f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
Dunning-Kruger

Peka dalam Berkomentar

Beberapa waktu lalu teman FB saya ditinggalkan saudara kandungnya (berpulang ke Rahmatullah). Perasaan kehilangan dan sedihnya ia tumpahkan di beberapa status di wall-nya. Sangat wajar, namanya juga baru kehilangan kakak kandung dan juga kejadiannya baru beberapa hari  sebelumnya. Iseng saya membaca beberapa komentar dari statusnya. Umumnya adalah mendoakan almarhumah, dan mencoba sedikit memberi kata-kata penyemangat dan penghibur.

Ada satu komentar yang membuat saya terheran. Isi komentarnya, “Don’t worry, be happy, insya Allah almarhumah sudah berada di tempat terbaik di sisi Allah.” Sekilas sih komentar itu terkesan sangat islami. Tapi kok saya tidak merasa sreg ya. Kayak kurang peka gitu.

Setelah saya merenung sebentar, akhirnya saya menemukan apa yang membuat saya merasa heran oleh komentarnya, yaitu kata-kata don’t worry be happy-nya itu. Kenapa tidak boleh worry? Apalagi kejadian kehilangan itu baru saja beberapa hari. Wajar sekali khawatir, cemas, atau sejenisnya, karena itu adalah sifat  yang diturunkan oleh Allah Yang Mahakasih. Tanpa adanya rasa cemas dan khawatir, kita tidak akan mampu memiliki rasa sensitif atau peka terhadap kondisi yang membahayakan diri sendiri.

Komentar don’t worry be happy yang dituliskan di status itu seolah menihilkan perasaan seseorang yang sedang dirundung duka, seakan tidak baik untuk merasakan kesedihan. Padahal itu adalah fitrah yang diberikan Allah kepada hamba-Nya.

Selain itu, rasa cemas dalam menghadapi musibah kematian dapat membuat kita akan melakukan muhasabah terhadap hidup  sendiri. Perlu sekali kita bermuhasabah terhadap tingkah laku, terhadap semua nikmat Allah yang telah dianugrahkan kepadanya, sekaligus merefleksikan hidup kita apakah sudah sesuai dengan tuntunan yang ditetapkan oleh Allah SWT. Bukankah nasihat terbaik itu kematian? So, why can’t we have such a worry feeling?     

Curhat Bukan Berarti Tidak Bersyukur

Ada satu lagi pengalaman saya sendiri tentang komentar yang menurut saya kurang pas. Suatu ketika saya bercerita ke teman tentang musibah banjir yang menimpa SMA anak saya di awal tahun 2020 ini. Banjir itu merusak semua infrastruktur online yang sudah disiapkan oleh pihak sekolah dan orang tua yang rencananya akan digunakan di UN online di bulan April (sebelum tahu covid akan melanda).

Baca Juga  Sebuah Rasa Takut pada Kematian

Menurut saya sih musibahnya cukup tragis. Semua infrastruktur (jaringan LAN dan perkabelan) baru selesai disempurnakan di Desember 2019. Lalu saat libur awal tahun, banjir besar melanda Jakarta, yang korbannya juga sekolah anak saya. Baru saja pihak sekolah dan orang tua berlega dengan selesainya persiapan infrastruktur, eh belum  digunakan sudah rusak habis-habisan diterjang air.

Saya curhat tentang musibah itu kepada teman.  Saya masih merasa syok dengan kejadian itu tapi tidak berlebihan menurut saya, karena saya bercerita via chat. Namanya juga via chat, sudah pasti tidak bisa semua perasaan ditumpahkan, seperlunya saja. Saya tidak mengharapkan respon jawaban yang macam-macam, karena memang hanya ingin sekadar bercerita.

Respon pertama dari teman saya adalah, “Alhamdulillah.” Lalu dilanjutkan dengan kalimat, “Semoga digantikan yang lebih baik oleh Allah.” Membaca kalimatnya itu saya merasa agak ganjil. Kok terucap alhamdulillah ya? Maksudnya apa ketika saya menceritakan suatu musibah kemudian dijawab alhamdulillah. Apakah ketika saya bercerita tentang musibah berarti saya bukan menjadi hamba Allah yang bersyukur? Apa memang tidak boleh curhat mengenai musibah? Beberapa pertanyaan seperti itu seketika berkecamuk di pikiran.

