f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
nyai walidah

Refleksi Kader: Menjadi Penerus Nyai Walidah

Bagi setiap aktivis, kader bukanlah suatu kata yang asing lagi. Tentunya seorang kader tidak pernah lupa akan hakikat kader itu sendiri. Kader adalah seseorang yang dipilih dan memilih dirinya sendiri dengan sukarela untuk memenuhi tugas dan fungsi pokok organisasi atau lembaga demi terwujudnya suatu tujuan tertentu. Bertambahnya usia suatu organisasi bertambah pula tugas seorang kader. Salah satunya adalah dengan adanya evaluasi yang menjadi refleksi kepada untuk memperbaiki, tidak terkecuali organisasi otonom Muhammadiyah seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).

Penggerak organisasi IMM memiliki 2 sebutan berdasarkan gender yaitu immawan sebutan untuk kader laki-laki dan immawati sebutan untuk kader perempuan. Sebagai kader perempuan yang kemudian disebut dengan immawati, harus pandai merefleksikan diri dengan pemikiran-pemikiran ibunda Nyai Walidah.

Nyai Walidah atau l Nyai Ahmad Dahlan atau Siti Walidah adalah sosok perempuan yang melek literasi isu-isu sosial di masyarakat. Sosok perempuan yang memberdayakan perempuan yang lain dan juga pembangun pemikiran berdaya untuk perempuan. Nyai Walidah juga sosok perempuan yang selalu menekankan pentingnya disiplin, berbudi pekerti, berilmu pengetahuan dan memiliki keterampilan dalam memberdayakan sesama perempuan. Sejarah mencatat Nyai Walidah adalah seorang tokoh pergerakan bukan tokoh pemikiran. Hal ini karena pemikiran keislaman Nyai Walidah jarang diulas dan juga tidak mewariskan ide-ide yang bisa dinikmati secara akademis. Nyai  Walidah hanya mewariskan sejarah pemikiran yang sudah melembaga dalam wujud organisasi maupun keteladanan hidup.

Pemikiran keislaman yang dikembangkan Nyai Walidah adalah ajaran agama harus diketahui lebih dulu, kemudian dipahami, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses transfer ilmu kepada perempuan lainya Nyai Walidah menggunakan metode dan transformasi dalam bentuk wajah yang bersifat membumi. Konsep inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran yang sama dan memiliki pemahaman yang sama. Sehingga para perempuan pada zaman itu memiliki wadah atau suatu kelompok.

Baca Juga  Demokrasi dan Makna Kebebasan

Pergerakan pertama Nyai Walidah yaitu kelompok majelis pengajian yang bernama “Sopo Tresno” yang kemudian berganti nama menjadi ‘Aisyiyah pada tahun 1917. Kemudian majelis ini mengilhami Nyai Walidah untuk membuat pondok khusus perempuan. Bagi Nyai Walidah metode transfer ilmu dengan relasi yang baik antara pendidikan dan yang dididik agar terjalin dengan intensif adalah dengan model pondok. Karena dengan model pondok dapat tercipta model pembelajaran karakter dalam bentuk keteladanan.

Selama proses upaya membina anak-anak perempuan di pondok/asrama pemikiran-pemikiran keislaman Nyai Walidah mulai terlihat dan banyak ditemukan melalui pesan-pesan dalam pengajaran dan keteladanan sebagai berikut :

  • Perempuan dan Pendidikan

Zaman Nyai Walidah, perempuan dan pendidikan adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Perempuan tidak boleh mengenyam pendidikan layaknya laki-laki karena dianggap tugas perempuan hanya dirumah dengan segala tugas domestiknya seperti pekerjaan rumah.  Menurut Nyai Walidah seorang perempuan haruslah terdidik dan harus memiliki keterampilan hidup.

Bentuk nyata dari pemikiran ini adalah dengan terbentuknya asrama perempuan yang terletak di rumah Nyai Walidah pada waktu itu, dengan ciri khas kedisiplinan. Kedisiplinan adalah fondasi awal kesuksesan. Nilai disiplin dijadikan ciri khas pendidikan agar anak-anak perempuan memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam hidup, terutama disiplin waktu. Selain disiplin adalah budi pekerti, sikap hormat terhadap orang tua, jujur dalam keseharian, tidak boros, dermawan, terbuka, dan pemberani.

