f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
problema immawati

Melacak Problema IMMawati dalam Tubuh Ikatan: Refleksi Hasil Muktamar IMM

Muktamar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)  yang berlangsung pada 1-3 Maret meninggalkan perbincangan hangat. Bukan soal kemenangan Riyan Betra Delza  koleganya, Zaki Nugroho dan memastikan posisi jabatan ketua umum DPP IMM Periode 2024-2026. Tetapi pembicaraan mencuat kemudian adalah soal perempuan, soal IMMawati.

Tidak adanya IMMawati dalam formatur 12 memancing hadirnya diskursus sengit, terutama datang dari IMMawati itu sendiri. Keberadaan IMMawati di tubuh IMM memegang peranan sentral, terutama yang berkaitan dengan isu-isu perempuan. Keadaan ini tentu saja akan membawa kepada kecurigaan bahwa mahasiswa Muhammadiyah tidak aware dengan kepentingan perempuan.

Kendati ini adalah persoalan IMMawati, tetapi ini adalah tanggung jawab Ikatan keseluruhan. Pemberdayaan IMMawati adalah agenda penting di dalam tubuh ikatan. Barangkali apa yang terjadi di Muktamar adalah akibat dari serangkaian situasi-situasi serupa yang terjadi di daerah-daerah. Karena kejadian ini terjadi secara gamblang di musyawarah tertinggi, ia memberikan semacam kesadaran reflektif.

Politis atau Kurang Progressif: Mungkin Tidak Keduanya

Keresahan dan kekesalan yang sangat wajar. Muktamar terakhir IMM dihadapkan pada kenyataan di mana kejadian di lapangan tidak ada IMMawati yang punya taring. Saya membahasakannya sebagai situasi IMMawati yang gagal merebut (atau diberi) ruang.

Situasi ini dapat memicu munculnya bola liar-bola liar, argumen-argumen kemarahan  yang tidak berlandasan, dan tidak dapat dihindari. Namun, agaknya ini bukanlah sesuatu yang wajar di dalam sebuah organisasi intelektual. Sebisa mungkin harus dihindari. Persoalan IMMawati harus kita lihat sebagai suatu fenomena intelektual tentang perebutan ruang. Sebagai fenomena intelektual di kalangan intelektual itu sendiri tentu yang harapannya adalah lahirnya pandangan-pandangan yang ber-nas.

Apa yang terjadi di Muktamar terakhir IMM bisa jadi merupakan puncak dari pergulatan-pergulatan yang terjadi di tingkat yang lebih bawah. Pencarian akar dari suatu persoalan tidak cukup dengan melihat apa yang terjadi pada putusan Muktamar. Tapi harus ditelusuri pada rantai-rantai yang membentuk peristiwa. Butuh kehati-hatian dalam membedah persoalan ini, jika kita tidak mau sampai pada kesimpulan yang serampangan.

Baca Juga  Rasisme dalam Perspektif Al-Qur’an

Agaknya penyebab terciptanya situasi yang demikian bisa dipertimbangkan satu antara dua hal. Pertama, situasi politis yang ada di dalam tubuh Ikatan sehingga menghalangi kesempatan (ruang) IMMawati—ini merupakan pandangan yang dominan, tetapi lebih kepada kemarahan. Kedua, belum terciptanya progressifitas di kalangan IMMawati. Penyebab kedua, bisa terlihat akan sedikit memojokkan, tapi juga bisa kita lihat sebagai semacam gugahan kesadaran.

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) secara organisasi tidak membeda-bedakan antara perempuan dan laki-laki. Semuanya bisa mengambil tempat sesuai dengan kapasitas masing-masing. Sebagai sebuah wadah IMM bukan saja sebuah ranah kolektifitas tetapi juga politik. Maka dari itu perbenturan juga bisa hadir di dalam simpul kebersamaan.

Hipotesis pertama—tidak adanya ruang bagi IMMawati disebabkan politik IMM yang masih maskulin—merupakan hipotesis umum yang terjadi di setiap masyarakat tradisional. Hipotesis ini merupakan gugatan bersifat langsung kepada kekuatan dominan. Bahwa ada suatu agenda yang disusun atau sudah terfragmentasi di dalam kelompok untuk menyingkirkan identitas lain dengan berbagai alasan.

