f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
mengenal anak

Orang Tua yang Tak Kenal Anaknya

“Ma, ada lomba pidato, kakak boleh ikut?”. Anak sulung saya sangat antusias menyambut kepulangan saya sore itu. Hah pidato, emang dia bisa? terus terang saya cukup terkejut mendengar keinginan anak saya itu. Tapi perasaan sedikit underestimate itu hanya saya simpan dalam hati. “Boleh, kapan lombanya?” saya balik bertanya. “Besok!” waduh ga salah nih.

Ini memang sudah lomba kesekian kali yang diikuti anak saya. Tapi lomba ini sedikit berbeda, karena lomba yang biasa dia ikuti hanya renang, menggambar dan matematika. Hehe random banget ya. Betul, saya memang membebaskan anak saya untuk mengikuti berbagai event lomba. Berarti apakah saya tipe orang tua yang penuh ambisi? Oh no, jangan suudzon dulu pemirsa.

Saya tidak pernah mentarget apapun untuk keikutsertaan anak saya dalam lomba. Bagi saya, mengikuti lomba lebih penting pada proses pembelajaran hidup. Karena dalam lomba itu anak saya akan belajar tentang perjuangan, sportifitas dan sikap legowo.

Perjuangan untuk meraih sesuatu, karena tentunya dia harus mempersiapkan dengan baik event lomba yang akan dia ikuti supaya dapat hadiahnya. Kadang-kadang anak saya kepingin ikut lomba hanya karena kepincut hadiahnya, sekalipun kadang hadiahnya ora mbejaji (tidak seberapa). Hadiah lomba bagi anak saya lebih menarik dibandingkan nilai prestasi itu sendiri. Tidak apa-apa, setidaknya dia sudah belajar tentang usaha dan perjuangan. Tidak ada keberhasilan tanpa perjuangan. Jer basuki mawa bea.

Sportifitas, tentunya dia akan belajar bagaimana menjaga marwah kejujuran dalam berkompetisi. Saya biarkan dia berlomba dengan kemampuannya sendiri. Untuk melihat sejauh mana ketangguhannya bersaing dengan lawan-lawannya. Meskipun kadang-kadang dia nggondhok juga karena peserta lain ada yang dibantu orang tuanya, sedangkan saya lebih memilih untuk menjauh dari arena.

Baca Juga  Anak dan Kedekatannya dengan Gawai

Dan yang lebih penting lagi adalah dia akan belajar tentang keikhlasan. Legowo untuk menerima apapun hasil lomba, dan yang ini sepertinya dia sudah semakin terlatih karena memang sudah terbiasa kalah.haha semangat nduk!. Keikhlasan ini penting, karena dalam hidup pasti akan menghadapi kondisi yang susah atau senang, usaha yang gagal atau berhasil, seperti kondisi pandemi saat ini yang lebih banyak menuntut keikhlasan hati. Kondisi ekonomi yang porak poranda, kematian yang bertubi-tubi, isoman yang bikin jenuh dan entah sampai kapan. Kuncinya hanya satu, sing ikhlas.

Nah, untuk persiapan lomba pidato dia menyusun sendiri materi yang akan disampaikannya dalam lomba esok hari. Tepat jam 10 malam dia ke kamar saya, untuk latihan pidato dan sekaligus saya diminta memberi masukan. Lomba itu mensyaratkan tanpa teks, jadi sudah tepat kalau dia menyusun materi pidato itu sendiri, karena secara otomatis materi sudah ada di kepalanya tanpa perlu dihapalkan.

Saya tidak memberikan koreksi apapun atas konteks pidato yang disampaikan, namun saya hanya memberikan masukan pada gaya penyampaiannya yang cenderung ngegas sejak di kalimat pembuka. Seperti akan berdemo.

Hasilnya sungguh diluar ekspektasi, dengan persiapan minim dia mampu menjadi juara dua. Dan ini adalah kemenangan perdana diantara puluhan lomba yang pernah dia ikuti. Hasil lomba inilah yang akhirnya menjadi pijakan dia untuk mengikuti lomba-lomba berikutnya terutama lomba yang mengeksplorasi kemampuan berbicara. Alhasil dia langganan juara untuk lomba pidato, debat dan story telling.

