f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
perempuan

Perempuan Yang Tersisih Dari Politik

Semakin hari, ada sebuah kemunduran dalam gerakan pembaharuan bagi perempuan yang hari ini kian tersisihkan dari politik walaupun tidak secara kontras.  Persoalan tersebut seakan terpandang sebagai hal biasa, bahwa umumnya perempuan sepertinya mengikuti arus pergerakan politik maskulin oleh laki-laki.

Berbicara gerakan perempuan di Indonesia, kian alot. Patut kita diskusikan perihal perempuan yang tersisih dari ranah politik. Dalam artian bahwa gerakan perempuan bukan hanya sekedar gerakan mengikuti keputusan, melainkan terlibat di dalam kontestasi pengambilan keputusan-keputusan politis.

Pada konteks ini, bukan persoalan politik di dalam partai yang secara general. Tetapi yang berada ruang lingkup umum pada saat ini. Tidak jarang perempuan menjadi bagian dari pergerakan. Tidak banyak pula perempuan ikut dalam hal tersebut, tapi hanya sekedar hanyut dalam arus. Seolah politik itu tidak memberikan efek kepada gerakan perempuan.

Setidaknya ada 3 masalah utama yang masih menjadi keyakinan perempuan. Sehingga tersisih, tertinggal, dan tidak tersorot dalam suatu gerakan dalam organisasi dan politik.

Dominasi Laki-Laki

Menariknya, mengapa politik itu identik dengan aktivitas laki-laki? Ini adalah pertanyaan penulis saat diskusi di grup Whatsapp. Seolah hal tersebut bukan pembicaraan yang cocok bagi perempuan.

Gadis Arivia, dalam sekapur sirihnya pada buku Politik Perempuan Bukan Gerhana. Ia mengatakan bahwa setidaknya ada beberapa tindakan yang mesti menjadi tindakan afirmatif. Yaitu, “…. diperlukan intervensi struktural sebagai tindakan darurat untuk memperbaiki ketimpangan gender dalam segala bidang dalam waktu yang cepat. Penulis menyadari bahwa intensitas politik bagi perempuan terlihat berjalan seperti di antara dua karang, dominasi laki-laki dan pesimistis perempuan itu sendiri.

Cenderung banyak orang hari ini menyalahkan laki-laki karena dominasinya dan ketidakadaan tempat bagi perempuan dalam konteks ini. Menjadikan pembahasan perempuan yang jarang mendapatkan tempat itu menjadi masif. Seolah semua karena suatu kesalahan umum laki-laki bahwa perempuan itu tidak perlu berpolitik. Hanya memiliki peran sebagai ibu di rumah tangga saja.

Baca Juga  Kami Hanya Menggunakan Hijab, Mengapa Dilarang?

Ketimpangan gender yang hari ini terjadi bukan hanya karena keegoisan laki-laki dalam pilihan politik. Tetapi perempuan cenderung hanya bersuara tetapi tidak melakukan implementasi terhadap kesadarannya. Dominasi laki-laki bukan karena persoalan keegoisannya tapi karena pada dasarnya identitas politik melekat dengan kuat pada diri laki-laki walaupun tidak semua. Bukan hanya pada ranah negara, tapi konteks hubungan dengan perempuan laki-laki cenderung melibatkan pemikirannya.

Rendahnya Kemauan Perempuan

Rendahnya kemauan perempuan dalam memulai kiprah politik karena ada 2 faktor yang menjadi asumsi penulis. Yang pertama pemahaman politik hanya selalu bersanding dengan identitas laki-laki.

Bukan menjadi hal baru lagi bahwa penyematan identitas politik selalu kepada laki-laki. Ayu Anggraini, dalam diskusi interaktif kami, ia mengatakan : Justru saya tidak paham dengan apa itu politik, yang saya tahu hal tersebut lebih identik dengan pekerjaan dan profesi laki-laki, tapi tidak salah jika perempuan masuk ke dalam politik sebagai faktor penyeimbang suatu keputusan.

Benar, sejatinya semua orang harus mempelajari politik, banyak perempuan yang bergelut di ilmu tersebut pada masa kuliahnya, dan banyak juga perempuan tidak segan dalam membangun perlawanan kepada laki-laki secara masif untuk membuat kesimbangan. Maka politik itu bukan hanya sekedar ilmu bagi laki-laki.

