Site icon Inspirasi Muslimah

Mendampingi Anak Menyambut Menstruasi Pertamanya Tanpa Drama

menstruasi

Beberapa hari yang lalu Embun, anak kedua saya, mendapat menstruasi pertamanya. Usianya menjelang 12 tahun. Usia cukup untuk anak perempuan mengalami menstruasi.

Pagi hari saat ia keluar dari kamar mandi, santai sekali ia berkata pada saya, “Bu, Ade mens.”

Lalu dengan sikap yang biasa-biasa saja ia mengambil celana dalam baru dan meminta pembalut pada kakaknya.

Elok, anak pertama saya, sudah sejak dua tahun yang lalu mendapatkan menstruasi. Ia dengan santai pula memberikan pembalut pada adiknya sambil bertanya, “Sudah tahu cara pakainya?”

Embun menjawab dengan cengiran. Ia tahu tapi tidak yakin. Kemudian Elok mengajarinya adiknya cara memasang pembalut dengan benar. Saya dengar keduanya berdiskusi ringan soal menstruasi dalam bahasa yang santai dan kata-kata yang sehat. Tak terdengar ada nada cemas atau takut dalam diskusi itu.

Saya menyaksikan semua itu sambil terus melakukan aktivitas rutin pagi hari.

***

Menstruasi adalah peristiwa penting dalam tahap tumbuh kembang anak perempuan. Ini adalah pengalaman baru untuk tubuh Embun. Sesuatu yang membawa perubahan besar dalam hidupnya. Dan ia menghadapinya dengan tenang.

Kedua anak saya melewati tahapan ini dengan sikap yang baik. Mereka sudah sangat siap. Pada titik inilah saya merasa tidak sia-sia telah memberikan edukasi seks dan kesehatan reproduksi secara betahap sejak mereka masih kanak-kanak. Menstruasi adalah hal yang sudah mereka ketahui tuntas bahkan sejak mereka belum mengalaminya.

Saya kembali mengingat puluhan tahun silam saat mengalami menstruasi pertama. Betapa itu adalah sebuah pengalaman tidak mengenakan bagi seorang gadis kecil. Saya kaget, cemas, dan kebingungan.

Saat itu, saya terbangun dengan celana dalam yang lengket dan badan yang tidak nyaman. Di kamar mandi saya melihat ada darah bercampur lendir di bagian tengah celana dalam saya. Saya tahu saya mengalami menstruasi, tapi saya tidak siap mengalaminya semendadak ini.

Saya tidak langsung tahu harus bagaimana. Orang tua saya tidak pernah mengenalkan saya pada pembalut dan bagaimana cara memakainya. Bahkan kata “menstruasi” pun saya tidak familiar. Mereka menggantinya dengan kata “kotoran”, “halangan”, atau “lagi dapet”.

***

Saya memang terlahir di keluarga miskin dengan tingkat pendidikan yang tidak tinggi. Saya sekolah dan mengaji di tempat sekadarnya, dan lingkungan tumbuh saya juga adalah orang-orang yang tiap hari panik besok makan apa.

Soal menstruasi ini saya ketahui samar-samar. Pertama tahu dari guru mengaji. Itu pun sebatas bahwa jika perempuan mengalami haid, maka tidak ada kewajiban baginya untuk shalat, tidak boleh memegang mushaf, dan tidak boleh melintas di masjid atau tempat shalat. Kesan pertama saya adalah, perempuan itu sedang mengalami menstruasi itu sedang dalam keadaan yang kotor.

Pengetahuan kedua saya dapatkan dari menguping obrolan kakak perempuan dan bulik-bulik saya. Mereka, terutama para bulik, selalu menghindar atau malu-malu mengatakan jika mereka sedang menstruasi. Maka kesan yang saya dapat berikutnya adalah, menstruasi itu memalukan.

Sampai saya mengalaminya sendiri, dalam keadaan yang tidak siap. Saya tidak punya pembalut, tidak tahu meminta pada siapa, dan tidak tahu harus bagaimana dengan semua ini. Hari itu saya hanya memakai celana dalam biasa saja tanpa pembalut. Aktivitas saya menjadi sangat tidak nyaman karena darah yang keluar itu sungguh mengganggu.

***

Saya benar-benar takut, malu, dan bingung.

Belakangan salah satu kakak saya tahu setelah melihat noda di rok saya bagian belakang. Bukannya membantu, dia malah menjauhi saya sambil bergidik jijik.

Akhirnya ibu saya mengetahuinya. Beliau memberi saya secarik kain bekas robekan jarik yang bisa saya pakai sebagai pembalut. Beliau memberikannya begitu saja tanpa menjelaskan berapa lama kain ini bisa dipakai, kapan harus dilepas dan diganti, bagaimana mencucinya, dan lain-lain. Ibu juga memberi saya segelas jamu kunyit asam. Sudah. Hanya begitu.

Saya melalui menstruasi pertama total hanya dengan meraba-raba. Saya kebingungan merasakan sakit yang tidak nyaman di perut, dan takut diketahui orang bahwa saya sedang menstruasi.

Baru pada menstruasi kedua saya bisa menguasai diri. Saya sudah kenal pembalut, sudah bisa memasangnya, bahkan saya sudah bisa meredakan sakit perut dan pusing yang menyertai periode ini. Namun tetap saja saya menganggap ini adalah sesuatu yang harus saya tutupi. Membeli pembalut di warung harus sembunyi-sembunyi, pakai kantong hitam agar tak terlihat, dan saya merasa amat nista jika ada teman lelaki yang mengetahuinya. Belum lagi soal mitos-mitos yang menakutkan tentang menstruasi. Makin tidak nyamanlah saya setiap bulan.

***

Semakin dewasa saya makin mengerti bahwa tak ada yang salah sama sekali dengan menstruasi. Semakin banyak pengetahuan saya baca dan ketahui semakin saya merasa penting sekali bagi tiap anak perempuan mengetahui menstruasi sejak dini.

Maka ketika saya menikah dan punya dua anak perempuan, saya bertekad untuk memberikan edukasi seks dan kesehatan reproduksi secara bertahap pada mereka. Cukup saya yang mendapat pengalaman tak menyenangkan saat menstruasi pertama. Anak saya jangan.

Sekitar usia delapan tahun saya sudah sounding bahwa perempuan yang sehat akan mengalami menstruasi tiap bulan. Itu adalah tanda bahwa di dalam tubuhnya telah ada sel telur. Dengan diskusi-diskusi ringan saya sampaikan apa saja yang harus mereka lakukan jika saatnya telah datang.

Saya lebih peduli menyampaikan tentang bagaimana mereka menjaga kesehatan dan kebersihan diri mereka sendiri saat menstruasi. Sejak hari pertama, Elok dan Embun sudah bisa memasang pembalut, mencuci noda darahnya, serta melipat dan membuang pembalut dengan benar. Saya hanya tinggal menyediakan asupan makanan sehat, dan berjaga-jaga jika mereka mengalami gejala sakit akibat menstruasi.

Penyebutannya pun saya ajarkan untuk menggunakan kata yang benar. Menstruasi, Haid, atau paling samar adalah Datang Bulan. Tak perlu mereka menyebutnya dengan Halangan, Kotoran, atau Lagi Dapet, meskipun bermakna sama. Saya ingin mereka tidak menganggap menstruasi sebagai peristiwa yang menakutkan, memalukan, menghalangi, kotor, apalagi aib. Mereka tetap bisa menjadi perempuan yang sehat dan aktif meski sedang menstruasi.

Bagikan
Exit mobile version