f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
menentukan pasangan

Perlukah Standar dalam Menentukan Pasangan?

Belakangan ini masyarakat tengah dihebohkan dengan berbagai macam pemberitaan tentang problem pernikahan yang menimpa para publik figure. Mulai dari KDRT, perselingkuhan, childfree dan lain sebagainya. Hal tersebut direspons aktif oleh masyarakat Indonesia terutama gen-Z yang kemudian viral di tiktok trend “Married is scary.” Generasi-Z yang sebagian tengah berada dalam fase menuju dewasa ini menganggap institusi yang bernama pernikahan menjadi suatu momok yang menakutkan. Banyak dari mereka yang takut untuk menikah sebab takut akan terjadi KDRT, perselingkuhan, dan ketakutan-ketakutan lain yang menghantuinya.

Sebelum menentukan siapa yang nanti akan kita pilih menjadi pasangan hidup, mari sejenak kita pahami apa makna pernikahan itu sendiri terlebih dahulu. Sebab diskusi tentang makna pernikahan berguna untuk membuat pasangan menyadari apa yang sebetulnya mereka rasakan dan pikirkan tentang pernikahan. Keduanya akan menggambarkan persepsi, juga menunjukkan nilai dan harapan seseorang terhadap kehidupan pernikahan maupun pasangan yang mereka ajak menikah. Hal tersebut dapat menjadi acuan dasar bagi pasangan untuk mendiskusikan kesepakatan-kesepakatan yang perlu mereka buat sebelum hidup bersama.[1]

Ada beberapa pendapat mengenai makna pernikahan yang diungkapkan Lya Fahmi dalam buku Sebelum Harimu Bersamanya. Pendapat pertama, yaitu pendapat kelompok muda (remaja) yang memaknai pernikahan sebagai satu-satunya cara untuk menikmati kebersamaan secara legal. Pendapat kedua, yaitu kelompok tingkat dewasa pertama yaitu seorang yang telah menamatkan pendidikan dan sedang berada di fase awal karier. Mereka beranggapan bahwa menikah adalah proses yang semestinya dijalankan sekaligus untuk memenuhi kepantasan sosial. Terakhir pendapat ketiga, yaitu kelompok yang telah berusia di atas tiga puluh tahun. Kelompok ini terbagi menjadi dua sub-kelompok yaitu pasangan untuk pernikahan pertama dan pasangan untuk pernikahan kedua. Bagi sub-kelompok pertama biasanya memandang pernikahan sebagai pelengkap kedewasaan. Sedangkan bagi sub-kelompok kedua memandang pernikahan sebagai companionship.[2]

Berdasarkan beberapa pendapat yang ada, maka perlu diingat bahwa makna pernikahan bukanlah soal benar atau salah. Mengingat makna pernikahan amat ditentukan proses pribadi seseorang, juga dipengaruhi oleh budaya, nilai yang dianut, wawasan dan pengalaman yang dimiliki. Makna pernikahan ini perlu disadari karena dapat menggambarkan marriage mentality yang dikembangkan oleh pasangan. Adapun marriage mentality disebut sebagai kerangka kognitif yang membuat seseorang bersedia untuk berkomitmen dan bertanggung jawab dengan perannya sebagai suami maupun istri.[3]

Baca Juga  Intelektualitas dan Gerak Ilmu Pengetahuan Perempuan

Sedangkan jika melihat pernikahan dari segi agama merupakan agenda besar dan perjanjian yang agung (mitsaqan ghalidza) antara dua manusia dan tuhannya. Dalam Islam, pernikahan merupakan salah satu sarana memadu kasih antara dua anak adam yang dilegalkan dalam syariat. Di mana dalam setiap kegiatannya dapat mendatangkan pahala bagi pelakunya.  Sebab Allah Swt. menciptakan manusia secara berpasangan salah satu tujuannya adalah untuk saling melengkapi. Begitupun jika mengutip salah satu sabda Nabi, bahwa menikah merupakan salah satu sunnahnya. Sebab dengan menikah, manusia dapat mempertahankan eksistensinya di muka bumi ini yaitu dengan berkembangbiak. Adapun proses perkembangbiakan yang dianjurkan oleh agama dan diridai oleh Allah adalah melalui proses yang disebut dengan pernikahan. Melalui pernikahan inilah, Allah Swt. memberikan media penyaluran nurani manusia pada jalan yang aman dan menghindarkan keturunan dari ketelantaran.

Kedua, dari segi hukum pernikahan merupakan pertalian yang sah antara laki-laki dan perempuan untuk waktu yang lama. Pernikahan adalah sesuatu yang serius dan tidak bersifat main-main. Sebab hal tersebut bukan hanya mengikat kedua belah pihak, namun juga melibatkan keluarga, agama dan juga hukum di dalamnya.

