f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
Tsundoku

Membantah Tuduhan Buruk pada Tsundoku

Saya tidak sepakat dengan orang-orang yang mengatakan tsundoku itu hal buruk dan mesti diperbaiki. Mereka beralasan membeli banyak buku tanpa dibaca adalah bentuk pemborosan. Ada juga yang mengaitkannya ke isu lingkungan populer, yaitu semakin banyak kertas maka semakin banyak pohon yang ditebang. Maka enggak heran jika tips-tips menghindari tsundoku banyak kita temukan, khususnya di internet. Enggak percaya? Coba deh googling.

Meskipun di sini saya tidak ingin mengatakan bahwa hal tersebut sepenuhnya salah. Namun, perilaku atau anggapan semacam itu saya pikir cukup worth it untuk disebut enggak asyik sejak dalam pikiran. Dan sebelum saya jelaskan alasannya, saya mau sedikit bercerita.

***

Jadi, sejak kuliah saya memang sudah terlibat aktif dalam praktik per-tsundoku-an ini. Entah kenapa saya begitu rapuh dan mudah tergiur pada promo yang banyak berseliweran di media sosial. Apalagi kalau sudah ada bazar dan diskon besar-besaran, saya semakin sulit mengontrol diri untuk tidak membeli buku-buku secara random. Dasarnya hanya dua, karena review yang menarik dan harganya yang terjangkau.

Jujur, hanya sedikit sekali dari buku-buku itu yang benar-benar saya baca sampai selesai. Ada yang saya baca beberapa lembar, seperempat, bahkan enggak sedikit yang masih terbungkus rapi hingga detik terakhir saya menulis kalimat ini. Semua hanya berakhir pada tumpukan di dalam lemari dan sebagian di rak mengemban tugas sebagai pajangan. Dan saya bahagia-bahagia saja melakoninya bertahun-tahun.

Sayangnya, kelegaan semacam itu sedikit terganggu ketika saya membaca beberapa artikel yang seolah menganggap bahwa tsundoku ini hal tidak baik atau masalah yang mesti kita hindari. Ya, sebagaimana yang saya sampaikan di awal tadi. Apalagi jika hal tersebut sering disamakan dengan impulsive buying atau kebiasaan membeli barang-barang enggak esensial seperti fast fashion atau makanan cepat saji yang cenderung berkonotasi negatif.

Baca Juga  Manifesting dan Sepertiga Malam
***

Padahal membandingkan pemborosan membeli buku dengan fast fashion atau pun makanan itu hal yang amat sangat salah kaprah. Ada yang berpendapat, membeli buku itu harus dibaca, atau boleh membeli lagi jika yang sebelumnya sudah dibaca sampai selesai; kalu enggak, itu namanya pemborosan. Iya sih, idealnya memang seperti itu. Padahal sebenarnua enggak gitu juga. Karena jika sedikit saja mau berbesar hati melihat dari sudut pandang lain, ada beberapa hal baik yang bisa kita peroleh dari perilaku tsundoku ini. Di antaranya sebagai berikut:

Pertama, mengutamakan pengetahuan. Kecenderungan suka membeli buku merupakan salah satu indikasi sikap yang baik terhadap cuan. Kita sama-sama mafhum bahwa buku merupakan investasi pengetahuan yang tidak lapuk atas hujan, tidak lekang dengan panas. Sangat bertentangan jika membandingkannya dengan kesenangan sesaat sekaligus minim faedah seperti jajan McD BTS, nongkrong di café tiga kali sehari atau beli pakaian-pakain estetik untuk pamer di instagram. Please, jangan di samakan. Jauh.

Lebih dari itu, jika saat orang ingin berbelanja namun yang terlintas dalam pikirannya adalah buku,  bukan barang konsumtif, ini justru kondisi yang patut kita rayakan. Artinya seseorang telah memiliki kesadaran akan pengetahuan. Sampai sini masih mau bilang enggak baik?

Dan coba kisanak bayangkan. Jika masyarakat kita, dari ibu-ibu boomer sampai para gen Z yang biasanya memadati toko pakaian, café dan restauran trennya berganti ke toko buku. Bukankah ini sudah cukup menandakan bahwa cita-cita luhur para pendiri bangsa perlahan sudah nampak di depan mata?

