f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kebosanan

Begini Cara Mengatasi Kebosanan di Kala Pandemi dengan Menggunakan Imajinasi

Gelombang kedua pandemi kali ini kembali memupuskan harapan kita akan tahun-tahun yang normal. Keinginan-keinginan yang menggunung kembali tertunda, demi maslahat berama. Anjuran untuk diam di rumah kembali riuh, meski sebagian orang tidak bisa mematuhinya secara penuh. Ada yang beralasan kelangsungan penghidupan, tidak sedikit yang beralasan bosan.

Sejak jaman purba, manusia sesungguhnya telah berkutat mencari berbagai cara untuk mengatasi kebosanan. Manusia purba berteduh dari badai dan menghindari hewan buas dengan tinggal di dalam gua. Bisa jadi, untuk mengatasi rasa bosan ketika menunggu situasi aman, mereka menemukan cara untuk menyalurkan apa yang ada dalam imajinasinya dengan menggambar figur-figur yang sekarang bisa kita temui di banyak gua peninggalan pra-sejarah.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, rasa bosan—disadari atau tidak—mungkin telah menjadi teman sekaligus musuh sehari-hari umat manusia. Sering terabaikan oleh kita, bahwa segala hal yang kita nikmati sekarang adalah hasil usaha umat manusia untuk menghindari rasa bosan.

Jaman berubah sangat cepat, dan karena cepatnya seringkali membuat kita tidak menyadari telah sejauh apa perubahan terjadi. Berbagai fasilitas yang kita nikmati sekarang memungkinkan kita untuk mengerjakan sesuatu sembari melakukan aktivitas lainnya; dengan cara dan kemudahan yang mungkin tak terbayangkan pada satu atau dua dekade yang lalu.

Pengalaman Klasik

Dulu, misalnya, tidak terpikirkan bahwa kita bisa dengan mudah menonton serial favorit ketika dalam perjalanan di kereta; mendengarkan lagu grup musik favorit—yang baru rilis —sambil bekerja; atau bahkan menggarap laporan kantor sambil berlibur ke Bali.

Kemudahan untuk menyambi pekerjaan ini, selain demi alokasi energi dan waktu yang lebih mangkus dan sangkil, tentu juga untuk menghindari rasa bosan. Kemajuan teknologi seakan-akan telah menentukan bahwa rasa bosan haram eksistensinya bagi peradaban manusia.

Baca Juga  Ancaman Lost Generation Dampak dari Pandemi

Keadaan sekarang sudah jauh berbeda. Rasanya, dulu, untuk mengatasi rasa bosan membutuhkan lebih banyak usaha, imajinasi, dan juga kreativitas daripada sekarang.

Saya teringat jaman kanak-kanak dulu, ketika jaringan internet tidak bermakna apa-apa bagi kegiatan buang air besar. Saat itu, kegiatan buang air besar yang hening dan membosankan bisa diatasi bermodal gayung dan air bak mandi. Gayung diletakkan terbalik didasar bak mandi, menghasilkan rongga udara yang akan mengangkatnya naik sehingga menghasilkan suara letupan dan membuat air bak mandi meluber. Keisengan konyol seperti itu sudah cukup seru untuk mengalihan rasa bosan.

Bagi sebagian orang, kamar mandi juga tempat munculnya berbagai imajinasi. Ini bukan mengenai yang jorok-jorok, tapi saya ingat betapa imajinasi melambung tinggi ketika membuat pusaran air di bak mandi, sambil membayangkan bak mandi itu adalah lautan dan gayung adalah kapal yang terombang-ambing oleh pusaran itu.

Imajinasi dari Kamar Mandi

Tidak hanya itu, kegiatan mengatasi kebosanan di kamar mandi bahkan berkontribusi pada prestasi saya di sekolah. Saya menguasai perkalian lebih dulu dari kawan-kawan sekelas saya, hanya berbekal rutinitas menghitung petak-petak porselen di bak mandi secara horisontal maupun vertikal ketika buang air besar. Saya menduga, hasil “keisengan” berpikir seperti ini semakin jarang terjadi dengan banyaknya distraksi seperti sekarang.

Agaknya, di peradaban modern ini, segala sesuatu dirancang untuk menghindari rasa bosan. WC duduk misalnya, sebagai contoh sederhana sekaligus menyambung pembicaraan tentang kamar mandi tadi. Patut dicurigai, dengan tujuan menghindari kebosanan ini pula WC duduk diciptakan dan sekarang penggunaannya menjadi dominan dibanding WC jongkok.