Kedua, adalah penyadaran politik bagi perempuan. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya politik adalah identitas bersama, baik laki-laki atau perempuan. Tsamara Amani kader PSI, Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur, dan Puan Maharani yang sekarang sebagai ketua DPR. Itu adalah contoh besar yang memang terlihat.

***

Alamanda Shantika menyinggung penyadaran ini dengan mengatakan bahwa : “Because your value depends on how we value ourselves”. Artinya bahwa bukan karena dunia (politik) itu adalah maskulin, tapi perspektif diri kita yang salah dalam membangun asumsi tentang politik, karena berhasil atau gagal itu adalah keputusan diri sendiri.

Baca Juga  Salahkah Perempuan yang “Telat” Menikah ?

Jangan sampai perempuan menjadi anti hanya karena rendahnya kemauan dan kesadaran perempuan sendiri yang bermuara pada tersisihnya perempuan. Para politisi perempuan di atas hadir karena adanya kemauan untuk berkiprah untuk pengambilan keputusan yang berhubungan dengan keberadaan perempuan dalam jangka panjang.

Peranan Perempuan dalam Politik

Joni Lovenduski meyakinkan perempuan akan melakukan perubahan dalam empat bidang: institusional/prosedural, representatif, pengaruh terhadap output dan diskursus. Tiga perubahan inilah, yang dimaksud Joni Lovenduski bagi perempuan memang sebagai faktor solutif dalam bergagas dan bergerak dalam politik.

Institusional/Prosedural : Keterlibatan perempuan seperti berada di legislatif memang sangatlah penting untuk membangun kesetaraan gender. Yakni dalam peranan perubahan oleh perempuan untuk membuat politik itu sendiri (parlemen) lebih ramah dengan keberadaan perempuan melalui peraturan-peraturan yang memajukan kepedulian gender lebih besar. Institusional/prosedural sendiri menjadi bagian penting perempuan dalam menyadari peranan mereka untuk perubahan secara peraturan-peraturan yang lebih pro kepada kepentingan perempuan.

Representasi : Keberadaan perempuan dalam akan berdampak pada persoalan menjamin keberlanjutan perempuan dan meningkatkan akses ke parlemen dengan mendorong keterlibatan perempuan sebagai pameran utama dengan membangun relasi serta menjadi aktor perubahan atas suatu kebijakan ataupun aturan tertentu. Bentuk afirmasi perempuan cukup baik jika merencanakan tindakan-tindakan representatif.

Pengaruh terhadap output : Perempuan mempunyai hak untuk memperjuangkan kepentingan politik dan tentunya terlibat penuh dalam menyelesaikan isu-isu perempuan. Dampak dari output ini bertujuan untuk perubahan bagi perempuan secara peran umumnya. Karena situasi tertentu, bahkan situasi saat ini mengharuskan perempuan untuk andil pembuatan kebijakan politik yang akan menjadi output untuk perempuan sendiri. Contohnya RUU PKS yang sampai saat ini tidak kunjung sah karena minimnya perempuan yang ada dalam pengambilan keputusan pada kepentingan politik (parlemen).

Baca Juga  Fenomena Kekerasan Dalam Relasi Pacaran

Diskursus : Pada poin keempat ini yang memang menjadi elemen penting dalam melibatkan perempuan untuk membangun perubahan dalam politik. Dalam perspektif ini, perempuan menjadi suatu hal yang wajar dalam mendorong perubahan sikap publik terhadap keberadaan perempuan. Karena tidak bisa kita pungkiri bahwa atensi masyarakat kepada perempuan sangatlah minim. Yang mengakibatkan keberadaan perempuan hanya kita lihat pada konteks domestik. Perlu adanya diskursus ini sebagai jalan terjang perempuan membangun dialog tentang sejauh mana pengaruh perempuan terhadap kebijakan publik.

***

Demikian dari itu, perempuan harus mulai sadar dengan keberadaan mereka, maka politik menjadi alat sederhana bagi perempuan agar tidak tersisihkan dari kebijakan-kebijakan yang memang tidak pro kepada perempuan baik secara peran domestik ataupun peran di dalam publik bahkan keputusan tidak hanya hanya angan-angan karena ketidakterlibatan perempuan dalam membuat kebijakan.

Bagikan
Post a Comment