***

Kedua, bentuk dukungan konkrit kepada penulis, editor dan semua yang terlibat di dalamnya. Lha kalau kita-kita ini enggan membeli buku, alasannya hanya karena belum sempat membaca, bukankah ini sebuah keegoisan yang menyebalkan.

Baca Juga  Bangkitlah‌ ‌Gerakan‌ ‌literasi‌ ‌Mahasiswa

Apalagi di zaman serba prihatin kayak gini. Apa salahnya jika kita saling ngrejekeni. Kalau enggak ada tsundoku, para desainer cover, penerbit-penerbit kecil, editor atau mungkin toko-toko buku kecil mau dapat makan dari mana? Beli lain-lain yang enggak penting bisa dan biasa. Tapi, giliran beli buku dianggap masalah hanya karena enggak dibaca. Hey, kalian nggak papa?

Ketiga, memperindah hubungan sosial. Jika kita melihat dari sisi romantisme dalam pertemanan, dengan memiliki banyak buku, kita bisa menjadikannya hadiah pada momen-momen spesial untuk sahabat atau pacar. Bayangkan, di hari ulang tahun atau acara wisuda. Alih-alih memberikan hadiah template seperti buket bunga atau makanan, tapi malah menghadiahinya buku. Bayangkan, betapa puitis dan manisnya kita di mata sahabat atau pacar pada saat itu. Itu juga artinya dalam hubungan, kamu enggak cuma berorientasi kesenangan namun bagaimana bisa saling belajar dan bertumbuh. Wahh, ngeriiii.

Atau kalau nasibmu enggak beruntung untuk punya pacar atau teman, buku-buku itu bisa kita donasikan agar bisa bermanfaat kepada banyak orang. Semakin banyak yang membaca, harapannya semakin besar pula manfaat dan amal baik yang tertunaikan. Kalau sudah begini, pada akhirnya kita enggak menyoal urusan duniawi tapi juga akhirat. Gimana, mulia bukan?

***

Keempat, bisa untuk membuat perpustakaan. Jika koleksi buku sudah banyak, maka sebagaimana impian saya sejak dulu yakni membuat perpustakaan keluarga akan mudah terwujud. Ya, buku-buku itu bisa kita jadikan perpustakaan pribadi. Sehingga anak-anak atau anggota keluarga bisa akrab dengan buku. Kelak buku-buku tersebut juga bisa kita wariskan ke anak cucu.

Bahkan dalam sejarah diceritakan jika Bapak Proklamator Ir. Soekarno suka membaca buku karena ayahnya memiliki banyak koleksi buku. RA Kartini menjadi tercerahkan karena sering diberi buku oleh kakaknya RM. Sosrokartono. Dan banyak lagi contoh yang lainnya. Hal itu bisa menjadi gambaran bahwa mewariskan buku adalah kebiasaan luhur yang patut kita teladani dan lestarikan.

Baca Juga  Ekstrovert Juga Bisa Depresi

Kelima, tokoh pintar juga tidak luput dari tsundoku. Perihal ini saya pernah di satu titik merasa bangga sekaligus punya dukungan dari seorang tokoh nasional yang saya kagumi: Bapak BJ Habibie. Jadi, saya ingat betul dalam sebuah wawancara, beliau menyampaikan jika beliau juga sering beli buku tanpa dibaca.“Saya suka membeli buku, kalau ingin beli saya beli saja, urusan membacanya ya bisa nanti kapan pun”. Kalimat yang nampaknya sederhana itu telah membesarkan hati saya beberapa kali lipat.

Bagimana tidak, salah satu putra terbaik bangsa, bapak teknologi yang sejak kecil sering saya banggakan hanya karena nama depannya mirip dengan nama saya, ternyata juga melakukan tsundoku sebagaimana saya dan banyak teman lain lakukan.

Bukan bermaksud mencari pembenaran, namun adanya contoh tersebut bisa kita pahami bahwa tsundoku ini enggak bisa kita lihat serta merta begitu saja sebagai masalah perilaku atau hal yang enggak bijaksana. Alih-alih mengamini pandangan umum yang memandang negatif tsundoku, justru saya malah penasaran dengan kebiasaan beliau seperti itu.

Jadi, untuk teman-teman yang selama ini suka membeli buku, memiliki banyak koleksi buku namun rasanya masih belum menemukan momen yang tepat untuk membacanya. Enggak apa-apa, nggak perlu merasa bersalah, sebab sekali lagi itu bukan hal buruk atau sia-sia.

Bagikan
Post a Comment