f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
menulis

Menulis sebagai Bentuk Detoksifikasi

Bedanya jika emosi itu dikeluarkan secara langsung kepada orang yang bersangkutan, apalagi orang yang tak terlalu dekat dengan kita. Maka emosi itu akan bernilai negatif entah pada nantinya menyebabkan hubungan di antara seseorang renggang dan saling membenci satu sama lain karena perbedaan budaya yang antar dua individu miliki.

Salah satu contoh kasusnya adalah ketika seorang individu tak suka dikasi tahu atau dinasihati secara terbuka, sedang satu individu yang lain memiliki karakter dan budaya yang blak-blakan atau spontan jika menasihati atau mengingatkan orang lain. Hingga akhirnya yang terjadi adalah kesalahpahaman. Yang satu merasa tersinggung dan yang satunya lagi merasa biasa saja, tidak merasa melakukan kesalahan apa-apa.

Salah satu hal yang bisa seseorang lakukan adalah dengan Jurnaling. Jurnaling merupakan kegiatan menulis yang dilakukan agar emosi-emosi dalam diri baik itu emosi positif ataupun negatif tetap dapat tersalurkan. Namun ditempatkan pada wadah dan cara yang tepat. Ada beberapa hal lain yang bisa seseorang lakukan sebelum menulis, dalam berproses mengendalikan diri dari energi atau emosi negatif yang terpendam. Beberapa tahapan sebelum mulai menulis yang bisa kita lakukan saat emosi negatif mulai menyerang diri kita sendiri.

Memilih untuk Tetap Tenang

Seseorang yang pada dasarnya banyak bicara atau pada dasarnya ekstrovert (misal). Kini lebih memilih banyak diam dan berusaha untuk tenang. Walau sebenarnya itu bukan bagian dari diri mereka. Dari berdiam diri mereka banyak belajar dan lebih banyak mengamati kehidupan sekitar. Mengamati seseorang dan mempelajarinya. Ia tak lagi menjadi seseorang yang gegabah dalam mengambil keputusan atau spontan dalam berbicara. Ketika bertindak dan berbicara, ia berusaha bertanya pada dirinya sendiri “Apakah jika aku menerima perkataan seperti ini dari orang lain, aku akan merasa sakit hati atau tersinggung?”

Memang sulit dalam mengendalikan emosi dalam diri, karena rasa dominan, egois, gengsi, ingin selalu benar, dan perasaan lainnya yang menguasai diri kita. Sebagaimana salah satu kutipan yang mengatakan bahwa “Musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri”. Iya, musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri, bukan orang lain. Kita yang harus melawan ego dan emosi dalam diri kita. Perasaan yang ingin selalu benar dan menang serta enggan mengalah pada orang lain.

Baca Juga  Bangkitlah‌ ‌Gerakan‌ ‌literasi‌ ‌Mahasiswa
Memilih Teman Sefrekuensi

Di dalam hidup, kita akan dipertemukan dan dipersatukan dengan ruh-ruh yang memiliki banyak persamaan dengan diri kita. Apalagi yang memiliki tujuan yang sama dengan kita. Analoginya adalah di saat kita menaiki sebuah alat transportasi, kereta misalnya. Maka kita akan bertemu dengan orang-orang yang di dalamnya memiliki satu tujuan dengan kita. Oleh karena itu, seperti itulah kita di dunia, kita akan selalu bertemu dengan orang yang sesuatu tujuan dengan kita.

Saat memilih bersama seseorang (teman) tentu kita akan memilih seseorang yang bisa membuat kita nyaman dan di depannya kita bisa menunjukkan serta menjadi diri kita sendiri. Baiknya kita, buruknya kita, betapa konyol dan gilanya diri kita sebenarnya di hadapannya. Selain itu, seseorang yang ia mampu serta tak segan untuk ikutan gila melihat tingkah konyolnya kita.

Seseorang yang tak menjudge diri kita aneh, yang tak melihat diri kita selalu sempurna, dan mau menerima saat melihat kekurangan yang ada dalam diri kita. Menasihati kita saat kita salah. Mensupport kita untuk lebih baik di saat hilang arah. Yang ketika salah maka ia akan mengatakan bahwa itu salah dan merangkul kita untuk menjadi lebih baik. Bukan ia yang membenarkan sesuatu yang pada dasarnya salah dalam diri kita hanya karena alasan teman, karena teman sejati adalah ia yang memiliki impian dan cita-cita yang tak hanya berteman di dunia, namun memiliki tujuan ingin menjadi teman sampai surga.

