Site icon Inspirasi Muslimah

Melawan Persepsi Negatif Publik terhadap Perempuan dengan Konsep Diri

konsep diri

Roy Widya

Kehidupan dan perilaku seorang individu, potensi keberhasilan untuk melakukan sesuatu, dan kemampuan untuk menghadapi tekanan dalam ruang publik; selalu dipengaruhi oleh stigma, konsep, dan evaluasi individu tentang dirinya. Termasuk persona yang ia rasakan melalui orang lain mengenai dirinya sendiri, dan tentang cita-citanya suatu hari nanti; yang mana itu timbul dari suatu kepribadian yang diakibatkan pengalaman berinteraksi dengan lingkungan. Atau dengan sederhana bisa kita katakan, kehidupan individu dalam ruang publik, sangat dipengaruhi dengan konsep diri (self concept).

Carl Rogers, seorang psikolog yang terkenal dengan pendekatan terapi klinis, implementasi teori dan praktek psikoterapi; menunjukkan kalau konsep diri (self concept) memainkan peran primer dalam tingkah laku manusia. Perubahan dalam konsep diri (self concept) menghasilkan perubahan dalam perilaku.

Dengan pemaknaan tersebut, maka pembentukan konsep diri (self concept) sejak dini menjadi penting, apalagi bagi mereka yang masuk usia remaja. Masa remaja (adolescence) merupakan masa yang mana seseorang berada pada tahap perkembangan yang potensial sekaligus rentan. Masa ini, juga merupakan masa roleexperimentation, yaitu masa-masa reaktif seorang individu untuk mengeksplorasi perilaku, minat, dan ideologinya. Oleh karena itu, tugas primer yang harus kita lakukan pada kaum remaja adalah merekonstruksi identitas yang sudah mereka bentuk pada masa sebelumnya (masa kanak-kanak) untuk menemukan jawaban dari pertanyaan tentang “siapakah saya” dan “ke mana saya akan menuju”.

***

Masa remaja adalah masa transisi dan masa krisis identitas yang harus selesai sebelum masuk usia dua puluh tahun. Hal ini sangat penting agar seseorang dapat melanjutkan kehidupannya dengan baik, mempunyai kapasitas internal untuk dapat menilai potensi kemampuannya sehingga mencegah terjadinya kebingungan akan identitas diri.

Dalam upaya merekonstruksi konsep diri (self concept), hal penting yang juga perlu untuk mendapatkan perhatian adalah konsep diri (self concept) pada remaja perempuan dan tentang perempuan. Mengapa perempuan? Karena perempuan adalah entitas manusia yang paling kerap mendapatkan disparitas gender.

Dalam kehidupan masyarakat, yang diakibatkan dari nilai-nilai patriarkis yang dibangun dan disosialisasikan pada masyarakat, perempuan sering mendapatkan persepsi yang keliru. Nah, persepsi publik inilah yang sangat merugikan perempuan. Di antara persepsi tersebut, misalnya perempuan mendapatkan stigma sebagai makhluk yang lemah (inferior). Bahkan di beberapa negara, kaum perempuannya tidak boleh menekuni dunia olahraga yang cenderung keras. Tubuh mereka dianggap bersifat pasif dalam melakukan segala hal. Apakah kalian pernah mendapati fenomena seperti itu?

Tidak bisa kita pungkiri bahwasanya kritik klasik di atas masih relevan hingga sekarang. Adalah kefrustasian yang luar biasa, seandainya tidak mampu menunjukkan perasaan seseorang terhadap wajah dunia.

