f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
rumah tangga

Perempuan dan Bayangan KDRT

Oleh : Lya Fahmi*

Baru-baru ini, ada seorang calon pengantin perempuan yang memberi saya pertanyaan yang rasanya belum pernah saya dengar dari calon-calon pengantin sebelumnya.

“Gimana caranya ya, Mbak, supaya setelah menikah kita tidak mengalami KDRT?” Tanyanya.

“Maksudnya, Mbak?” Tanya saya balik. Saya bukan nggak ngerti pertanyaannya, tapi rasanya kayak ada yang salah dari pertanyaan itu.

“Bagaimana cara mengantisipasi agar suami tidak melakukan KDRT?” Ulangnya memperjelas.

Aku diam sebentar, lalu lanjut bertanya, “Apakah calon suami ada tendensi melakukan kekerasan, Mbak?”

“Nggak, Mbak. Kakak saya bercerai karena KDRT,” jawabnya kemudian.

Oh, baik lah. Tadinya, saya khawatir pertanyaan itu muncul karena ia sedang mengantisipasi potensi kekerasan dimasa depan. Sebelumnya, ia sempat mengeluhkan temperamen si calon suami yang kerap membuatnya tertekan. Semoga pertanyaan dan keluhan itu tidak saling berkaitan.

“Kalau mbak mengalami KDRT, apa yang akan mbak lakukan?” Tanyaku kemudian.

“Saya diam dulu sampai suami tenang. Kalau suami sudah tenang, saya akan ajak bicara pelan-pelan. Saya akan berusaha selesaikan masalahnya baik-baik.”

“Oke, mungkin dengan begitu masalahnya bisa diselesaikan dengan damai ya, Mbak. Tapi, jika kemudian ada masalah lain dan dia kembali melakukan kekerasan, bagaimana?”

“Saya tetap akan mengajak bicara baik-baik, Mbak. Saya akan tanyakan ada apa sebenarnya dan selesaikan dengan tenang.”

“Oke, mungkin mbak bisa berbaikan lagi. Tapi, kalo selanjutnya terjadi lagi kekerasan?”

“Sikap saya masih sama, Mbak. Kalau sudah diluar batas, baru saya akan mempermasalahkan.”

“Apa batasnya, Mbak?”

“Kalau mukulnya udah keras banget dan sampai membahayakan.”

“Oke, berarti itu batasan yang mbak buat sendiri ya. Dan, jawaban-jawaban mbak tadi adalah pilihan sikap mbak sendiri jika berada dalam situasi KDRT.

Baca Juga  Siti Raham, Perempuan di Balik Keteguhan Buya Hamka

Saya nggak punya jawaban apa yang harus kita antisipasi agar suami tidak melakukan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan pasangan tentu saja bukan tanggung jawab kita, tapi tanggung jawabnya sendiri. Jika ada tendensi kekerasan, pihak yang memiliki tendensi itulah yang harus mengantisipasi, bukan pasangannya.

Jika berandai-andai musti menghadapi KDRT, pertanyaan yang lebih tepat saya kira pertanyaan ini, “Apa yang harus kulakukan kalau aku mengalami KDRT?”

Kita nggak pernah tau apakah di masa depan kita akan mengalami KDRT atau tidak. Nggak ada yang bisa menjamin KDRT itu tidak akan pernah dilakukan oleh pasangan. Tapi, ada satu hal yang bisa kita kendalikan, yaitu diri kita sendiri. Penting banget punya sikap dan pemahaman terkait KDRT ini. Penting banget untuk tahu apa yang harus dilakukan kalau kita mengalami KDRT. Pilihan sikap kita akan menentukan bagaimana KDRT itu bisa diatasi. Kalau mbak toleran dengan KDRT, ada potensi mbak terjebak dalam lingkar kekerasannya.

Bukan soal bagaimana caranya agar suami tidak melakukan kekerasan, tapi bagaimana langkah yang mbak ambil apabila mengalami kekerasan. Fokus pada diri sendiri ya, mbak, jangan fokus sama orang lain.”

***

Di tengah proses konseling, saya baru menyadari di mana letak salahnya pertanyaan si mbak calon pengantin. Dia seolah menempatkan nasibnya pada pasangan, seolah ia tak memiliki kontrol atas dirinya sendiri.

Aku nggak mau mengalami KDRT, lalu bagaimana supaya suamiku nggak melakukan KDRT? Ini pertanyaan sulit karena pada dasarnya kita tidak punya kontrol atas tindakan orang lain. Namun, di sisi lain dirinya sendiri begitu terbuka untuk mengalami KDRT secara berulang.

Tidak ingin mengalami KDRT, tapi orang lain lah yang diminta untuk mengkondisikan hal itu, bukan dirinya sendiri.

Baca Juga  Pernikahan Bukan Sekedar Menyatukan Cinta

***

Ada jawaban khas calon pengantin perempuan setiap kali ditanya, “Apa yang menjadi motivasimu untuk menikah?”

Jawaban khasnya ialah, “Agar memiliki imam yang bisa membimbingku menuju kebaikan dan selamat dunia akhirat.”

Setiap mendengar jawaban ini, iseng pula saya bertanya, “Emangnya sekarang kamu nggak baik-baik saja, ya?” 🤣

“Ya nggak gitu, mbak. Tapi…”

Demikianlah banyak perempuan sudah menempatkan dirinya lebih rendah sebelum terjadi pernikahan. Ada ilusi bahwa laki-laki yang akan dinikahinya nanti akan mengangkat derajatnya lebih tinggi. Dengan menikah, perempuan ikut saja di belakang lelaki dan katut ke mana pun dibawa pergi. Ketika yang dihadapi tak seindah yang diharapkan, yang disalahkan adalah diri yang salah memilih. Lha kok nasib sendiri digantungkan pada orang lain, meskipun itu suami sendiri, hehe.

Hal yang sering dilupakan oleh calon pengantin perempuan adalah segala kebaikan yang mereka harapkan membutuhkan proses. Manusia memiliki kualitas-kualitas baik pun muncul melalui proses. Nggak ada manusia yang otomatis memiliki kualitas-kualitas kebaikan karena dirinya terlahir sebagai laki-laki. Proses tak mengenal jenis kelamin. Siapa yang berproses, dia yang mendapatkan kualitas-kualitas kebaikan.

Makanya, motivasi bersuami supaya ada yang membimbing dalam kebaikan itu terdengar ilusif. Apalagi kalau diminta menyebutkan apa saja kelebihan calon suami, tapi jawabannya begini, “Apa ya, mbak? Bingung aku. Apa ya kelebihannya? Kalo kekurangannya banyak, mbak.”

Heleh, ..!

*Penulis, influencer dan Psikolog

Bagikan
Post a Comment