f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
siksa

Sebermula Siksa

“Mak… ampun, Mak…,” mulutnya tak sanggup berucap kalimat lain. Permohonan melas itu terus ia ulang tanpa bosan. Giginya meringis menahan nyeri. Matanya terpejam. Sedang kakinya memancal tak karuan. Perempuan tua di sampingnya sibuk menyeka keringat dingin yang terus membanjir di seluruh tubuh ramping yang menggeliat tak henti-henti.

“Dingin? Mamak ambilkan selimut lagi, ya?”

Tanpa menunggu sahutan, Mak Sudar segera beringsut ke kamar. Menyambangi almari besar. Membukanya, lalu meneliti lipatan-lipatan kain satu persatu.

Suara Gayatri terus menderu. Sudah setengah jam ia terbujur lunglai di atas karpet karet ruang tengah, bergulat dengan kaca pecah tak kasat mata yang mengeruk dinding rahim. Perutnya serasa dilumat binatang hutan. Menyiksa tanpa ampun. Seperti berniat membinasakannya, tapi Gayatri tak mati juga.

“Minta ampun, Maaaak!” kali ini erangannya menguat. Direnggutnya tangan Mak Sudar dan dibelesakkannya ke perut dengan lemah. Memang benar, tak mengurangi rasa sakit barang sedikit. Namun mampu membuat kepercayaan ‘belum mau mati’ Gayatri menguadrat.

“Sssst! Ngomong apa kamu ini?” kali ini Mak Sudar mengerutkan dahi dan segera menggelontor minyak ke tubuh bungsunya. Gayatri tambah tergugu. Sakitnya kini campur aduk. Satu karena perutnya; dua karena perasaan berdosa.

***

Bukan kali ini saja Gayatri merasakan sensasi sedemikian menyiksa saat bulannya tiba. Hampir setiap bulan, ia harus sedia obat nyeri yang harus ia minum segera setelah darah keluar. Pernah ia tidak minum karena ia pikir, rasa sakit itu hanya mampir satu kali. Alhasil ia terkulai lemah di kamar mandi kampus dan terciduk dosen sendiri. Niat hati ingin menghindar dari orang-orang sekitar dengan bersembunyi, malah jadi pusat atensi.

Yang terpikir waktu itu hanyalah menghubungi Mamak. Tidak mungkin juga Mak Sudar pergi ke kampus sebenarnya, tapi Gayatri hanya membutuhkan hal yang membuatnya merasa lebih baik.

Baca Juga  Yang Tak Terdefinisikan

Karena panggilan daring tak kunjung bersahut, ia menelpon teman kos. Berharap agar ia segera diangkut. Namun ternyata, sang dosen telah terlebih dahulu menemukannya.

Yang lebih heboh lagi, semasa KKN. Setelah memporak-porandakan kamar mandi; menumpahkan rinso ke bak, menjatuhkan botol-botol sampo milik teman-temannya ke lantai, dan menjatuhkan sabun ke kloset; Gayatri keluar dan membanting diri ke kasur. Seorang teman yang sedang di kamar panik. Padahal temannya itu baru saja mangap. Hendak mencoba coklat panggang pemanis lisan–agar saat berbicara dengan Bu RW tak disalahkan melulu–jadi urung. Hanya ada dua teman mulanya yang menandangi Gayatri. Oleh karena rintihannya terus menderu dan terdengar sangat menyakitkan, semua orang yang tersisa di posko segera ke kamar.

Yang sedang ngaca sambil mengorek karang gigi ke kamar. Yang sedang menyapu latar, mencari perhatian warga sekitar ke kamar. Bahkan yang sedang berusaha mencari tempat untuk menjemur pakaian ke kamar. Kebetulan waktu itu, kaum adam sedang tak di lokasi satu pun. Semua takut, semua kalut.

***

“Yat… Yat….! Biasanya kamu diapain kalau sakit begini, Yat??!” tanya Maul sambil mendekatkan mulut ke kuping Gayatri. Sengaja membentak, agar tak kalah dengan raungan Gayatri. Bahkan ia tak tahu; musabab Gayatri tak kunjung menjawab adalah karena sulit bicara saking sakitnya. Bukan budeg.

“Aduh… ndak dijawab i sama Gayatri….” Maul menyerah, menunjukkan wajah cemberut kepada teman di sampingnya, Ema.