Saya lalu berpikir, ternyata selama ini saya tidak mengenal anak saya sendiri. Saya kurang peka dengan kemampuan bicaranya yang memang sedikit berbeda dengan teman-temannya. Dia suka protes, terutama untuk hal-hal yang menurut dia tidak pas. Misalnya saja dia pernah memprotes wali murid yang tidak melepas sepatu saat menjemput anaknya dengan alasan sedang terburu-buru, karena aturanya sepatu harus dilepas sejak menginjak selasar depan pintu kelas. Padahal saat itu dia baru kelas 3 Sekolah Dasar.

Baca Juga  Pendidikan Diskriminatif Sejak Dalam Kandungan

Selain itu, dia sangat kritis mengomentari segala hal yang dia temukan di sekitarnya. Bahkan kadang saya pun sampai jengah dengan komentar dan pertanyaannya. Sayangnya saya tidak mengenali itu sebagai sebuah kelebihan atau bakat yang ada pada diri anak saya. Namun, yang melegakan adalah sepertinya saya belum terlambat menyadarinya.

Sepertinya, hal ini tidak saya alami sendirian sebagai orang tua. Ada sebagian orang tua yang tidak secara mendalam mengenali anaknya. kadang orang tua lebih mengedepankan ambisi atau memaksakan kehendak kepada anak-anaknya, tanpa mengenal potensi yang ada pada anak mereka. Tak jarang orang tua yang memaksa anaknya bisa berprestasi pada bidang yang sama dengan anak orang lain. Padahal menjadi hebat tak perlu sama kan?

Ambisi orang tua seringkali berseberangan dengan keinginan dan kemampuan anak. Seperti curhat teman saya beberapa hari yang lalu, dia terlibat perdebatan sengit dengan anaknya. Sebenarnya masalahnya sedikit klasik, tentang memilih jurusan IPA atau IPS. Dan ini memang sering terjadi pada orang tua yang memiliki anak di kelas X. Dia menghendaki anaknya memilih jurusan IPA, sementara anaknya ingin di jurusan IPS. Weladalah, lha yang mau sekolah ini sapa? Hal ini sering kita temui kan di sekitar kita, perdebatan orang tua dan anak tentang sebuah pilihan hidup.

Masih perlukah perdebatan seperti ini terjadi?. Sebagai orang tua sudahkah kita benar-benar mengenal anak-anak kita? Mengenal lebih dalam tentang kemampuan, potensi dan keinginan anak. Seringkali kita malah terjebak pada egoisme pilihan orang tua dengan dalih orang tua sudah makan asam garam kehidupan. Sehingga merasa lebih tahu keputusan yang terbaik untuk masa depan anaknya.

Masa depan adalah milik anak-anak kita. Kewajiban orang tua adalah menemukan potensi, memahami kemampuan, mendiskusikan keinginan anak, mengarahkan dan membiarkan anak mengambil keputusan sendiri atas masa depannya.

Baca Juga  Quranic Parenting: Cara Melawan Kekerasan Verbal

Anak bisa saja mengikuti keinginan orang tua, karena tidak ingin dicap sebagai anak durhaka, namun bisa jadi mereka tidak menemukan kenyamanan dan kebahagiaan dalam menjalani kehidupannya. Apakah seperti ini yang kita mau sebagai orang tua?.Melihat anak dengan kehidupan yang tidak nyaman?.

Kunci dalam memahami keinginan anak adalah pada pola komunikasi yang intensif antara orang tua dengan anak. Komunikasi menjadi jembatan dalam memahami keinginan anak dan keinginan orang tua. Komunikasi orang tua dan anak dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Selain itu melibatkan anak dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut masa depannya sekaligus akan menumbuhkan rasa tanggung jawab atas pilihannya tersebut.

Bagikan
Post a Comment