f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
parti

Bara Semangat dalam Gulita

Ketika dampak pandemi Covid-19 melandai, aku sempatkan untuk sowan ke tempat Bulik di Kartasura. Dia satu-satunya saudara ibuku yang masih sugeng. Lima saudara ibuku lainnya sudah pergi untuk selamanya secara berurutan dan yang terbaru adalah kepergian ibuku sendiri.

Rasa kangen karena lama tak berjumpa, membuat pertemuan kami siang itu penuh suasana haru dan bahagia. Sambil tak henti memanjatkan rasa syukur, kami pun ngobrol bermacam topik dan kadang kami selingi dengan cerita-cerita ringan nan lucu. Misalnya, cerita  tentang aku yang sering tidur di rumah Bulik selain di kost, waktu aku menuntut ilmu di kota Solo.

Banyak kenangan indah dan mengesankan selama berinteraksi dengan Bulik. Setiap pagi aku selalu dibuatkan susu coklat segelas olehnya dan sebagai rasa hormatku padanya,  susu aku minum tandas. Padahal dari kecil aku kurang suka dengan susu terutama aromanya, makanya postur tubuhku mungil tidak seperti teman-teman sebayaku. Dan ini jelas tidak boleh ditiru.

Biasanya saat siang usai sholat dzuhur, ada satu kegiatan yang mengasyikkan bagi kami berdua yaitu mencari uban. Ya, aku senang sekali  ketika Bulik minta untuk dicabuti ubannya. Merasa asyik karena aku paling suka memegang, menyisir dan bermain dengan rambut panjang. Hanya satu sampai sepuluh helai uban yang kutemukan. Kata Bulikku, ada sensasi enak ketika uban itu aku cabut. Benarkah?

***

Di tempat Bulik aku mengenal seorang gadis tetangga yang menurutku istimewa. Namanya Parti. Dia rajin datang sekedar bantu bersih-bersih dan kadang juga makan bersamaku kalau dia mau, karena jika masih kenyang dia tidak akan mau. Selain bersih-bersih dia juga pinter masak dan hasilnya tak kalah sedap dengan masakan Bulik sendiri.

Awalnya aku ragu, benarkah dia pinter masak? Dan ini terbukti ketika suatu hari Bulik pergi ke luar kota selama beberapa hari karena cucu pertama lahir, aku dan dia yang jaga rumah. Dari pagi dia sudah menawariku mau dimasakkan apa dan aku jawab tak usah repot-repot masak karena aku pulang sekolah agak sore.

Baca Juga  Bimbang dalam Hidup? Ya Nggak Lah

Benar saja, sore itu ketika aku masuk rumah, sudah ada nasi, semangkuk sayur lodeh dan ikan goreng. Pakaian yang aku jemur sebelum ke sekolah juga sudah diangkat dan terlipat rapi meski belum disetrika. Aku benar-benar penasaran bagaimana dia memasak, meracik bumbu dan tahu kapan masakan itu harus diangkat.

Esok harinya aku libur dan ini kesempatan terbaik untuk mencari jawaban atas penasaranku belakangan ini. Sambil memuji hasil masakan kemarin yang sangat enak, aku minta dia masak lagi menu andalan lain yang dia suka. Kami masak bersama, aku bantu-bantu saja dan dia yang pegang peran utama. Dari roman mukanya kulihat dia begitu bahagia dan semangat, bibirnya selalu tersenyum.

Demi Allah Dzat Yang Maha Kuasa lagi Maha Sempurna, tiba-tiba mata ini seakan buram untuk memandang, ketika aku melihat sendiri bagaimana si Parti memasak. Buram oleh air mata yang kutahan agar tidak jatuh karena aku yakin dia tahu bila aku menangis meski tak bersuara. Haru dan takjub menjadi satu. Begitulah bila Allah menghendaki, hal-hal yang menurut kita mustahil sangat mungkin dan menjadi urusan kecil bagi-Nya.

***

Mulai dari memarut kelapa membuat santan, mengiris bumbu (bahan sayuran aku yang mengiris), menaruh panci yang sudah diisi air lalu meletakkan di atas kompor, semua dia lakukan sendiri. Tak ingin rasanya melewatkan sedetikpun, aku perhatikan cara dia memasak. Hingga masakan jadi dan siap disantap ternyata dia mengandalkan indera pendengar dan perasa. Ya, si Parti adalah gadis tuna netra.

