f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
Ping-Hsiu Alice Lin

Ping-hsiu Alice Lin: Lompatan Karier Akademik

Saya belajar mengamati cukup lama terkait dengan “pola permainan” dalam dunia akademik; khususnya bagaimana seorang individu kemudian bisa mendapatkan posisi jalur dosen tetap di sebuah perguruan tinggi luar negeri. Namun, kesimpulan yang saya dapatkan selalu berubah-ubah dan tidak mendapatkan kepastian pola tertentu yang ajeg dan pasti. Awalnya, saya mengira semakin banyak mempublikasi karya akademik di jurnal internasional, baik terindeks maupun tidak, merupakan jalan utama untuk meraih posisi tersebut. Hal tersebut memang benar tapi tidak sepenuhnya tepat dan bukan satu-satunya jalan.

Ini karena, meskipun karya internasionalnya sedikit, karena studinya sangat menarik dan ada kesungguhan riset lapangan yang dalam di tengah medan lapangan yang tidak mudah, kemungkinan besar, individu akademik tersebut yang justru bisa diterima. Amatan saya kepada sarjana Hongkong, Ping-hsiu Alice Lin, ini setidaknya menjadi argumen penguat hal tersebut. Ia baru saja diangkat menjadi asisten dosen di Jurusan Antropologi Universitas Harvard dan memulai karier profesional sebagai dosen menuju tetap pada tahun 2025. Sebelumnya, ia menjadi Riset fellow selama dua tahun di kampus tersebut. Selain itu, kehadiran sarjana tersebut membuat saya perlu mengklarifikasi kesimpulan yang saya pegang sebelumnya.

Menurut saya, kuliah di kampus terbaik di Amerika dan Eropa dengan menempati 10 rangking kampus terbaik dunia dunia, itu bisa menjadi semacam pijakan yang kuat untuk berkarir di Amerika Serikat dan Inggris. Asumsi saya salah. Ping-Hsiu Alice Lin ini justru menyelesaikan S3-nya di kampus Chinese Hongkong University, menempati ranking 36 menurut catatan QS World Ranking pada tahun 2023.

Saya mengamati, yang menarik dari figurnya adalah riset lapangan antropologi yang dilakukan. Selain sangat kuat riset lapangan dengan pendekatan etnografi, ia melakukan interseksi kajian dengan melakukan semacam komparasi antar negara. Riset lapangannya memang hanya di Pakistan dan Afganistan. Namun, ia mengamati rantai pasokan bagaimana hasil estraksi alam yang menghasilkan beragam konsumsi barang berharga, dalam hal ini adalah Permata, di Pakistan dan Afganistan. Permata ini kemudian diperdagangkan oleh negara Asia lainnya, baik itu India, Jepang, Korea, dan Asia Tenggara, khususnya Thailand. Melalui jalur rantai perdagangan itu, ia menelusurinya dengan detail selama kurang lebih satu tahun sebagai bagian dari riset lapangan dengan beragam multi negara tersebut.

Baca Juga  Belajar dari Akhlak Kiai

Secara individu, ia memiliki dua tantangan identitas. Pertama, posisinya sebagai perempuan di tengah hegemonik agama di Pakistan dan Afganistan. Di tengah regulasi dan praktek keagamaan yang menempatkan perempuan tidak boleh sering berada di ruang publik itu di di negara mayoritas Muslim tersebut merupakan tantangan tersendiri untuknya. Selain harus bernegosiasi terkait dengan struktur seksualitas tubuhnya yang dianggap berbeda dan tabu, ia harus meyakinkan informannya (dalam istilah Antropologi disebut dengan interlocutor) untuk mendapatkan informasi yang penting. Di sini, sebelum membangun interaksi dengan interlocutor secara mendalam, ia harus membangun kepercayaan kepada mereka. Sebagai orang asing, hal itu bukan pekerjaan yang mudah.

Kedua, penggunaan Bahasa Pakistan dan Afganistan. Memang, dalam riset ia bisa menggunakn riset asisten dalam memudahkan komunikasi dengan interlocutor. Meskipun begitu, mempelajari bahasa lokal di mana peneliti itu riset tetap menjadi bagian yang penting. Di sini, ia memaksakan dirinya untuk belajar dua bahasa tersebut untuk menjadi bagian dari apa yang disebut dalam istilah Antropologi disebut dengan going native; membaur dan menjadi bagian dari individu masyarakat tempatan di mana ia tinggal. Sementara itu, ia sendiri adalah warga negara Hongkong. Meskipun bahasa Inggris dan bahasa China menjadi bagian dari bahasa resmi negara, belajar bahasa di luar bahasa Ibu merupakan tantangan tersendiri untuknya. Faktor kebudayaan yang berbeda yang dialaminya merupakan faktor tantangan lain yang harus ia atasi. 