Ada pepatah yang mengatakan bahwa nasihat itu bagaikan obat. Ia pahit namun bisa menyembuhkan. Tentunya dalam suatu hubungan akan ada beberapa hal yang tidak disukai atau hal buruk dari teman kita. Tapi teman yang baik adalah teman yang saling mengingatkan, saling instrospeksi, saling evaluasi diri, dan mau memperbaikinya bersama dengan komunikasi dan perubahan melalui aksi. Menjadikan masalah sebagai hal yang dapat membuat hubungan kita lebih erat dan kuat satu sama lain. Bukan menjauhkan.

Baca Juga  Memaksakan Diri Membaca
Menulis sebagai Bentuk Inspirasi

Terkadang ada beberapa yang memilih mengungkapkan apa yang ia rasakan. Namun, terkadang juga ada seseorang yang memilih memendam daripada harus menyatakan apa yang ia rasakan. Kebanyakan dari diamnya mereka menganggap bahwa lebih baik tidak mereka ungkapkan daripada menimbulkan konflik atau masalah yang berkepanjangan. Terkadang juga, seseorang memilih tak mengungkapkan karena apapun yang mereka ungkapkan tak pernah orang lain dengar atau anggap pernyataannya, karena rasa dominan dan rasa egois yang orang lain miliki.

Salah satu hal yang bisa menjadi terapi agar emosi negatif tidak selalu terpendam dan menjadi bom waktu suatu saat adalah dengan menyalurkan emosi tersebut melalui menulis. Menjadikan menulis sebagai bentuk penyaluran energi negatif menjadi suatu hal yang positif. Biasanya yang bisa dilakukan adalah dengan berprinsip bahwa “Suatu hal yang menyakitiku tidak akan mengubahku atau memberikan energi negatif dalam hidupku, melainkan semakin mendorongku untuk menghasilkan karya positif dan berbagi hal manfaat pada orang lain.”

Tentunya dalam ranah ini kita harus belajar tentang Ruang Kendali, yaitu beberapa hal yang bisa kendalikan dan tidak bisa kita kendalikan. Kita tidak bisa mengendalikan bagaimana cara orang lain melihat dan memandang diri kita, entah itu baik ataupun buruk. Tapi kita memiliki ruang kendali yaitu bagaimana cara kita merespons masalah tersebut. Pada kenyataannya kita tidak akan merasakan rasa “sakit” kalau kita tidak mengizinkan orang lain menyakiti diri kita. Lagi, lagi hal itu tergantung dari bagaimana cara kita meresponsnya dan memahami apa yang menjadi ruang kendali kita yaitu diri kita sendiri.

Menjadikan Luka sebagai Karya

Kita coba mengambil salah satu contoh quotes dari Fachruddin Faiz yang mengatakan bahwa berkarya itu tidak harus selalu di saat kita merasa bahagia. Seperti Jatuh Cinta. Tentunya patah hati itu juga harus bisa menjadi sebagai hal positif (Ok, patah hati di sini tidak harus berkaitan dengan pasangan ygy, tapi juga dalam pertemanan atau keluarga).

Baca Juga  Ini Dia, Obat Penyakit Tak Percaya Diri Menulis

Jika dengan jatuh cinta, membuat kita semakin terinspirasi untuk membuat puisi dan berkarya. Hal itu juga harus berlaku pada saat kita patah hati. Jadikan hal itu sebagai inspirasi untuk menghasilkan karya. Eman-eman kalau menjadi ajang bersedih dan menggalau tapi tak menghasilkan karya. Sepatah apapun kita, sesakit hati apapun kita, jadikan hal itu sebagai ajang bermanfaat untuk orang lain. Mungkin ada orang lain di luar sana yang memiliki kisah yang sama, dan mungkin saja tulisan kita bisa menginspirasi orang-orang di luar sana.

Kebahagiaan kita tidak harus menunggu dibahagiakan oleh orang lain. Justru kita akan bahagia jika berhasil membuat orang lain bahagia, melihat orang lain bahagia karena keberadaan kita. Bahagia dengan membaca tulisan-tulisan kita, bahagia ketika melihat mereka terinspirasi dengan tulisan kita, dan bahagia karena berhasil memberikan energi positif dari apa yang kita tulis.

Bahagia karena ternyata tulisan kita bermanfaat bagi orang yang membacanya. Ternyata bahagia itu sederhana itu. Hanya saja kita yang terlalu berlarut menggenggam luka dan tak mau mengikhlaskannya. Padahal kebahagiaan itu kita yang menciptakan, dengan memiliki keberanian untuk membuka lembaran baru dan berani menjadi diri kita sendiri yang tentunya lebih baik di masa depan.

“Jadi apanya yang harus dikenal, kan orang dikenal karena karyanya, ratusan juta orang di atas bumi ini tidak berkarya yang membikin mereka dikenal, maka tidak dikenal.”

― Pramoedya Ananta Toer

Bagikan
Post a Comment