“Browsing! Browsing!” seru Ema dengan mata membelalak sambil menepuk-nepuk paha Maul. Keduanya saling berpandangan, lalu melonjak-lonjak di atas kasur.

“Pinter kamu!” Maul segera mengeluarkan ponsel. Mulutnya komat-kamit membaca baris-baris kalimat tutorial yang ada di internet. “Anu… pijit tangannya, Emmm….”

“Pijit gimana??” Kini Ema yang panik. Pasalnya tangan Gayatri terasa semakin dingin dan pucat. Lalu Maul membaca langkah satu persatu sementara Ema mempraktekkan.

Baca Juga  Setitik Cahaya di Sarang Setan

“Tak buatin jamu ya, Yaattt? Jamuuu??” kini si juru masak–Oliv turut menawarkan solusi. Gayatri manggut-manggut. Mulutnya tak lepas dari lafaz istighfar. Oliv yang semenjak tadi mengelus-elus kepala Gayatri langsung tunggang-langgang menuju dapur.

***

Yang satu menyapukan minyak ke punggung. Yang satu sisanya, pengajian di ruang tengah. Roslin, anak nyai kondang se-kecamatan tempat ia tinggal itu yakin, sakit yang Gayatri derita bukan sakit perut biasa. Dengan mencermati lekukan pringisan dan mendengar frekuensi tangisan, sudah barang pasti, ada orang yang mau mengguna-guna Gayatri. Tak salah lagi, ini pasti ulah Lidia–anak perempuan Pak Lurah yang dua hari lalu terlihat merah padam usai keluar posko. Pasalnya, Gunawan–sang ketua kelompok KKN–lebih memilih memberikan mendoan pemberian Lidia kepada Gayatri daripada mengunyahnya sepenuh hati. Ini tidak bisa dibiarkan. Lidia harus tahu, betapa doa-doa di atas secarik kertas yang disakukan oleh Ibu Roslin lebih sakti dari tipu dayanya.

Gayatri masih ingat segala kehebohan itu. Kehebohan yang kesekian–yang diakibatkan olehnya. Padahal jika di rumah, segala hal itu dilakukan oleh seorang; membuatkan jamu, mengelus, memijit, meminyaki, dan mendoakan: Mamak.

“Minta ampun, Mak….” Suara Gayatri kini melemah. Namun tangisnya tak kunjung reda. Butuh satu dua jam biasanya agar sakitnya benar-benar sirna.

“Iya, Nduk….” Mak Sudar terus mengelus-elus perut Gayatri. Ada setitik cairan bening yang mengambang di mata tuanya. Sayang, Gayatri tak melihat karena tak kuasa membuka mata.

Terus berucap demikian karena Gayatri sadar betul bahwa rasa sakit yang menghujam rahimnya merupakan azab. Ustaz Dhanu yang memberitahunya–lewat ceramah ba’da Subuh di televisi yang suaranya sengaja diatur keras-keras oleh Mak Sudar. Kemungkinan, agar Gayatri segera bangun atau memang untuk menyindir. Ustaz Dhanu selalu bilang pada pasien yang minta didoakan: jikalau penyakit menyerang perut pasti bermasalah dengan keluarga; sakit sebelum usia 40 tahun bersalah pada orang tua; selebihnya dengan suami. Berat betul jadi anak perempuan yang lurus, batin Gayatri. Bahkan ia sempat merasa sangat takut untuk mengemban amanah menjadi ibu. Sakit karena haid saja sudah sedemikian menderitanya, apalagi jika melahirkan. Pantas saja Mamak selalu marah-marah setiap Gayatri bertindak semau sendiri. Mamak mana yang tidak sakit hati jika anak yang digembol, dilahirkan, dan diajarinya bicara justru balik menyerangnya dengan kata-kata tak pantas? Membayangkan itu Gayatri tak kuat, sampai-sampai perutnya mual.

Baca Juga  Tentang Tante Lina

Cepat ia berdiri sekuat tenaga dan berlari ke kamar mandi. Keluarlah seluruh isi perut: martabak yang ia telan kala berdiri; oseng-oseng cabe senior kantor; gombalan manis anak tetangga yang ia lahap begitu saja; bangkai saudara; dan campuran gado-gado lain termasuk obat penahan nyeri yang telat ia minum pagi ini.

Perutnya memang tidak serta merta tenang habis ini. Setidaknya, ini tanda. Bahwa masa sakitnya sudah berlalu setengah jalan.

Bagikan
Post a Comment