f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
bapak rumah tangga

Merebaknya Fenomena Bapak Rumah Tangga

Stay At Home Dad  (SAHD) atau sering disebut Bapak Rumah Tangga (BRT) diprediksi akan meningkat jumlahnya, seiring berkembangnya pekerjaan freelance yang bisa dilakukan secara online di rumah. Ya, suami bisa bekerja tanpa harus keluar rumah, kan? Terlebih di saat pandemi seperti sekarang ini, harus work from home

Hah memang ada BRT? Ya ada dong. Ada BRT yang memang full-time menjadi BRT, tetapi ada juga yang BRT hanya sebagai sampingan, yang cuma kebetulan mengurus rumah tangga dan anak-anaknya sementara istrinya bekerja di luar rumah. Di saat sedang tidak bekerja, suami bisa membantu mengasuh dan membersamai anak-anaknya, sementara istrinya bisa menyalurkan hasrat dan keinginannya untuk bekerja dan berkarir di luar rumah. 

Fenomena Bapak Rumah Tangga

Kalau dulu pekerjaan dosmetik (melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak) hanya menjadi domain istri, sekarang suami pun bisa ikut berperan serta melakukannya. Belanja di warung sayur adalah salah satu contohnya. Meski kadang risih ketika Emak-emak yang sama-sama antri beli sayur di warung jam setengah 6 pagi bertanya, “Istrinya ke mana, Pak, kok kamu terus yang setiap hari belanja?” Tetap saja ia lakukan demi keberlangsungan rumah tangga.

Padahal ya bisa jadi si istri masih di rumah. Tidak sedang tiduran atau malas-malasan, tetapi bersiap-siap berangkat kerja. Entah cuma membantu mencari baju kotor; menyetrika baju yang harus dipakai hari itu tapi belum sempat disetrika weekend sebelumnya; menyiapkan bekal makanannya sendiri; atau cuma sekedar menemani bermain anaknya sebentar. 

BRT memang masih belum lazim di Indonesia, atau di negara mana pun itu di dunia karena image laki-laki bekerja di luar rumah, bukan mengurus anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Tentunya, bagi laki-laki sendiri, menerima peran sebagai bapak rumah tangga pasti bukan hal yang mudah. 

Stigmatisasi kepada Bapak Rumah Tangga

Stigma miring dari masyarakat tentu akan selalu ia terima. Suami, istri, anak, orang tua, mertua akan mendapat berbagai pertanyaan. “Suamimu kerja di mana?”, “Menantu Ibu kerja di mana sih, kok sering di rumah? Menantu laki-laki saya jam 5 pagi sudah berangkat kerja.” Begitulah kira-kira kepo tetangga kanan kiri. Atau saat anak mendapat pertanyaan tentang pekerjaan bapaknya, ia akan bingung untuk menjelaskannya.

Baca Juga  Penisbatan Gelar Guru dalam Kacamata Ibnu Sina

Kalau perempuan selalu mengeluhkan budaya patriarki yang sering merendahkan mereka, untuk kasus BRT ini patriarki juga yang memandang sebelah mata si laki-laki BRT. Kesan lemah dan manja karena tak mau bekerja, serta tega dengan istri adalah yang pertama terlintas saat mendengar hal ini. Entah itu berasal dari pandangan sinis sesama laki-laki atau dari perempuan yang mengasihani perempuan lainnya. Kadang juga sinisme itu datang dari agama dengan dalil suami itu wajib memberi nafkah kepada keluarganya. 

“Laki-laki kalau nggak kerja, pakai rok aja.” Dengar ini dari Bapak-bapak di angkringan.

“Kasihan ya istrinya harus kerja, kenapa tidak suaminya saja yang kerja?” Kata yang lain.

Terkadang kerja ini digambarkan sebagai bekerja banting tulang di luar rumah, sampai harus lembur pulang larut malam. Akhir pekan pun kadang harus kerja juga dan tak sempat bermain bersama anak. Maka tak heran kalau Indonesia menjadi peringkat ke-3 negara yang minim peran Ayah, fatherless country. Tetapi, giliran melihat anak sepanjang hari bersama bapaknya, tetangga bergosip ke sana ke mari. Padahal sekarang banyak pekerjaan yang tidak harus keluar rumah.

Pergeseran Peran Suami

Pergeseran peran bahwa suami yang tadinya bekerja di luar rumah menjadi bapak yang mengurus rumah tangga juga menjadi kekhawatiran bahwa akan timbul dampak negatif terhadap suami, istri, anak-anak bahkan masyarakat itu sendiri. Masak iya pekerjaan dalam KTP dituliskan Bapak Rumah Tangga? Padahal IRT saja bisa dan biasa lho, tetapi kenapa BRT tidak bisa? Bahwa seyogyanya laki-laki itu bekerja dengan pekerjaan pada umumnya dan bukan mengurus rumah tangga?