Tantangan dan tingkat kerumitan studi yang dilakukan oleh Ping-Hsiu Alice Lin akhirnya diganjar oleh sebuah penghargaan.  Disertasinya mendapatkan penghargaan oleh IACS Awards pada tahun 2023 yang dikelola oleh komunitas Inter-Asia Cultural Studies dengan pujian yang luar biasa dari Tim Penguji. Pada tahun yang sama, disertasinya juga masuk dalam daftar kategori terbaik di International Convention of Asia Scholars (ICAS) 2023. Penghargaan ini tampaknya yang membuka jalan untuknya untuk menjadi Asisten Profesor di Kajian Antropologi Universitas Harvard. Sementara itu, jika diamati dari penerbitan akademik, ia menghasilkan empat karya jurnal internasional setelah selesai dari PhD. Namun, sekali lagi, tampaknya bukan itu yang dilihat, tetapi bagaimana karya disertasinya itu dibuat di tengah tingkat kerumitan sendiri, sebagaimana saya jelaskan sebelumnya.

Baca Juga  Women Support Women dalam Film Air Mata di Ujung Sajadah

Bercermin kepada Ping-Hsiu Alice Lin, jika waktu bisa diputar ulang, saya ingin studi S3 di luar kajian mengenai Indonesia. Yang paling dekat di Asia Tenggara, misalnya, saya bisa melakukan riset lapangan di Malaysia. Sementara itu, saya sendiri sebenarnya juga telah melakukan studi komparasi dengan melakukan perbandingan antara Indonesia dan Filipina di bawah rejim otoriter Suharto dan Ferdinand Marcos. Namun, adanya ketakutan untuk mempelajari hal baru sekaligus lebih memilih hal yang pragmatis, saya akhirnya tetap memilih studi mengenai Islam di Indonesia yang menjadi bagian dari keseharian kehidupan saya, khususnya terkait dengan praktek ritual keagamaan. Meskipun memiliki tantangan tersendiri, tapi tetap itu merupakan hal yang bisa diatasi. Ini karena saya melakukan riset di negara sendiri.

Saya mengetahui lebih baik medan riset lapangan saya sekaligus kebudayaan setempat. Saya mengerti bahwasanya ada banyak teman-teman yang menempuh jalur hal yang sama dengan saya. Meskipun begitu, saya harus bersiap untuk tidak terlalu berharap menjadi seperti Ping-Hsiu Alice Lin yang memiliki keberanian dalam meniti karier akademik dengan menempatkan diri untuk studi riset lapangan S3 di tempat yang sangat beresiko. Saya harus bersiap menjadi sarjana level medioker saja.  

Melalui catatan ini, saya ingin menegaskan kembali kepada diri saya bahwasanya kuantitas publikasi bukanlah jalan terbaik dan sat-satunya untuk menaiki tangga akademik hingga sampai kepada level profesionalisasi akademik serta mendapatkan tempat pekerjaan terbaik di sebuah kampus luar negeri. Sebaliknya, kualitas karya dengan kedalaman riset lapangan dan refleksi diri itu justru menjadi tonggak penting untuk meniti karir sebagai akademisi dan mengalami semacam lompatan pekerjaan kampus, khususnya dari Asia menuju Amerika.

Baca Juga  Jihad Narasi Covid-19

Melalui pencapaian Ping-Hsiu ini, saya bisa memberikan kesimpulan sementara, yang satu waktu bisa berubah. Kesimpulan itu adalah kuliah di kampus terbaik di dunia itu merupakan satu privilege; anak tangga yang memungkinkan seseorang memungkinkan berkarir di kampus terbaik lainnya. Namun, itu bukan jalan satu-satunya. Ini karena, menghasilkan proyek riset S3 dengan sebaik-baiknya dan mengalami proses kerumitan tersendiri karena studinya bukan di negara sendiri adalah langkah terbaik untuk melesatkan diri sejajar dengan mereka yang kuliah di kampus terbaik tersebut. Kehadiran Ping-Hsiu Alice Lin menjadi contoh terbaik untuk saya.    

Bagikan
Post a Comment