusd dan menggalakkan keterampilan.

Kesetaraan Nyata

Maka, sesungguhnya narasi kesetaraan gender di Nasyiatul Aisyiyah sudah bukan lagi semata pada tataran gagasan. Ia sudah dipraktikkan dan digelorakan secara nyata. Maqam kesetaraan di Nasyiatul Aisyiyah bukan lagi pada titik kata-kata. Sebagai organisasi, kehadirannya merupakan keyakinan yang berangkat dari kesadaran bahwa di antara laki-laki dan perempuan memang memiliki peran dan fungsi yang sama: sebagai pemimpin.

Baca Juga  Saya Dimata-matai Bill Gates!

Kehadiran Nasyiatul Aisyiyah di tengah-tengah masayarakat, dengan demikian, haruslah menjadi oase di tengah-tengah gurun pengetahuan yang kerontang atas perempuan yang sudah sedari lama dianggap tidak layak menyenyam bangku pendidikan—sebagaimana laki-laki, pada masa lampau.

Padi yang dipilih oleh Nasyiatul Aisyiyah sebagai logo bukan tanpa maksud. Ia adalah simbol kemakmuran dan kesejahteraan. Rumusan jalan yang ditempuh pun jelas lagi nyata: pendidikan dan pengetahuan. Kendati, semakin berisi, ia harus kian merunduk. Kian berpengetahuan tidak berarti boleh menginjak yang lain.

Bagikan
Post a Comment