f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
anak-anak

Obrolan Gabut tentang “Minta Maaf”

Entah karena gabut atau jenuh di rumah saja akibat PPKM darurat, sore itu tiba-tiba muncul obrolan tentang “minta maaf” di whatsapp grup alumni kelas saya SMP. Obrolan gabut ini mendadak jadi seru ketika beberapa orang ikut urun rembug (mengusulkan) menyampaikan pendapatnya. Ada yang menanggapinya dengan serius, ada yang menanggapinya dengan bercanda.

Tapi salah seorang anggota grup nampaknya memang serius meminta pendapat para penghuni grup. Dia bercerita panjang lebar tentang permasalahan yang ia hadapi sebagai seorang Ketua RT di lingkungannya. Tapi begitulah lazimnya grup, memecahkan masalah tanpa solusi.  Pemikiran-pemikiran brilian malah membuat obrolan tambah ruwet, dan akhirnya berakhir begitu saja tanpa ada kejelasan dan kesimpulan.

Perlukah Minta Maaf?

Teman saya ini bercerita tentang perselisihan yang terjadi di antara dua orang warganya. Salah seorang warga yang berselisih ini “merasa benar” dan dengan bangganya  mengatakan agar si A yang berselisih dengannya harus minta maaf duluan. Warga lain yang kebetulan mendengar hal tersebut meminta pendapat teman saya ini sebagai seorang Ketua RT. Dengan santainya teman saya menjawab  agar masalah perselisihan itu tidak perlu dibuat rumit. “Anggap saja tidak ada masalah diantara mereka, jadi tidak perlu merasa benar atau salah, dan saling memaafkan saja satu sama lain,” ungkapnya.

Jawaban teman saya ini ternyata tidak dapat memuaskan warganya. Mereka protes, menganggap Pak RT aneh, karena memberikan jawaban yang begitu gampang. Pastinya mereka mengharapkan solusi dari perselisihan warga tersebut. Mereka mengharapkan Pak RT menjadi juri yang bisa menilai mana yang benar dan mana yang salah, serta memutuskan siapa yang harus minta maaf duluan.

Merasa bingung dengan ketidakpuasan warga atas jawaban yang ia berikan, maka Pak RT membutuhkan sudut pandang lain tentang “minta maaf” dari para penghuni grup. Setelah ngalor ngidul menyampaikan berbagai argumentasi, dia bertanya, “Apakah manusia itu perlu minta maaf ketika berbuat salah ke manusia lain?” Pertanyaan yang sebenarnya simpel, namun cukup membuat kita berpikir. Untuk memastikan mendapatkan jawaban, dia absen penghuni grup satu persatu. Akibatnya, grup yang sore itu sunyi senyap mendadak menjadi ramai. Penghuninya satu persatu bermunculan memberikan tanggapan.

Baca Juga  Air Mata Doa

Berhubung saya adalah penghuni pertama yang diabsen, maka saya pun berusaha memberikan jawaban dengan serius. Menurut saya, perlu atau tidaknya minta maaf itu tergantung situasi. Salah atau benar itu kan hanya persepsi, tergantung dari sudut pandang mana orang melihatnya. Ketika masuk dalam masalah yang bersifat relatif, maka di dunia ini sesungguhnya tidak ada kebenaran yang mutlak kecuali Tuhan tentunya.

*

Lalu saya berikan contoh, ketika waktu bersekolah dulu. Setiap kali terdapat siswa yang mendapat nilai ujian jelek, ia pasti akan menyalahkan guru. Mengapa demikian? Karena kita melihat dari sudut pandang murid yang merasa dirugikan. Tapi apakah memang guru bersalah ketika murid nilainya jelek? Dan apakah perlu guru minta maaf kepada muridnya bila nilainya jelek? Setelah dewasa kita baru menyadari, bahwa sebenarnya kitalah yang salah karena kurang belajar.

Saya ingatkan kembali bagaimana dulu saat di SMP, kita lebih mengandalkan contekan dari teman terpandai yang selalu ranking satu di kelas daripada belajar. Maka ramailah yang lain memberikan tanggapan. Ada yang merasa tersindir, ada yang mengakui, ada juga yang ngeles. Sayang si teman terpandai belum berkenan masuk dalam grup  (semoga bukan karena marah karena sering kita mintain contekan). Bila dia ada di grup saat itu, mungkin kita semua akan mengucapkan terima kasih atas contekan-contekan saktinya. Dan rasanya kita juga perlu minta maaf atas kelakuan buruk kita padanya di masa lalu.

