f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
ibu

Seperti Uwais, Seharusnya Ibu Dicinta Bukannya Dihina

Belakangan ini media sosial ramai memperbincangkan mengenai salah satu berita yang menyangkut sosok seorang ibu. Namun, bukan tentang bagaimana besarnya jasa ibu atau bagaimana cara seorang ibu mengasihi anaknya. Berita yang sempat viral ini membicarakan mengenai perilaku kurang terpuji yang ditujukan kepada seorang ibu. Mungkin niatnya hanya bercanda, tetapi terlewat batas hingga jadinya malah menghina. Tentu saja hal ini ramai menjadi buah pembicaraan karena banyak yang tidak terima. Apalagi yang dihina adalah ibu nomor 1 bagi negara.

Menghina seseorang, telebih seorang ibu sudah tentu merupakan perbuatan yang sangat tidak dianjurkan, terutama dalam agama islam. Sosok ibu dalam islam memiliki kedudukan yang cukup tinggi sehingga wajib untuk dihormati. Telah banyak juga dalil yang menyebutkan tentang pentingnya berbakti kepada ibu, salah satunya adalah yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an yang artinya, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Sesungguhnya hanya kepada-Ku kembalimu.” (QS Luqman: 14).

Ibu merupakan sebuah pintu bagi anak-anaknya, pintu untuk keluar melihat dunia dan pintu untuk menuju hadiah terbaik yang dijanjikan Allah ta’ala, yaitu surga. Bagi seorang anak, memuliakan dan mencintai ibu memiliki ganjaran yang besar. Ingatkah salah satu kisah mengenai seorang anak yang menjadi penghuni langit karena cintanya kepada Sang Ibu? Itulah Uwais Al Qarni. Sungguh bertolak belakang dengan kasus sebelumnya, Uwais menjalani sebagian besar hidupnya untuk berbakti kepada Sang Ibu.  

Nama lengkapnya Abu Umru Uwais bin Amir bin Jaza Al-Qarni Al-Muradi Al-Yamani. Ia lahir di Yaman pada tahun 594. Ayahnya telah meninggal sejak ia kecil, sehingga ia hanya hidup bersama dengan ibunya. Mereka tinggal di daerah Qarn, di Yaman. Uwais termasuk dalam orang yang masuk islam setelah dakwah nabi Muhammad Saw. sampai ke Yaman. Sayangnya, hingga akhir hayat Uwais belum pernah berjumpa secara langsung dengan Rasulullah Saw.

Baca Juga  Menyelamatkan Bumi Bermula dari Meja Makan

Semasa hidupnya, Uwais merupakan pemuda yang tidak terkenal, miskin, dan berpenyakit kusta. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari, ia bekerja sebagai penggembala kambing dengan upah yang pas-pasan. Meskipun hidupnya tidak tergolong mudah, tetapi Uwais suka membantu tetangganya yang memiliki nasib tidak berbeda jauh dengannya dalam hal finansial. Uwis tidak hanya rajin dalam bekerja, tetapi dalam hal beribadah pun ia tidak pernah lalai. Dikisahkan, sepanjang hidupnya Uwais selalu berpuasa di siang hari dan bermunajat di malam  harinya.

Suatu hari, ibu Uwais meminta sesuatu yang cukup sulit untuk dikabulkan. Ibunya berkata, “Wahai anakku, Uwais. Mungkin aku tidak akan lama lagi bersamamu. Tolong, ikhtiarkanlah ibu agar dapat melakukan ibadah haji.”

Tentu saja permintaan itu membuat hati Uwais bimbang. Dengan keadaan ibunya yang lumpuh, mereka memerlukan kendaraan untuk ke Mekkah, tetapi uangnya tidak mungkin cukup untuk membeli unta maupun keledai. Namun, rasa cinta Uwais kepada Sang Ibu tidak menyurutkan semangatnya. Uwais membelanjakan uangnya yang pas-pasan itu untuk seekor anak sapi. Dibuatkannya kandang di atas bukit. Setiap hari, Uwais bolak-balik menggendong anak sapi itu naik turun bukit. Tetangga yang melihatnya pun heran dan mengatakan bahwa Uwais sudah gila.