Dengan WC duduk, kita bisa melakukan berbagai kegiatan di waktu yang sama. Kita bisa memadukan aktivitas buang air besar dengan berselancar internet, membaca, hingga bekerja dengan laptop. Semuanya bisa dilakukan sambil duduk anggun di atas WC. Kemudahan ber-multitasking seperti ini tentu lebih sulit dilakukan dengan WC jongkok.

Baca Juga  Memaknai Perbedaan dalam Olahraga

Kaki keram, pegal, atau terpeleset karena menahan tubuh terlalu lama di atas lantai kamar mandi yang licin (seperti ketika menggunakan WC jongkok), tidak lagi menjadi variabel yang perlu diperhitungkan ketika kita memandangi layar ponsel di WC duduk. Lamunan dan refleksi di sela-sela waktu yang membosankan di kamar mandi, dengan mudah tergantikan oleh media sosial dan konten-kontennya. Mungkin ini pula yang membuat orang sekarang sering berlama-lama di kamar mandi.

Ini artinya, WC duduk turut berperan meminimalkan daya imajinasi otak kita dalam upaya mengatasi kebosanan. Dengan WC duduk, imajinasi menjadi tidak terlalu penting, karena jika kebosanan melanda, sembari duduk kita bisa dengan mudah menikmati segala konten yang ada dalam ponsel pintar kita.

Siklus Kebosanan

Masalahnya, semakin mudah rasa bosan kita atasi, maka semakin cepat ia bangkit kembali dengan lebih ganas. Betapapun banyaknya konten yang dapat kita nikmati dalam ponsel, TV, dan laptop kita, ternyata rasa bosan akan selalu ada, bahkan lebih menyiksa. Terlebih ketika pandemi seperti sekarang, ungkapan rasa bosan agaknya menjadi pemandangan yang umum.

Saya meyakini bahwa kebosanan adalah sesuatu yang terkonstruksi dalam alam pikiran kita. Artinya, ia tidak benar-benar nyata, hanya residu perasaan dari rutinitas kita sehari-hari. Saya curiga, kegagalan mengatasi kebosanan belakangan ini karena alasan ketergantungan kita akan berbagai teknologi yang melekat di tangan kita dari waktu ke waktu.

Sebagai akibatnya, kita kekurangan daya imajinasi dan kreativitas untuk mengusahakan kebahagiaan diri dengan hal-hal yang sebenarnya sederhana. Dampak terburuk dari hal ini, tidak sedikit orang yang akhirnya menggunakan obat-obatan terlarang hanya untuk kabur dari rasa bosan, seperti yang terjadi pada sepasang selebritas dari salah satu dinasti bisnis terbesar bangsa ini, belum lama berselang.

Baca Juga  Pekerja Rumah Tangga: Asa di Tengah Kerentanan dan Perbaikan Undang-Undang

Selain itu, rasa bosan—beserta berbagai ekspresinya—rupanya hanya terjadi pada mereka yang mampu mengalaminya. Terlintas di benak saya, bahwa kita merasakan bosan karena di dalam hati, kita merasa mampu dan patut untuk mendapatkan hal-hal yang lebih baik dari rutinitas yang kita jalani selama ini.

Di sisi lain, banyak orang yang bahkan tidak mampu untuk sekadar merasa bosan. Banyak dari mereka bekerja dari pagi buta hingga larut malam hanya untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Rasa bosan mungkin tidak sempat datang dalam kehidupan mereka. Kehidupan yang tak mudah memaksa mereka untuk selalu memutar otak demi keberlangsungan hidupnya esok hari. Hanya kreativitas yang bisa mereka andalkan untuk membuat masa depannya lebih baik.

*

Mungkin memang hanya imajinasi—dan kreativitas yang dihasilkannya—yang bisa menghindarkan kita dari rasa bosan. Melalui imajinasi, manusia membentuk peradabannya. Kebosanan juga bukan sesuatu yang mesti kita musuhi dan ungkapkan dengan emosi negatif. Jangan lupa, demi mengatasi bosan, manusia purba mulai memukul-mukul batu atau membetot tali busur panah mereka, yang dari jaman ke jaman berevolusi menjadi musik yang kita kenal sekarang.

Bagikan
Post a Comment