Potret di IMM secara kelembagaan sama sekali tidak mendukung hipotesis ini.. Organisasi menghadirkan ruang yang sanagat besar bagi IMMawati untuk berkreativitas. Adanya bidang IMMawati di dalam struktural, adanya Korps Immawati, dan agenda semacam DiksusWati (Diskusi Khusus IMMawati) yang rutin diadakan secara nasioanl menunjukkan betapa IMMawati memiliki ruang, dan tampak politik sama sekali tidak mempengaruhi keberlangsungannya.

Di dalam persoalan struktural tidak ada satu pun dokumen organisasi yang mendiskreditkan IMMawati. Permusyawaratan selalu berlangsung secara terbuka. Dengan demikian, argumen patriarki di dalam tubuh IMM tampak seperti letupan acak yang tidak memiliki dasar. Namun, harus kita akui argumen ini tidak mencakup keseluruhan persoalan, tapi hanya membantu kita mengerucut kepada kemungkinan lainnya: budaya organisasi.

Baca Juga  Membangun Panggung Politik untuk IMMawati

Dengan kenyataan ini, menggunakan skala Russell, peluang hipotesis kedua lebih besar dari yang pertama. Agaknya pembaca tidak akan sepakat karena akan terlihat menyudutkan IMMawati. Tapi, ini bukan merupakan pemakluman—apalagi upaya menyudutkan, tetapi refleksi wajar bagi IMMawati (dan IMM) itu sendiri. Mari pertimbangkan yang kedua.

Meminjam istilah Mbak Manda Danastri, bahwa Muktamar adalah lapangan pertempuran terbuka. Kenapa tidak lahirnya kepercayaan kepada IMMawati bisa jadi karena kapabilitas yang tidak memenuhi untuk berdiri ke depan. Simpul-simpul yang ada di dalam organisasi belum mampu menghadirkan representasi perempuan di tingkat tertinggi.

Melihat ruang-ruang yang ada bagi IMMawati, barangkali belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Hadirnya posisi, ruang partikular buat IMMawati, secara peluang seharusnya tidak sulit untuk berbicara banyak. Fakta yang ada malah memperlihatkan sesuatu yang menohok. Situasi ini seyogyanya melahirkan tanda tanya besar,

Teman-teman IMM—dan tentu saja keluarga besar Muhammadiyah—sangat terbuka untuk memperdebatkannya. Dua hipotesis di atas tidak bermaksud untuk menghakimi IMMawati, tapi untuk mencoba melihat akar persoalan. Seperti menjustifikasi hasil Muktamar sebagai agenda politik patriarki yang terlihat terlalu gegabah, mengatakan IMMawati tidak progresif pun akan terdengar sebagai sesuatu yang tidak adil.

Namun, bagaimanapun dua hipotesis ini terlihat lebih meyakinkan sebagai sebab belum cukupnya ruang untuk IMMawati. Agenda yang penting di baliknya, dan meniadi pekerjaan bersama adalah bagaimana menciptakan efektifitas dari bidang atau program ke-IMMawati-an. Adalah sebuah keharusan untuk memikirkan cara untuk mengintervensi—kalau memang benar—budaya organisasi dari IMM itu sendiri. Mau tidak mau ini mengysyaratkan kapabilitas intelektual dan politik yang memadai.

Melampaui Sebab-Sebab

Hipotesis  pertama dan kedua merupakan upaya mengidentifikasi masalah. Ibaratkan seorang dokter, perlu untuknya melakukan diagnosis terhadap situasi pasiennya. Seluruh kader bisa memperdebatkan hipotesis mana yang menjadi masalah di dalam persoalan ini. Tapi, sebagai sebuah Ikatan, apa yang terjadi merupakan tamparan bagi IMM itu sendiri.

Baca Juga  Sebab, yang Serius Ngajak Nikah, Belum Tentu Serius Menjalaninya

Posisi IMMawati di dalam tubuh Ikatan tidak ayal sama pentingnya dengan IMMawan. Kedua-duanya merupakan cendekiawan berpribadi yang memegang motto anggun dakam moral, unggul dalam intelektual. Persoalan ini seharusnya membawa refleksi

Hasil Muktamar membuat kita kecewa, geram, dan bahkan marah. Tidak adanya entitas yang penting di dalam struktural cukup menjadikan dahi berkerut. Langkah cepat mesti kita ambil, bukan jalan anarki, tapi jalan transformasi. Transformasi dari bawah! Dan kabar baiknya, kejadian Muktamar mendapat respon yang sangat baik oleh teman-teman di seluruh daerah; dengan tulisan-tulisan, dengan diskusi-diskusi, dan dengan konsolidasi-konsolidasi.

Jayalah IMMawati

Bagikan
Post a Comment