f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
canberra

Menjadi Baik Bukan untuk Mendapatkan Jodoh yang Baik

Oleh : Monica Novianti*

Salah satu nasihat yang jamak saya dengar kala dulu masih lajang ialah kurang lebih seperti ini: Sibukkan diri dengan kebaikan. Perbanyak menghadiri majelis ilmu. Laki-laki yang baik hanya untuk perempuan yang baik. Jadi jika ingin mendapatkan laki-laki yang baik sebagai suami, maka pantaskan dirimu untuk bisa mendapatkan jodoh seperti itu.

Sebuah nasihat yang tidak seratus persen salah. Keadaan perempuan lajang memang relatif lebih “bebas” untuk melakukan banyak kegiatan. Tidak perlu minta pertimbangan pasangan ketika kita ingin melakukan sesuatu. Apalagi bagi yang sudah memiliki anak, pertimbangan para perempuan untuk berkiprah pasti akan semakin kompleks. Sehingga memang sebuah kerugian ketika status lajang tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan kapasitas diri.

Nasihat tersebut semakin menggema waktu saya menginjak usia 27 tahun. Sebuah usia yang terbilang “tua” untuk seorang perempuan lajang bagi sebagian masyarakat. Tentu saja tidak ketinggalan pertanyaan silih berganti seperti “Kapan menikah?” dan juga wejangan tidak penting seperti “ Jangan terlalu fokus berkarir sampai lupa memikirkan menikah.”, dan sederet nasihat serta beberapa single shaming lainnya.

Tetapi hal yang membuat saya merasa jengah ketika itu ialah seolah-olah segala aktivitas yang saya lakukan ketika belum menikah ialah hanya untuk menyiapkan diri sebagai istri dan ibu yang baik. Semua amal kebaikan yang saya usahakan semata-mata berorientasi untuk mendapatkan laki-laki yang baik untuk menjadi imam dalam rumah tangga. Menikah dan membangun rumah tangga menjadi muara utama bagi semua perempuan yang masih sendiri. Status lajang merupakan sebuah kejanggalan.

Saya tentu saja sempat mempertanyakan diri saya terkait menikah. Sering saya berpikir apakah saya sudah berusaha cukup keras untuk memantaskan diri menjadi istri. Apakah saya telah berupaya maksimal untuk menjadi perempuan baik-baik demi mendapatkan jodoh yang berkategori laki-laki yang baik. Pun saya sempat menyalahkan diri lantaran menganggap diri ini tidak cukup serius dalam mempersiapkan diri menjemput jodoh terbaik. Saya terlalu sibuk dengan hobi membaca buku, menulis, mengajar di sekolah, nongkrong di mall dan perpustakaan, atau sekedar ke warnet untuk menonton berbagai film. Intinya saya pernah mengalami masa bahwa saya gagal untuk memantaskan diri menjadi istri dan ibu yang berkualitas.

Baca Juga  Pendidikan Menurut Plato

Sampai akhirnya saya mulai menyadari bahwa melakukan aktivitas dengan orientasi mendapatkan jodoh yang berkualitas ternyata membuat saya lelah. Mulai hadir sebuah perasaan bahwa saya tidak lagi menjadi diri sendiri lantaran pemikiran kalau laki-laki yang baik pastinya tidak ingin hidup berumah tangga dengan perempuan seperti saya. Intinya saya tidak nyaman mengekspresikan diri dikarenakan kekhawatitran apakah hal yang saya lakukan ini justru malah membuat laki-laki yang baik menjauh.

Sejak itu saya mulai menyingkirkan jauh-jauh kecemasan perihal jodoh. Segala hal yang saya lakukan semata-mata untuk diri saya sendiri, bukan untuk mendapatkan jodoh terbaik. Saya suka membaca buku baik fiksi maupun non fiksi dari berbagai genre dan penulis agar pemikiran saya semakin tajam dan terbuka. Kegemaran menulis apapun pikiran dan perasaan saya lakukan semata-mata karena menulis membuat saya lebih rileks. Pun menonton film, mengajar, menghadiri majelis ilmu, dan aktivitas lainnya saya jalani karena saya senang melakukannya.

Perlahan-lahan saya mulai nyaman dengan diri sendiri. Sudah tiada lagi pertanyaan apakah nantinya saya akan menikah dengan laki-laki yang baik. Saya sadar bahwa apa yang mendefinisikan diri ini bukanlah terkait dengan apakah saya sudah menikah ataupun dengan laki-laki macam apa saya berumah tangga. Namun diri saya ialah apa yang saya lakukan dan saya nyaman bersama aktivitas yang saya geluti.

Manakala di usia 28 tahun, ketika saya berada di puncak kenyamanan dengan diri ini, justru datanglah laki-laki yang tidak saya duga datang untuk melamar. Apakah ia merupakan laki-laki terbaik? Tentu saja tidak. Namun saya pun juga bukan perempuan yang terbaik. Namun satu hal yang saya dan suami pahami ialah kami berdua masih dalam tahap memperbaiki diri dan tentu saja tidak lupa untuk bisa saling menerima keadaan diri serta pasangan. Alhamdulillah, saya dan suami sama-sama mempunyai pendapat bahwa kualitas manusia berasal dari amalan yang dilakukannya, bukan apakah ia sudah menikah atau belum.

Baca Juga  Pendidikan Pranikah : Perwujudan Masyarakat Beradab

Bagi para perempuan yang sering dikejar pertanyaan kapan menikah dan sejenisnya, pesan saya ialah abaikan saja dan jangan pedulikan. Fokuslah apa yang menjadi impian kalian dan jangan ragu untuk mengejarnya. Hal yang membuat kalian tetap berharga bukan lantaran ada pria yang bersedia menjadi pendamping, namun karena kalian tidak menyerah untuk menerima diri apa adanya serta terus berupaya untuk menjadi manfaat bagi bumi dan seisinya.

*Penulis adalah perempuan yang hobi membaca, menulis, menonton film, dan jalan-jalan. Kini menetap di Brisbane, Australia .

Bagikan
Post a Comment