Maka ketika seseorang memutuskan untuk menikah berarti harus siap dengan segala sesuatunya. Dalam prosesnya kita juga harus selektif dalam memilih siapa yang akan menjadi pasangan kita. Maka di sini muncul pertanyaan “Apakah perlu standar dalam memilih?.” Tentu saja perlu. Kenapa perlu? Sebab menikah bukanlah agenda jangka pendek seminggu atau sebulan. Lebih dari itu, menikah adalah agenda yang akan kita jalani hingga akhir hayat kita. Maka benar saja jika ada yang mengatakan bahwa “seumur hidup terlalu lama jika bersama orang yang salah.” 

Baca Juga  Menyemai Cinta Al-Qur’an Mulai dari Keluarga

Perlunya kita memilih dengan cermat siapa yang akan menjadi pendamping hidup kita. Sebab jika melihat rata-rata umur manusia kisaran 60-70 tahun, jika kita menikah di umur 25 maka bisa disimpulkan bahwa selama 25 tahun kita hidup bersama orang tua kita dan sisanya adalah hidup dengan pasangan kita. 

Menikah itu 24/7 bersama dengan pasangan. Mengurus urusan rumah tangga dari yang sepele hingga yang berat bersama. Mengambil keputusan remeh hingga keputusan yang berat bersama pasangan. Mengasuh anak bersama dan masih banyak lagi kegiatan yang dilakukan bersama setelah menikah. Maka apabila kita tidak bersama orang yang tepat, itu akan sangat menghambat kegiatan yang dilakukan dalam keluarga serta ditakutkan rentan akan terjadinya pertengkaran kecil maupun besar sebab tidak adanya kompromi dan keselarasan antara suami dan istri.

Maka dalam menentukan standar ini, Nabi melalui sabdanya menuturkan kepada umatnya dalam memilih pasangan hendaknya memperhatikan 4 hal yaitu dari hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Dari ke empat kriteria tersebut, nabi menitikberatkan pada agamanya ketika kita hendak memilih seseorang untuk menjadi pasangan hidup. Sebab agama menjadi tolak ukur kepribadian seseorang. Apabila seseorang memiliki pemahaman agama yang baik maka hal-hal seperti KDRT, Perselingkuhan dan juga childfree tidak akan muncul dalam rumah tangga. Sebab terdapat iman dalam hati suami-istri yang mana iman tersebut dapat menjadi pengontrol seseorang ketika hendak melakukan suatu kemungkaran, karena menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasi gerak langkah manusia. Sehingga dari iman itu akan tumbuh rasa takut dan rasa malu dalam diri individu tersebut sebab segala perbuatan yang dilakukan pada pasangan akan dimintai pertanggungjawabannya baik secara hukum di dunia maupun di akhirat.

Islam juga berpesan agar melihat aspek kesetaraan “kafa’ah” dalam mempertimbangkan calon pasangan. Kafa’ah atau kesetaraan ini bisa dimaknai kesetaraan dalam segala hal. Dalam agamanya, pendidikannya, perhatiannya, usahanya bukan hanya berdasarkan sesamaan latar belakang ekonomi, fisik dan sosial semata. Sebab rumah tangga adalah perihal kerja sama. Jika salah satunya tidak memiliki usaha yang sama dan tujuan pernikahan yang sama maka bagaimana akan mencapai kata sakinah, mawaddah wa rahmah?. Karena itu, keduanya haruslah saling mengusahakan satu sama lain.

Baca Juga  Transformasi Peran Wanita di Masa Depan: Inspirasi dari Kartini

Selain itu kesiapan psikologis juga diperlukan bagi seorang yang akan menikah. Sebab setelah menikah seseorang akan mendapat tambahan gelar yaitu sebagai seorang suami atau istri, dan jika sudah memiliki buah hati akan menjadi ayah atau ibu. Gelar tersebut juga diiringi dengan tanggungjawab yang bertambah. Maka perlunya kesiapan mental dalam menerima dan menjalankan gelar tersebut.

Sebagai closing, menikah itu tidak akan menakutkan jika bersama orang yang tepat. Dengan orang yang sama-sama tahu tujuan daripada menikah itu sendiri. Menikah adalah agenda besar yang besar pula pahala dan bahagianya. Jangan pula menurunkan standar dalam memilih pasangan, namun terus berusaha menaikkan value diri agar Allah beri kita jodoh yang sekufu. Mari persiapkan diri untuk menuju ke sana. Sembari terus belajar, memperbaiki dan memantaskan. Agar tak hanya kita yang beruntung ketika mendapatkan pasangan, namun pasangan kita juga beruntung karena mendapatkan kita. Akan ada banyak orang yang baik yang kita temui dalam proses pencarian itu, namun yang perlu diingat bahwa dari sekian banyaknya orang yang kita temui itu hanya satu yang tepat. Selebihnya akan menjadi ujian. Maka definisi tepat itu bukan hanya tepat menurut pandangan kita, tetapi tepat menurut Allah Swt. Wallahu a’lam bis shawwab.


[1] Lya Fahmi, “Sebelum Harimu Bersamanya (Petunjuk Mempersiapkan Pernikahan)”, (EA Books : Yogyakarta, 2023), hlm. 6

[2] Ibid.. Hlm. 8-10

[3] Ibid.. Hlm. 12

Bagikan
Post a Comment