f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
nusyuz

Persoalan Nusyuz dalam Rumah Tangga

Permasalahan dalam mengarungi bahtera rumah tangga antara suami dan istri akan selalu ada dan tak terelakkan. Harapan dalam pernikahan adalah keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah. Tetapi, gesekan-gesekan pasti akan mewarnai rumah tangga. Mulai dari pelanggaran oleh 1 pihak, hingga perselisihan antara suami istri. Pelanggaran oleh 1 pihak biasa disebut dengan nusyuz yang dapat terjadi pada suami maupun istri.

Namun, narasi-narasi tentang nusyuz kebanyakan merujuk kepada istri yang membangkang dan istri yang tidak patuh kepada suami. Padahal, suami pun sebenarnya memiliki potensi yang sama dalam melakukan nusyuz. Suami yang tidak melaksanakan kewajibannya serta melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga tergolong dalam nusyuz.

Syaikh Syarqawi mengatakan:

“Bahwa Nusyuz bisa terjadi dari sang istri dan sang suami, meskipun hal ini (penyebutan nusyuz) tidaklah populer diarahkan kepada suami.”

Di dalam Pasal 83 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan bahwa kewajiban utama istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas hukum Islam. Kemudian, dalam Pasal 84 ayat 1 KHI menyebutkan bahwa Istri dapat dianggap nusyuz (durhaka/membangkang) apabila tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai istri sebagaimana dalam pasal 83 ayat 1, kecuali dengan alasan-alasan yang sah.

Perempuan Menjadi Objek dalam Pernikahan

 Hal tersebut semakin memperjelas bahwa dalam pernikahan perempuan menjadi objek yang harus memikul semua tugas-tugas dan tidak boleh membantahnya. Apabila perempuan tidak melakukannya akan dianggap sebagai istri durhaka dan pembangkang. Istri mengalami kondisi yang tidak bebas sebagai insan yang merdeka karena banyaknya tuntutan.

Sementara suami tidak seperti itu.  Dalam budaya patriarki, suami memosisikan sebagai raja dan istri menjadi “pelayan” . Istri harus menuruti seluruh titahnya. Bahkan, masyarakat menganggap istri yang salihah adalah ia yang sami’na waatho’na kepada suami. Hal-hal seperti itu menjadi lumrah terjadi dan sebagai bentuk pengabdian istri kepada suami. Istri harus ‘nerimo’ dan ‘legowo’ menerima segala perlakuan dari suami.

Baca Juga  Body Shamming Termasuk Bullying Loh!

Budaya patriarki yang mengakar kuat menempatkan perempuan sebagai objek seksual yang tugasnya adalah melayani/memuaskan laki-laki dan sebagai pihak yang menerima saja. Seakan-akan perempuan bukan sebagai subjek seksual dan tidak berhak memperoleh kepuasan seperti laki-laki.

Di masyarakat, budaya patriarki masuk ke dalam nilai-nilai yang berperan sebagai pengatur masyarakat. Artinya, nilai menjadi tolak ukur untuk mengklasifikasikan hal mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan . Nilai yang berkembang di masyarakat dalam relasi rumah tangga sangat timpang dan mendiskriminasi terhadap perempuan.

Padahal, pernikahan adalah relasi timbal balik antara dua orang. Bukan hubungan antara atasan dan bawahan yang satu memiliki kekuatan superior sementara lainnya inferior. Kesalingan dalam pernikahan menjadi hal esensial. Hubungan yang memiliki kerja sama, tidak hanya menuntut kepada salah satunya akan menekan konflik-konflik yang mungkin terjadi.

Perempuan dan Laki-Laki Setara dalam Pernikahan

Allah SWT berfirman dalam Q.S. An-Nisa ayat 19,

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Adanya hubungan yang toxic akan memupuskan indahnya pernikahan. Istri yang teramat muak dengan banyaknya tuntutan oleh suaminya akan memberontak apabila sang suami terus-terusan menekannya. Lagi-lagi perempuan akan terbebani secara fisik dan mental.

Sebaliknya, jarang terdengar narasi-narasi suami yang nuzyuz atau durhaka kepada istri. Sebab, suami menjadi raja yang selalu benar. Teori tentang “perempuan selalu benar” tidak berlaku di sini. Malah sebaliknya, meskipun suami melakukan kesalahan, tetapi masyarakat kerap kali mentoleransinya bahkan membenarkannya. Sementara pada perempuan apabila melakukan hal yang benar masyarakat akan merespons biasa saja karena menilai memang seharusnya begitu, baru ketika perempuan melakukan kesalahan akan menjadi korban hujatan.

Baca Juga  Banyak Kekerasan terhadap Perempuan, Kapan RUU-PKS Disahkan?

Sejatinya, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dan setara di hadapan Allah SWT, yang membedakannya adalah ketakwaan. Hanya Allah SWT yang berhak untuk menilai ketakwaan seseorang. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q. S. Al-Hujurat ayat 13, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”

Editor: Akbar Mawlana

Bagikan
Comments
  • muhajir

    Assalamu’alaikum. ijin bertanya. disebutkan diatas “Syaikh Syarqawi mengatakan: “Bahwa Nusyuz bisa terjadi dari sang istri dan sang suami, meskipun hal ini (penyebutan nusyuz) tidaklah populer diarahkan kepada suami.” ini melihat dalam kitab syekh syarqawi yang berjudul apa? mohon pencerahannya. terim kasih.
    muhajir fa

    Juli 4, 2023
Post a Comment