Tahap Kesedihan Manusia

Menurut saya mengungkapkan perasaan ketidaknyamanan  ketika kita mengalami suatu musibah adalah sangat wajar. Tentu saja pengungkapan itu harus proporsional, tidak berlebihan, tidak terkesan menyalahkan siapapun atau bahkan tidak menyalahkan Allah atas musibah tersebut.

Mengutip laman psychcentral.com ada lima tahap kesedihan yang normal dihadapi banyak orang ketika mengalami musibah kehilangan atau kedukaan, yakni penolakan (denial), marah (anger), penawaran (bergaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance). Tahapan ini pertama kali dicetuskan oleh Elisabeth Kubler-Ross di bukunya berjudul “On Death and Dying” (1969).)

Baca Juga  Covid-19; yang Menempa untuk Berubah

Seseorang yang bercerita mengenai musibah yang baru saja dihadapinya adalah salah satu fase dari 5 tahapan itu. Kalau ditinjau dari sudut pandang keislaman, curhat (secara proporsional tentunya) mengenai kedukaan adalah hal yang sangat diterima. Di Al Quran sendiri Allah mengungkapkan keluh kesah Nabi Yakub AS karena kehilangan Nabi Yusuf AS. Digambarkan bagaimana Nabi Yusuf terus menerus menangis yang mengakibatkan matanya memutih (kisah ini tertuang di QS Yusuf ayat 84-86). Kalau memang keluh kesah itu tidak baik, tentunya kisah Nabi Yakub AS itu tidak akan diabadikan.

Oleh karena itu, menerima keluh kesah seseorang yang baru saja dirundung duka adalah suatu hal yang harus disikapi dengan kepekaan hati dalam rangka menghiburnya. Memang kalau kita mendengar teman curhat, tentulah kita mempunyai keinginan untuk menghiburnya, agar orang itu bisa melupakan dukanya ataupun agar ia tidak terlalu lama merasakan kedukaan. Di sinilah perlunya kita untuk memikirkan terlebih dahulu sebelum memberikan komentar atau penghiburan.

Peka dalam Berkomentar

Ketika di awal-awal seseorang kena musibah, yang mungkin baik kita lakukan adalah kita hanya perlu ikut bersedih atas musibahnya. Pilih ungkapan yang menyatakan kesedihan, misalnya dengan kalimat Innalillahi wainnailaihi rooji’uun, atau hanya dengan kalimat, “Saya ikut bersedih ya,”, ”Wah, terbayang deh sedihnya kalau mengalami peristiwa seperti yang kamu alami,”dan sejenisnya, yang memang kesannya kita mendukung perasaan dukanya. Hibur secukupnya tanpa perlu mengungkapkan kalimat yang terkesan menihilkan perasaan sedihnya. Menerima rasa sedih dan dukanya adalah suatu dukungan moril yang baik yang bisa kita berikan.

Memang kita tidak bisa mengontrol apa yang orang lain katakan terhadap apa yang kita alami. Itu akan menjadi pembahasan tersendiri bagaimana menghadapi komentar orang. Namun kita bisa mengontrol apa yang akan kita ungkapkan terhadap kesulitan orang lain. Sampai saat ini, saya pun masih terus belajar memperbaiki diri dalam berkomentar. Tempatkan diri kita dulu di posisinya, pahami situasinya, peka dengan perasaannya, insha Allah kita akan lebih bisa berkomentar tanpa menyakiti yang sedang berduka. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang tidak menyakiti sesamanya?

Bagikan
Comments
  • Nurul Fadhilah

    Luar biasa. Inspiring. Keep writing Pipoy sayang.

    November 25, 2020
    • Fitri

      Terimakasih Cikgu panutanku 🙂

      November 30, 2020
Post a Comment