Site icon Inspirasi Muslimah

Mubazir dan Hedonisme, Manifestasi dari Perilaku Setan

mubazir

Muhammad-Iqbal

Pernahkan kita sadari bahwa setiap harinya ribuan kilogram nasi telah kita buang mubazir begitu saja. Berapa banyak konsumen restoran dan warung-warung di pinggir jalan yang menyisakan makanan karena ingin terlihat anggun? Memesan sebanyak-banyaknya untuk terlihat hidup di sosial media dengan caption-captionnya..

Sudah menjadi rahasia umum bahwa barometer kekayaan seseorang bisa dilihat dari berapa anggaran yang ia keluarkan hanya untuk konsumsi. Perilaku hedon ini telah banyak mempengaruhi masyarakat karena dorongan tokoh-tokoh publik, kita ambil contoh Sisca Kohl; di akun sosial medianya ia kerap menampilkan dan mempertunjukkan makanan-makanan mewah yang merogoh uang hampir puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Sontak hal ini membuatnya booming  di sosial media dan memicu suatu paradigma  sosial bahwa jika nanti kaya akan melakukakn hal yang sama.

Hal ini tentu saja memicu ketimpangan sosial di mana para kaum kurang mampu hanya bisa menjadi penonton dari segala kemegahan tersebut. Hal demikian tentu saja sangat berlawanan dengan apa yang Nabi Muhammad Saw. perintahkan melalui sabdanya agar jangan sekali-kali kita berfoya-foya, juga bersifat mubazir. Dalam Al-Qur’an pelaku mubazir dicap sebagai saudara setan.

Lebih Keji dari Setan

Menurut hemat saya perilaku mubazir bahkan lebih keji dan busuk daripada kelakuan setan, bagaimana tidak? Di kala orang lain merasakan perut lapar lebih-lebih meninggal karna kelaparan, orang-orang yang memiliki uang lebih malah membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak perlu. Perlu kita garisbawahi bahwa kelebihan harta kita adalah harta orang lain yang Allah Swt. titipkan pada kita, jika di pikiran kita masih terpatri bahwa semua harta adalah hasil dari kerja keras kita, maka sudah jelas kita lebih buruk daripada Qarun yang Allah tenggelamkan bersama hartanya ke dalam tanah .

Memang tidak bisa kita pungkiri bahwa usaha yang besar akan menghasilkan suatu yang besar pula.  Namun di lain sisi, kita mendapatkan kekayaan lebih agar mampu membaca keadaan sosial di sekeliling kita dan Allah ingin kita  bersedekah agar kita mampu bersyukur dengan harta yang telah Ia berikan. Sebagai umat yang unggul bukankah kita Allah perintahkan untuk mengedepankan kepentingan sosial daripada kepentingan personal? Sudah jelas bahwa jargon rahmatan lil alamin melarang kita berlaku mubazir dan berfoya-foya.

Hedonisme: Biang Kejahatan

Epicurus, seorang filsuf yang lahir di Samos pada tahun 306 SM menjelaskan bahwa hidup ini adalah untuk mencari ketenangan dengan cara menghindari diri dari berbaga ketakutan. Konsep ataraxia adalah tentang bagaimana menghindari ketakutan-ketakutan atas 3 hal, antara lain: ketakutan atas dewa-dewa; takut akan kematian; dan ketakutan akan nasib di masa depan. Menurut Epicurus, hidup ini harus bijaksana, kenikmatan menurutnya adalah yang baik dan alami; kenikmatan tidak melulu tentang sensualitas akan tetapi pembebasan dari rasa sakit pada badan dan jiwa. Namun saat ini, hedonisme bukan lagi menjadi tujuan hidup melainkan sudah beralih fungsi menjadi gaya hidup; di mana subjek mengeluarkan harta demi keinginan-keinginan pribadinya.

Kehidupan utopis yang banyak orang damba-dambakan telah membuat mereka buta akan kehidupan sekitar. Mereka tega menerapkan sistem kapitalis yang sangat merugikan kaum proletary. Mereka bekerja dengan upah seadanya dan ketika protes dengan kebijakan tersebut  akan dipecat dan diganti dengan orang lain yang mau bekerja dengan upah yang demikian. Para kapitalis juga memainkan harga pasar dengan cara bersatu membentuk sindikat dagang agar bebas menetukan harga. Tentu saja hal ini berdampak pada kaum kelas bawah yang tidak mampu membeli barang tesebut. Alhasil para kapitalis kehilangan pasarnya dan terpaksa memecat karyawannya dan tentu hal ini menimbulkan kesengsarangan yang lebih hebat. Pemecatan atau PHK dapat memicu terjadinya perampokan, begal dan juga kejahatan lainnya. Begitu pula dengan eksploitasi alam besar-besaran yang juga timbul akibat hal ini. Demi meraup untung sebesar-besarnya berbagai tambang dan sumber daya alam turut menjadi korban.

Peka terhadap Realita Sosial

Solusi dari ini semua adalah tidak berlaku demikian dan bersikap peduli sosial yang kita implementasikan dengan tidak mubazir; tidak foya-foya; dan kerap besedekah. Islam adalah agama dermawan juga  sosialis, terdapat banyak ayat dan juga  ibadah yang tak melihat kasta juga kekayaan dalam praktiknya. Parameter yang Islam gunakan dalam menetapkan keberhasilan seorang hamba adalah taqwanya kepada Allah.

Namun hal ini juga tak bisa menjadi alasan bagi kaum masakin untuk melegitimasi dari sikap minta-minta (mengemis). Sikap minta-minta juga sangat dibenci Allah Swt., karena mereka seakan-akan tak percaya dengan adanya Allah dan janji bahwa Dia akan memberinya rezeki.

Sebagai manusia kita harus berusaha memenuhi kebutuhan hidup, namun di sisi lain ada nikmat orang lain yang Allah titipkan pada kita; hal itu semata-mata agar menambah keharmonisan dalam bersosial. Kaya dan miskin merupakan suatu qadarullah yang tak dapat dibantah keberadaanya; karena dengan adanya kedua golongan tersebut, kehidupan dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Berfoya-foya dan mubazir hanya akan memperburuk keadaan. Perlu kita ingat bahwa segala harta yang kita miliki hanyalah titipan yang Allah amanahkan dan kelak akan dimintai pertanggungjawabannya. Maka dengan ini, harusnya kita sadar bahwa hidup ini bukan melulu menyenangkan diri sendiri, melainkan membagi kesenangan kita pada orang lain.

Bagikan
Exit mobile version