Delapan bulan totalnya ia melakukan hal “gila” tersebut. Ia menyudahi kegiatannya ketika telah masuk musim haji. Anak sapinya telah tumbuh hingga mencapai bobot 100 kg. Tentu saja otot Uwais juga telah terlatih. Ia menjadi pemuda yang sangat bertenaga. Lalu, terungkaplah alasan Uwais yang seperti orang gila, setiap hari menggendong sapi itu. Rupanya ia sedang mempersiapkan dirinya untuk menjadi kendaraan berhaji bagi Sang Ibu. Pada musim haji itu, ia menggendong ibunya dari Yaman ke Mekkah, jarak yang cukup jauh, melewati padang tandus luas dan amat panas. Tidak hanya itu, Uwais juga tetap menggendong ibunya ketika wukuf. Ia rela melakukan sema itu karena rasa cintanya kepada ibunya.

Baca Juga  Mewujudkan Rumah Tangga yang Berkah

“Ya Allah, ampunilah semua dosa ibuku,” begitulah doa Uwais di depan Ka’bah. Ibunya pun mempertanyakan doa itu. Bila yang didoakan hanya Sang Ibu, lantas bagaimana dengan dosanya sendiri? Pemuda gagah itu menjawab, “Dengan terampuninya dosa-dosa ibu, maka ibu akan masuk surga. Cukuplah ridha dari ibu yang akan membawaku ke surga.” Betapa tersentuhnya hati Sang Ibu.

Pada hari lain, Uwais pernah merasa begitu merindukan Rasulullah Saw. meskipun belum pernah bertemu dengan beliau. Ia meminta izin ibunya untuk melakukan perjalanan ke Madinah demi menemui Rasulullah Saw. Izin itu didapatkannya, tetapi dengan syarat harus segera kembali ke Yaman. Ia segera berangkat ke Madinah dengan perasaan yang gembira. Setelah menempuh perjalanan yang tidak dekat, ia sampai di rumah Rasulullah Saw. Sayangnya, Aisyah Ra. yang keluar dari rumah itu mengatakan bahwa Rasulullah Saw. tengah berperang. Kecewa sekali rasanya. Menunggu hingga Rasulullah Saw. kembali pun tidak mungkin, bagaimana nasib ibunya jika ditinggal terlalu lama? Akhirnya, Uwais kembali ke Yaman tanpa bertemu dengan Rasulullah SAW. Ia hanya bisa menitipkan salam untuk Rasulullah Saw.

Perang usai dan Rasulullah Saw. kembali ke rumahnya. Beliau bertanya kepada Aisyah Ra, apakah ada yang mencarinya? Selain itu, beliau juga menceritakan mengenai Uwais Al Qarni, seorang anak yang taat kepada ibunya dan merupakan penghuni langit. Mendengarnya, Aisyah Ra tertegun. Ia membenarkan bahwa memang ada pemuda yang mencari Rasulullah Saw. tetapi kemudian kembali pulang karena tidak bisa meninggalkan ibunya terlalu lama.

Rasulullah Saw. bersabda, “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais Al Qarni), perhatikan tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.” Beliau memandang Ummar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, serta melanjutkan, “Apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya untuk kalian karena dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi.” Tanda putih yang dimaksud adalah tanda bekas penyakit kusta Uwais yang telah sembuh atas izin Allah Saw.

Baca Juga  Al-Qur’an adalah Jawaban dari Segala Permasalahan Hidup

Jauh setelah kejadian itu, Ummar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib masih mencari dan menanti kehadiran Uwais. Hingga pada suatu hari terdengar kabar bahwa Uwais tiba di Madinah dan tengah mengurus unta milik rombongan kafilah dari Yaman. Kedua sahabat Rasulullah Saw. itu pun segera menemuinya dan meminta doa dari Uwais. Tentu pada awalnya Uwais menolak, tetapi karena terus didesak akhirnya ia mendoakan mereka. Dari pertemuan itu pula diketahui bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia sehingga kini ia baru bisa ikut dengan rombongan kafilah ke Madinah. Ia telah memberi bakti terbaik hingga akhir hayat Sang Ibu.

Kisah Uwais Al Qarni ini memperlihatkan kepada kita bagaimana sikap seorang anak kepada ibu yang seharusnya. Kisah ini juga menunjukkan betapa indahnya ganjaran yang akan didapat bila seseorang menghormati dan memperlakukan ibunya dengan sebaik mungkin. Memang tidak ada ibu yang sempurna, tetapi tidak ada ibu yang pantas untuk dihina. Karena ibu merupakan pintu kita. Pintu ke dunia dan pintu ke akhirat. Maka, seperti Uwais, seharusnya ibu dicinta bukannya dihina.

Bagikan
Post a Comment