Persepsi tersebut benar-benar mengganggu eksistensi perempuan dalam ruang publik. Hal ini juga berakibat pada cara perlakuan masyarakat kepada perempuan yang berbeda dengan laki-laki, termasuk dalam pemberian peran pada perempuan. Perempuan sering ditempatkan dalam posisi subordinat. Misalnya, kebanyakan SMK di Indonesia masih ditemukan sudut pandang dominasi atas laki-laki, sebagian besar muridnya adalah laki-laki. Di mana seolah-olah yang berhak menempati jurusan teknik mesin hanyalah laki-laki. Padahal perempuan berhak mengembangkan potensinya, mereka juga berhak menuntaskan ambisinya. Ini baru dalam bidang pendidikan, belum lagi ketika berhadapan dengan pembedaan pekerjaan feminim dan maskulin yang melimitasi ruang gerak mereka (perempuan).

***

Variabel-variabel tentang gender yang masyarakat anut, yang sudah tersistem dan terhegemoni itu, tentu saja berdampak besar terhadap konsep diri (self concept) yang terbentuk pada diri perempuan. Pelbagai peristiwa kerap memperlihatkan bahwasanya perempuan cenderung mengalami rendahnya rasa percaya diri (self esteem), kurang cakap diri, honnor effect berupa sindrom untuk takut sukses (fear of success syndrom) jika perempuan menghadapi kondisi kompetitif dengan laki-laki; juga munculnya sifat ketergantungan dan minta perlindungan (cinderella complex). Perempuan bahkan seolah-olah kurang cakap untuk bisa mengenali siapa dirinya, dan apa yang mereka harus lakukan, serta ke mana arah yang harus mereka tuju.

Beberapa penjelasan di atas adalah hambatan bagi perempuan dalam pengaplikasian potensi kemampuannya. Padahal, sudah banyak fakta dan sejarah yang membuktikan kiprah dan keunggulan perempuan di pelbagai bidang dalam sektor publik, bahkan mereka—perempuan—yang mampu mengubah dunia. Sebagian besar dari kita tahu sosok Fatima al Fihri, yang merupakan tokoh perempuan muslim yang berada di garis terdepan membangun universitas pertama di dunia. Kita sebagai masyarakat Indonesia, tidak kurang figur perempuan yang inspiratif. Terdapat Raden Ajeng Kartini yang kita kenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan nusantara. Kemudian Martha Tiahahu, sebagai figur perempuan desa pemberani yang mengangkat penjajah Belanda di usia 17 tahun. Tidak lupa, Dewi Sartika, tokoh perintis pendidikan perempuan. Mereka adalah tokoh-tokoh revolusioner yang mampu mengubah secara radikal persepsi masyarakat yang menempel pada tubuh perempuan.

***

Pada era modern seperti sekarang, kiranya membentuk konsep diri (self concept) merupakan urusan primer di samping berjalannya aktivitas sehari-hari. Pentingnya pemaknaan terhadap pendidikan, pekerjaan, dan aktivitas publik lain, sehingga setiap perempuan mempunyai ketajaman idealisme terhadap pribadinya. Persepsi kultural yang menempel pada tubuh perempuan akan selalu melekat dan selalu kolot di ruang publik. Untuk mengubah persepsi tersebut, tidaklah mudah. Oleh karena itu, perlu adanya konseptualisasi diri, sehingga lahirlah idealisme yang akan mampu membentuk orientasi diri.

Remaja perempuan tidak berhak untuk didogmatisasi. Perempuan seperti halnya entitasnya sebagai manusia merupakan subjek yang utuh. Perempuan berhak menentukan peradaban yang jauh lebih modern di alam pikirannya. Tidak sekadar alat yang selalu terkungkung oleh dominasi pikiran budaya yang kental. Bila hal-hal dogmatis itu berkembang, maka justru akan memperlambat kinerja perempuan untuk memerangi gemuruh ruang publik. Karena tidak mungkin, sebagai perempuan akan selalu takluk dan tunduk terhadap stigma publik yakni sebagai pencuci baju dan pencuci piring di rumah.

Pembentukan konsep diri (self concept), akan melahirkan idealisme. Dan idealisme itu sendiri yang akan mampu melawan segala persepsi buruk dari publik.

Bagikan
Exit mobile version