Ketika terdengar suara air mendidih, untuk meyakinkan bahwa sudah mendidih, dia taruh telapak tangan beberapa centi di atas air. Agar bahan sayur masuk tepat di panci, dia raba sesaat keliling bibir panci. Masya Allah, dia mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan lancar. Diam-diam ada selapis rasa malu di hatiku bahwa dia lebih ahli dibanding aku.

Baca Juga  Kaum Transaksional dengan Kecemasan

Bila ada aku dia sesekali tidur bersamaku dan tidak pulang ke rumah yang hanya berjarak sekitar tiga rumah dari rumah Bulik. Usai sholat subuh dia mengajakku jalan-jalan. Lho, hebat kan? Yang tuna netra malah mengajak jalan-jalan. Dia hafal setiap rumah yang kami lewati. Itu rumah bu A, rumah bu B dan seterusnya. Dia tunjukkan pula rumah dia lengkap dengan tanaman dan bunga yang ada di halaman.

Dari ceritanya, kutahu dia sempat sekolah hingga kelas dua SD sebelum matanya sakit. Karena itu dia masih ingat berbagai warna, bentuk dan beberapa barang, termasuk di sini adalah model baju atau gaun. Hingga pada suatu saat dia benar-benar kehilangan penglihatannya. Setiap ketemu denganku dia sering menanyakan warna baju yang sedang kupakai sambil meraba-raba bagian lengan, kerah dan kadang punggung.

Selain terampil dalam pekerjaan sehari-hari, dia juga dermawan. Dari pemberian beberapa orang dan upah bantu-bantu di tetangga yang jualan kue-kue tradisional, dompetnya tak pernah kosong dan sering mentraktir anak-anak di sekitar dengan aneka jajanan ringan. Dia tahu aku suka rujak dan kadang tiba-tiba sudah ada rujak di meja, katanya buatku.

Kelebihan lain adalah teliti dan mampu menghafal dengan cepat. Apakah itu tempat menaruh barang pernak-pernik, suara khas seseorang dan juga hafal beberapa lirik lagu atau tembang. Meskipun pakai tangan, saat mencuci pun dia teliti, hati-hati dan benar-benar bersih dengan air bilasan berkali-kali.

***

Suatu hari aku pernah merasa malu, kalau saja dia mampu melihat wajahku mungkin ibarat kertas sudah aku lipat-lipat wajah ini. Waktu mengunci pintu samping aku yang mengunci, aku yang menaruh kunci di laci. Esok paginya aku lupa di mana. Setelah beberapa menit belum ketemu, aku bertanya pada dia barangkali dia lihat kunci. Lho, lagi-lagi aku lupa kalau dia tuna netra. Tanpa bicara dia pun melangkah menuju laci tempat aku menyimpan kunci dan ketemu. Ya Allah…

Baca Juga  Nostalgia Peristiwa Nakbah dan Kisah Yatim dalam Sirah Nabawiyah

Kurang lebih tiga puluh tahun tak bertemu tiba-tiba saat ke rumah Bulik, Allah mempertemukan kami kembali. Dari jauh dia jalan sambil senyum-senyum dan aku pura-pura tak tahu dia datang. Pas masuk rumah Bulik, ternyata dia tahu kehadiranku dari suaraku, kami berjabat tangan lalu dia duduk di sebelahku.

Sembari tanya ini itu tangannya tak berhenti meraba bajuku, kerudungku, badanku bahkan membelai pipiku. Seolah ingin tahu postur tubuhku gemuk apa tidak, jerawatan apa tidak dan lain-lain. Sekian tahun tak banyak perubahan pada fisiknya, hanya rambut yang memutih dan kulit sedikit mengering. Sama sepertiku.

Ada beberapa poin positif yang bisa kuambil sebagai pelajaran dari diri Parti. Tubuh yang kurang sempurna bukan halangan untuk beraktifitas agar mendapatkan penghasilan. Dengan begitu dia merasa bahagia dan ceria. Saking bahagianya bertemu denganku, tak dilepaskannya tanganku dari genggamannya. Bibirnya masih tetap menyunggingkan senyum. Aku tahu, dia bahagia dengan cara yang dia bisa, meski hari ini dan seterusnya dilaluinya dalam gulita.

Bagikan
Comments
  • Bu Guru Wiendy

    Dia kenal aku ga ya…

    Oktober 15, 2021
Post a Comment