Sulitnya Minta Maaf dan Memaafkan

Teman saya yang lain menanggapi dengan lebih serius. Dia memberikan jawaban yang lebih bijak. Menurutnya hanya orang-orang tertentu yang punya keberanian untuk menyadari kesalahannya, dan mau minta maaf.  Sebaliknya bagi orang yang disakiti, hanya orang-orang tertentu yang mau berlapang dada, dan mau memberi maaf.  Bila segala sesuatu kita lihat dari sudut pandang masing-masing orang, permasalahan akan terasa berat.  Karena yang muncul adalah ego-nya atau ke-aku-annya.

Baca Juga  Shalahuddin Sang Pemersatu Umat Islam dan Pendiri Dinasti Ayyubiyah

Jawaban yang sungguh punya arti mendalam dan sebenarnya sangat tepat, walaupun praktiknya tidak semudah itu. Karena kebanyakan orang berani berbuat salah, tapi bersikap egois tidak mau minta maaf. Bisa jadi karena gengsi, harga dirinya akan terjun bebas bila harus minta maaf.  Atau bisa juga karena merasa memiliki posisi atau status sosial yang lebih tinggi, sehingga merasa tidak perlu minta maaf. Dan bagi orang yang tersakiti, tak mudah untuk berlapang dada. Pada prakteknya, memaafkan adalah hal tersulit untuk dilakukan.

Hidup Indah jika Saling Memaafkan

Sementara teman-teman lain menanggapi dengan bercanda, teman saya si Pak RT kembali berkomentar serius. “Terkadang kita merasa benar sehingga maunya pihak lain yang harus minta maaf duluan. Padahal kita tahu bahwa manusia itu tidak ada yang sempurna, potensi untuk berbuat salah itu besar dan bisa berulang melakukan kesalahan,” tulisnya melalui pesan singkat di grup.

“Manusia itu tempatnya salah. Kalau sudah tahu tempatnya salah, ya sudah sesama manusia tidak usah membuat ruwet, anggap aja tidak  ada yang salah. Saling memafkan dan berusaha memperbaiki diri. Apa susahnya sih tetap saling menyapa, seperti tidak ada masalah apa-apa,” lanjutnya.

Dia menambahkan bahwa pada dasarnya ia setuju dengan semua pendapat yang kami berikan. Tapi yang ingin ia sampaikan adalah nasehat untuk diri sendiri dan warganya. “Bahwa sebagai manusia jangan sampai kita membebani diri dengan sesuatu yang sebenarnya bisa dianggap mudah, tapi malah dibuat susah. Kalau menurutku hidup itu indah, ngapain dibuat tidak indah,” imbuhnya seperti bicara pada diri sendiri.

Saya terbengong-bengong membaca tulisannya, dan mungkin teman-teman yang lain pun demikian. Kalau sudah tahu jawabannya, mengapa dia bertanya. Ternyata warganya benar, Pak RT ini memang makhluk aneh, tapi sebenarnya saya suka dengan cara berpikirnya yang sangat simpel. “Jadi kesimpulannya apa nih?” kembali saya bertanya di grup karena penasaran. Ramai-ramai yang lain sambil bercanda memberikan jawaban, kesimpulannya yang bertanya memang orangnya ruwet, jadi tidak usah dipikirkan jawabannya.

Baca Juga  Di mana Peran Ulama dalam Setiap Gejolak Sosial?

Selanjutnya begitulah akhir dari obrolan gabut kita tentang “minta maaf sore itu, tidak ada kejelasan dan kesimpulan. Tapi baguslah, membuat suasana menjadi ramai dan sejenak mengalihkan perhatian kita dari pandemi Covid-19 yang entah kapan akan berakhir, sekaligus mengingatkan kita untuk introspeksi diri. Niat dan tujuan yang baik tidak selalu diikuti cara yang tepat, maka berbesar hatilah untuk minta maaf. Hanya orang berjiwa besar yang mau minta maaf dan menunjukkan kesungguhan untuk memperbaikinya.

Bagikan
Post a Comment