Istri bekerja di luar rumah juga bukan hal baru lagi. Banyak pekerjaan yang kadang lebih baik dilakukan oleh perempuan. Dengan perempuan bekerja, masyarakat kita juga lebih baik pandangan dan pluralismenya.

Baca Juga  Perempuan dan Kaitannya dengan Keluarga Sakinah, ma Waddah, wa Rahmah

Kalau istri bekerja, sementara meski dekat dengan orang tua, orang tua dan mertua sudah wanti-wanti tidak mau dititipi cucu. Kalau rewang momong  dan daycare  juga bukan pilihan yang tepat karena kekhawatiran macam-macam, terlebih kalau tanpa pengawasan.  Apalagi kalau memang prinsip parenting yang memilih bapak atau ibunya saja yang mengasuh anak, tanpa bantuan pihak lain.

Pilihannya cuma ada dua, kan? Suami bekerja dan istri di rumah, atau istri bekerja dan suami di rumah karena ada anak yang harus mereka asuh dan awasi.

Kalau hasrat perempuan yang ingin menempuh pendidikan tinggi dan berkarir tak diimbangi dengan peran suami yang mendukung, tentu semua itu akan sia-sia. Tak sedikit pula yang rumah tangganya berakhir dengan perceraian karena dua-duanya bersikukuh dengan pendirian mereka tanpa bisa berkompromi. 

Baru saja kemarin ada teman yang mengabarkan telah berhenti bekerja sebagai guru honorer karena tidak ada yang bisa ia mintai tolong mengasuh anaknya yang masih kecil. Percayalah, kenikmatan seorang perempuan yang bisa bekerja dan meniti karir, serta bersosialisasi baik dengan teman-teman di tempat kerjanya tak luput dari peran serta banyak orang. Harus kita akui, tanpa support system tak akan mungkin istri bisa bekerja dengan tenang dan fokus. Kadang anak sakit saja, si ibu pekerja terlambat masuk kantor bisa menjadi pergunjingan khayalak kantor.

Kesetaraan Gender

Di Jepang, fenomena BRT ini hampir tak ada. Sebagian besar suami bekerja di luar rumah, istri mengasuh anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti orang tua Shinchan maupun Nobita. Tentu saja ada banyak alasan, terutama karena stigma yang menganggap bahwa BRT itu tidak maskulin, dan juga karena hak pekerja perempuan dianggap tak setara dengan pekerja laki-laki. 

Di satu sisi, perempuan Jepang ingin bekerja, tapi gaji dan kenaikan karir sangat berbeda dengan laki-laki. Karena itu, sangat umum di Jepang para perempuan bekerja sampai menikah; ketika punya anak mereka akan mengasuhnya dan berhenti bekerja; saat anak sudah besar mereka akan kembali bekerja meski hanya paruh waktu. Banyak perempuan Jepang yang rela mengalah akan pendidikan dan karir mereka, lalu memilih menjadi ibu rumah tangga.

Baca Juga  Gotong Royong dan Warm-Glow-Effect

Tentu saja, di Indonesia tidak demikian. Baik laki-laki maupun perempuan yang berprestasi sama-sama akan mendapatkan gaji dan kenaikan karir yang setara. Rangking gender gap index Indonesia juga lebih baik daripada Jepang, China, dan Korea Selatan. Ini menunjukkan bahwa perempuan Indonesia bisa berbagi peran dengan laki-laki. Perempuan bisa bekerja dengan baik sampai tiba saatnya pensiun.

Lagipula, bukankah BRT dengan wanita pekerja atau laki-laki pekerja dengan IRT itu bisa dipahami sebagai sebuah kedaulatan dan kemerdekaan orang berumah tangga? Bahkan ketika sudah memiliki anak, mereka mau memilih baby sitter/rewang momong atau kakek-nenek atau daycare atau suami atau istrinya saja untuk mengurus anak mereka juga terserah mereka.

Meski di Indonesia kadang kala BRT ini tidak full time karena mungkin dibantu ART atau kakek-nenek, tetap saja laki-laki yang mau belanja di warung sayur itu masih sedikit jumlahnya. Kalau duta belanja sayur ini diserahkan kepada Nicholas Saputra atau personil BTS, mungkin image BRT jadi naik level sebagai bapak kece yang mau momong anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga.

Bagikan
Post a Comment