Dalam pendidikan perlu adanya keterampilan hidup. Perempuan haruslah paham betul ilmu keterampilan hidup seperti yang sudah diajarkan dalam asrama Nyai Walidah, diantaranya adalah merawat jenazah, keterampilan berumah tangga, membuat kue, berwirausaha, menjahit, dan seterusnya. Organisasi perempuan seperti ‘Aisyiyah dipenuhi dengan perempuan yang kreatif dan terampil.

Baca Juga  Nyai Khairiyah Hasyim: ‘Sang Kiai Putri’

Praktik pendidikan yang dipelopori oleh Nyai Walidah mungkin tidak memuaskan namun sudah menunjukkan kehebatannya sebagai perempuan dalam perjuangan memberdayakan kaum perempuan.

  • Perempuan dan Masyarakat

Perempuan dan masyarakat adalah dua hal yang begitu dekat namun terasa sangat jauh. Perempuan seolah-olah tidak perlu bermasyarakat. Dan perempuan wajib di rumah dengan minim pergaulan dan informasi, perempuan harus selalu menjadi nomor dua dan berjalan di belakang laki-laki dalam segala hal. Perempuan di masyarakat harus memiliki kemampuan untuk bersaing, terutama dalam pencapaian ranah kompetensi (kognisi, afeksi, dan psikomotorik).

Jika ranah kompetensi sudah terpenuhi dengan baik maka perempuan memiliki tanggung jawab untuk mengangkat keterpurukan nasib perempuan yang lain. Maka seperti yang dikatakan oleh Nyai Walidah “Para ibu tidak cukup dengan hanya mengasuh anak dan mengurus keperluan rumah tangga. Tetapi juga perlu berkumpul untuk berembuk tentang kebutuhan ruhaniah, kebutuhan perempuan sendiri, dan masyarakat”.

Menurut Nyai Walidah, perempuan juga wajib berjuang bersama laki-laki dalam garda terdepan dalam menyiap siagakan segala hal. Seperti dapur umum, memelihara kesehatan, mengobati yang sakit, menenangkan masyarakat dll. Keterlibatan perempuan dalam kemerdekaan Republik Indonesia menjadi hal yang dapat diterima meskipun sebelumnya ruang gerak mereka terbatasi oleh aturan yang bersifat bias gender. Seruan Nyai Walidah kepada kaum perempuan untuk terlibat dalam perjuangan membela tanah air merupakan pemikiran yang sesuai dengan zaman. Karena perjuangan membela tanah air adalah kewajiban semua warga negara tanpa membedakan apapun jenis kelaminnya.

  • Perempuan dan Pergerakan

Perempuan dan pergerakan adalah dua hal yang saling bersinggungan, sebab perempuan dalam garis pergerakan jarang meninggalkan warisan pemikiran tertulis secara akademis. Namun perempuan dalam pergerakan dapat meninggalkan harkat dan martabat perempuan.

Baca Juga  Krisis Maskulinitas dan Hubungan Kemitraan Suami-Istri dalam Islam

Paradigma gerakan pemberdayaan perempuan oleh Nyai Walidah ternyata memberikan efek yang sangat besar. Gerakan pemberdayaan perempuan lewat asrama perempuan dengan model pendidikan karakter tersebut merupakan suatu gerakan pemberdayaan yang pada masa kini tidak hanya diterapkan oleh perempuan saja, namun juga diterapkan di seluruh sekolah.

Dalam beberapa hal patutlah kader-kader perempuan atau immawati merefleksikan diri. Apakah segala perilaku sudah mencerminkan sosok kader immawati, kader Nyai Walidah atau malah sebaliknya. Seorang kader immawati memang tidak seharusnya berbelok melenceng jauh dari koridor pemikiran pergerakan Nyai Walidah. Namun jika sudah terlanjur berbelok arah belum terlambat juga untuk kembali kepada koridor perjuangan perempuan. Untuk bersama-sama membumikan gerakan pemberdayaan Nyai Walidah yang sesuai dengan zamannya.

Bagikan
Post a Comment