f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
buku

Saat Buku Lebih Penting Ketimbang Isi Perut

Alih-alih bercita-cita untuk menjadi seorang penulis, terbesit untuk hidup dari dunia tulis menulis tidak pernah terlintas dalam pikiran saya. Pilihan untuk tidak hidup dari dunia kepenulisan dipengaruhi oleh lingkungan di mana saya tumbuh. Saya dibesarkan di lingkungan keluarga pedagang dengan kultur betawi bernuansa islami kental di pinggiran daerah Timur di Jakarta. Selain itu, saya 6 tahun belajar di pondok pesantren, tepatnya di Madrasah Muallimin Muhammadiyah, Yogyakarta.

Dengan lingkungan semacam ini, cita-cita saya saat itu sederhana dan mulia; menjadi pengajar agama dan pendakwah. Dengan cita-cita sederhana itu, saya mengambil keputusan dengan studi di Jurusan Pendidikan Islam pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga (sekarang Menjadi UIN—Universitas Islam Negeri—Sunan Kalijaga) Yogyakarta. Meskipun tidak ingin menjadi penulis, kebiasaan untuk meluapkan pelbagai uneg-uneg melalui diari telah menjadi kebiasaan yang tidak pernah saya lepaskan semenjak duduk di kelas tiga Tsanawiyah (SMP) Madrasah Muallimin Muhammadiyah tersebut. Melalui catatan harian tersebut, saya menulis semua aktivitas sekaligus kegelisahan apapun yang saya rasakan, termasuk di dalamnya adalah dengan mencurahkan isi hati melalui puisi.

Saat kuliah S1, saya berkenalan dan kemudian menjadi akrab dengan teman kelas yang bernama Ahmad Zubairi. Selain bersahabat, Iamemiliki pengetahuan yang cukup luas mengenai wacana keislaman. Hal ini terlihat dari beberapa makalah yang ditulisnya. Ia tidak hanya menulis dengan cukup berbobot melainkan juga memiliki perspektif yang tajam. Meskipun tulisan itu sebenarnya hanya sekadar untuk pengumpulan tugas mata kuliah keislaman saja, tetapi Ia mengerjakan dengan serius. Melalui perbincangan informal, ia kerapkali mengunakan istilah bahasa asing dan beberapa tokoh sarjana/intelektual dalam menguatkan argumentasi penjelasannya. Saya merasa tertinggal dan tidak memiliki pengetahuan apa-apa dibandingkan dengan dirinya. Rasa rendah diri sekaligus ingin belajar menjadi adonan perasaan yang menyatu, memunculkan decak kagum saya kepada figur Zubairi.

Ketakjuban saya semakin bertambah ketika saya mengunjungi kamar indekos-nya di asrama Seroja yang berada di belakang kampus Instiper, Papringan, Depok Sleman. Ia berbagi kamar dengan temannya yang sama-sama berasal dari Madura. Di kamar yang cukup luas itu, saya melihat tumpukan buku-buku yang berjejer rapi dengan ragam judul dan topik. Saya mengamati satu persatu judul buku yang berjejer tersebut dengan sesekali kemudian mengambil satu buku yang menurut saya menarik. Saya membacanya dengan penuh takjub, meskipun saya sebenarnya tidak mengerti isinya. Saat itu, pengetahuan saya belum benar-benar sampai untuk menjangkau pengetahuan dalam buku itu. Saya menyimpulkan; Zubairi memang orang yang pintar.

Baca Juga  Memeluk Mimpi (3): Pecah Telur

Berkenalan dan berkunjung ke indekos Zubairi memberikan kesan yang mendalam sekaligus diselimuti rasa keheranan. Sebatas pengetahuan saya, orang lebih banyak menghabiskan uangnya untuk mencukupi kehidupan perutnya masing-masing. Jika perutnya sudah cukup untuk makan sehari-hari, orang biasanya akan memenuhi kebutuhan hidup sekundernya yang lain, mulai dari perlengkapan rumah tangga ataupun elektronik, seperti televisi, radio, ataupun yang lainnya. Karena itu, membeli sebuah buku dan kemudian menumpuknya melalui rak-rak yang rapi terasa ganjil sekali, khususnya bagi saya yang tidak memiliki tradisi literasi yang kuat di rumah.

Jikalaupun harus membeli buku, bagi saya, adalah aktivitas setiap semester yang dikeluarkan oleh orang tua untuk membeli buku-buku pelajaran wajib yang diagendakan sekolah ataupun madrasah tempat saya belajar. Rasa penasaran saya ini memunculkan pelbagai pertanyaan dalam pikiran, “Lalu, bagaimana Ia membagi waktu untuk membaca semua buku tersebut? Apakah ia tidak ada waktu untuk sekadar keluar indekos jalan-jalan mengelilingi Yogyakarta? Apa sebenarnya hiburan yagn dilakukan jika tidak membaca buku”.

Ketakjuban dan keheranan ini semaking menguat saat saya diajak olehnya ke kamar indekos Muhammad Musthofa, yang kebetulan tidak jauh dari asrama Seroja tersebut. Musthofa ini adalah kakak kelas Zubairi di Pondok Pesantren Sumenep, Madura. Ia mahasiswa S1 filsafat UGM. Saat berkunjung ke kamarnya, di ruangan indekos yang tak begitu besar, berjejer rapi rak-rak buku yang begitu tinggi dengan dipenuhi ratusan buku dengan beragam tema. Saya mengamati, tak ada satupun sudut tanpa buku dikamarnya. Saya terkesima dan bengong sambil terus berpikir, “ini orang pembaca buku atau sebenarnya jualan buku?”. Ini karena, lagi-lagi, saya belum pernah bertemu dengan orang yang memiliki buku begitu banyak. Pengalaman saya sangat terbatas mengenai buku. Bagi saya, kalaupun ada buku-buku yang berjejer rapi dan sangat banyak itu biasanya adanya di perpustakaan, bukan di kamar indekos yang sempit.

