f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kekerasan

Quranic Parenting: Cara Melawan Kekerasan Verbal

Pandemi Corona atau Covid-19 memang memberikan efek yang begitu besar dan serius dalam segala lini. Bahkan perihal kecil yang ditemui pun sering dibesar-besarkan sehingga bisa tidak terkendali. Hal itu juga karena adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang mana semua unsur kegiatan masyarakat terbatasi dan mobilitasi masyarakat pun terdapat dalam pemberlakuan ini.

Belum lagi banyak pekerja yang terpaksa dirumahkan sehingga mereka mengalami peralihan tempat kerja dari kantor ke rumah. Begitu pula kegian belajar mengajar baik di tingkatan TK, SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi. Sehingga menimbulkan beragam kekhawiran pada masing-masing individu di dalam keluarga.

Mulai dari kekhawatiran akan tertular Covid-19, khawatir akan meninggal dan kehilangan anggota keluarga serta teman hingga stress akibat terkena PHK dan mengalami penurunan pendapatan. Di sisi lain, laporan media yang secara konstan memberitakan tentang angka dan keadaan yang sakit dan meninggal menambah rasa takut dan stress. Sehingga masyarakat yang tidak mengalami kekhawatiran atau depresi sebelum pandemi menjadi memiliki kekhawatiran yang berlebihan dan depresi pada saat pademi.

***

Terlansir dari surveymeter.org bahwa tingkat kecemasan di Indonesia mengalami peningkatan pada kota dan provinsi yang memiliki populasi besar di antara kota/provinsi lainnya. seperti: DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Tercatat pada tahun 2021 sebanyak 58% mengalami tingkat kecemasan hingga pada titik depresi. Menurut data Bbc.com bahwa tingkat stress anak dengan adanya Pembelajaran Jarak Jauh (PPJ) karena Covid-19 bervariasi mulai dari stress, mudah marah, kesehatan mental serta keinginan bunuh diri.

Pandemi memang memberikan dampak tapi bukan berarti seorang orang tua dengan segala macam problematika di dunia pekerjaan mampu melampiaskannya ke anak. Pun sebaliknya, seorang pun tak selayaknya untuk melampiaskan kemarahannya dan emosinya kepada orang yang ada di rumah. Salah satu yang marak terjadi adalah kekerasan verbal. Kekerasan seperti ini sadar maupun tidak sadar akan memberikan sebuah dampak yang signifikan dan luar biasa terhadap korban meski kadang pasca kejadian akan terasa seperti tak ada apa-apa.

Baca Juga  Tantangan Anak: Mengikuti Orang Tua yang Hidup Berpindah-pindah

***

Menurut Dr. Susan Forward dalam karya nya berjudul Toxic Parents, kekerasan verbal itu memiliki dua jenis tipologi yaitu:

Pertama, menyerang anak ataupun orang secara langsung tanpa basa basi, terbuka, jahat dan terkesan tidak bertele-tele. Contoh kalimat yang sering terlontarkan seperti, “Dasar anak gak berguna”, “durhaka”, “goblok” dll. Dan semua kata itu memiliki dampak pada jangka panjang terhadap perasaan seorang anak. Berbagai video telah tersebar bagaimana kekerasan verbal dengan tipologi semacam ini ibarat semacam kertas yang telah remuk. Kertas itu akan kembali membaik tapi keadaannya tak seperti awalnya secuil kertas. Begitupula layaknya perasaan anak yang mereka rasakan.

Kedua, kekerasan verbal secara tidak langsung, tetapi merepresentasikan sebuah kehinaan dan juga pelecehan. Bentuk seperti ini seringkali orangtua membungkus kekejamanya itu dengan nada humor atau candaan yang secara tidak langsung mengarah pada anak. Contohnya, “Eh lihat tuh sih badut itu. Dia tuh gak bisa apa-apa aslinya, tapi ya gimana lagi ya susah say”. Terus orang tua berkata, “Ah bercanda aja kok”. Padahal perkataan itu merepresentasikan sebuah fakta yang ingin terungkap namun terbungkus dengan bahasa guyonan. Setidaknya, di sini penulis ingin memberikan sebuah solusi dari pergelutan antara anak dan orang tua di tengah masa pandemi seperti saat ini.

Melawan Kekerasan Verbal

Mengawali tulisan ini, penulis ingin mengutip sebuah syair Arab yang populer namun pengaplikasiannya sangatlah kurang di kalangan masyarakat.

سلامة الإنسان في حفظ اللسان

Artinya: Keselamatan seseorang itu tergantung (bagaimana) ia menjaga lisannya.

Sepintas tentunya, syair ini sama hal nya dengan pepatah yang sering terdengar yakni “Mulutmu harimaumu”. Orientasi dari pepatah tersebut mengindikasikan tentang ucapan yang harus benar-benar kita pikirkan sebelum terucap. Karena ucapan yang jahat akan mengakibatkan pada respon yang jelek pula pada lawan bicara.

Baca Juga  Membuat Anak Selalu Merasa Nyaman di Rumah

Berbicara konteks rumah tangga yang penuh dengan kekerasan verbal. Setidaknya ada tiga kiat melawan kekerasan verbal agar hubungan anak dan keluarga menjadi semakin harmonis lalu tidak retak.

***

Pertama, ubah kekerasan verbal (caci maki) dengan Apresiasi. Mengubah memanglah sangat sulit tapi dengan prilaku orang tua pun anak yang saling mengapresiasi akan membuat sebuah keluarga yang kompetitif dalam hal kebaikan (ruh at-tasabu’). Sehingga kesehatan mental dan tingkat kepercayaan diri meningkat hingga menjadi orang yang bermanfaat di sekitarnya.

Kedua, melawan kekerasan verbal (caci maki) dengan prestasi. Pembicaraan negatif tentang anak dan orang tua biarlah anggap saja angin yang berlalu. Tidak perlu kita pikirkan secara keras hingga membuat anak dan keluarga depresi. Cara jitu untuk melawannya yakni dengan segudang prestasi yang harus tercapai. Sehingga apa yang dilontarkan berupa kekerasan verbal hanyalah sebuah kata tanpa bukti. Dan akhirnya kata yang dilontarkan seakan bungkam dan tak berkutik sama sekali.

Ketiga, melawan kekerasan verbal (caci maki) dengan kontribusi. Tunjukkan pada orang tua, tetangga, teman, masyarakat dengan aksi bahwa apa yang disampaikan dan disebar luaskan itu hanyalah hoax bahkan mengarah pada perilaku yang mengindikasikan sebuah ketidak mampuannya. Wallahu A’lam.

Bagikan
Post a Comment