Baca Juga  Kiai Asrori dan Daya Bacanya

Dua pengalaman tersebut menjadi titik awal awal kehidupan saya mengenal dunia literasi lebih luas. Berawal dari pertemanan ini perlahan-lahan saya belajar menyukai buku. Saya mulai sering ke pergi ke Perpustakaan kampus untuk sekedar melihat-lihat judul dan cover buku. Dari sini, saya mulai memberanikan untuk meminjam buku, meskipun selama proses peminjaman itu tidak pernah dibaca. Saya mulai menyisihkan setengah uang jajan saya yang berjumlah 150 ribu perbulan untuk membeli buku dengan perhitungan Rp, 75 ribu untuk membeli buku dan Rp. 75 ribu yang lainnya untuk membeli makan selama sebulan. Aktivitas belanja buku ini saya lakukan kurun waktu 1999-2003.

Hal yang menarik, aktivitas awal-awal membeli buku ini bukan berdasarkan atas sebuah tema yang saya sukai, melainkan apa yang dimiliki oleh teman, khususnya Ahmad Zubairi. Jika ia memiliki sebuah buku dengan judul tertentu, saya biasanya akan mengikuti untuk membelinya. Asumsi saya, apa yang dibeli olehnya pasti buku bagus. Karena itu, saya harus memilikinya. Namun, lagi-lagi kesukaan membeli buku ini tidak saya imbangi dengan membacanya secara utuh. Saya terkadang membaca buku-buku yang saya beli tersebut hanya judul dan pengantarnya saja. Bahkan, saya pernah tidak membacanya sama sekali. Saya taruh buku-buku tersebut di lantai dengan masih berbungkus plastik rapi.

Tumbuhnya hasrat membaca buku lebih mendalam ini saya temukan saat bergabung di organisasi intra kampus, Kelompok Studi ilmu Pendidikan (KSiP). Perkenalan saya dengan kakak kelas seperti Herman Hasibuan (almarhum), Samsul At-tubanny (almarhum), Muhibin, dan yang lainnya di organisasi tersebut membuat keingintahuan saya terhadap wacana ilmu sosial dan agama semakin menggebu. Apalagi, saya sudah memberanikan diri untuk berbicara di kelas dalam merespon pendapat teman-teman dan juga dosen saat itu. Tak ayal, semakin saya sering berbicara semakin saya merasa kekurangan dari segi pengetahuan. Aktivitas membaca buku adalah satu cara untuk menutupi kekurangan tersebut. Terlebih lagi, saya telah ditunjuk, lebih tepatnya dikorbankan untuk menjadi ketua KSiP selama satu tahun. Saya, mau tidak mau, harus membaca buku yang terkait dengan dunia pendidikan, kajian keislaman, dan isu-isu kontemporer.

Baca Juga  Demam Latto-Latto : Permainan Tradisional sebagai Counter Permainan Global

Sayangnya, kesukaan saya membaca buku ini tidak diimbangi dengan aktivitas menulis. Aktivitas menulis saya lakukan hanya sekadar untuk mengerjakan tugas mata kuliah yang diberikan oleh dosen pembimbing. Selebihnya, aktivitas saya lebih banyak membaca buku dan berdiskusi. Saat itu, saya melihat aktivitas menulis tidaklah sepenting membaca dan berdiskusi. Dengan demikian, selama menempuh S1, saya hanya menulis makalah-makalah yang mengutip pendapat-pendapat orang lain tanpa menuangkan pikiran saya sendiri demi tugas kuliah. Kalaupun ada tulisan dari pikiran saya sendiri, itu pun hanya ada pada sub simpulan. Selebihnya mengutip semua. Tambahan belajar menulis agak serius hanya saya dapatkan ketika mengerjakan skripsi. Sekali lagi, itupun sekedar mengutip dan menyadur gagasan orang lain. Lagi-lagi orisinalitas gagasan tulisan saya hanya ditemukan pada bab biografi dan simpulan. Sementara bab pembahasan dan juga temuan penelitian hanya otak-atik dari kumpulan pelbagai buku dan skripsi yang saya mampatkan menjadi karya saya.

Bagikan
Comments
  • sejak kuliah wawasan kamu tentang studi keislaman dan humaniora memang diatas rata-rata mas yudi. menjadi tokoh sentral dalam diskusi kependidikan dengan semangat freirian dan romo mangun. dibesarkan pada lingkungan iaian yg punya hasrat besar membangun peradaban kampus lierasi. bangga punya teman sprti anda.

    Juni 20, 2023
    • Ahmad Zubairi

      Saya pun bangga punya teman seperti Yudi, Wan. Tidak menyangka sama sekali, bahwa relasi pertemanan bisa berkontribusi atau menginspirasi pada relasi dunia pengetahuan. Bahkan saat ini Yudi sudah terbang begitu jauh dengan kekuatan pengetahuan yang dimilikinya. Jujur saya akui, jika diibaratkan sudah seperti langit dan bumi.

      Juni 20, 2023
Post a Comment