f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kepakaran

Masa Depan Kepakaran

Kini banyak orang menjadi ragu dan gelisah soal nasib dan masa depan kepakaran. Apakah akan tetap kokoh atau tergantikan? Setidaknya kegelisahan itulah yang banyak menguap setelah terbitnya buku Tom Nichols yang berjudul “The Death of Expertise”

Tom Nichols adalah seorang pakar kebijakan publik dan hubungan internasional. Buku di atas lahir dari kegelisahannya melihat realitas masyarakat, khususnya Amerika, yang kini sudah tak menghargai kepakaran. 

Salah satu yang menjadi sebab munculnya fenomena matinya kepakaran adalah kemunculan media sosial. Media sosial menjadi lahan subur dan forum terbuka bagi siapa saja yang ingin bersuara. Tak peduli apa latar belakangnya dan konsen kajiannya. Bahkan yang kerap menjadi masalah, masyarakat tidak lagi melihat kebenaran suatu informasi berdasarkan validitas informasi yang disampaikan, melainkan dari popularitas sang penyampai informasi. Semakin banyak followers atau pengikut yang dimilikinya, maka semakin besar kemungkinan dia untuk dipercaya. 

Tentu, jika case-nya atau studi kasusnya adalah medsos, maka kekhawatiran tersebut bisa dibenarkan. Namun jika kita coba melihat dalam case lain, maka kita bisa mendapat pandangan yang berbeda atas kegelisahan-kegelisahan di atas. Bahkan bisa sedikit menghasilkan kepercayaan diri untuk mengatakan kalau tesis soal terancamnya kepakaran tak sepenuhnya benar.

Sebab media sosial memang arena bebas bagi siapa yang ingin bersuara. Semua punya hak yang sama. Keran kebebasan terbuka selebar-lebarnya di sana. Tidak ada perbedaan antara kelas professor dan masyarakat awam.

Maka, yang perlu selanjutnya dilakukan oleh para pakar adalah bukan hanya bagaimana menyampaikan kebenaran, tapi juga mengemas cara menyampaikan kebenaran. Entah dengan menurunkan bahasa-bahasa yang terlampau njelimet atau membungkusnya dengan cara-cara yang asyik namun tetap elegan. 

Baca Juga  Potret Perempuan dalam Bingkai Ketatanegaraan

Saya termasuk yang ragu jika dikatakan kepakaran telah mati atau terancam. Sebab media sosial terlalu naif jika dijadikan tolak ukur matinya kepakaran. Ada variabel lain yang tentu perlu dilihat dan dijadikan dasar pertimbangan untuk mengukur apakah kepakaran masih tetap dijunjung atau tidak.

Pada bagian-bagian lain, semisal forum akademis seperti kampus atau ruang-ruang dialog di sejumlah televisi nasional, kepakaran tetap menjadi hal yang berharga, dilirik dan diperhitungkan. Kampus tetap selektif dan objektif ketika mengundang orang untuk membicarakan tema-tema atau topik-topik tertentu. 

Sejauh ini saya melihat beberapa kampus yang memiliki integritas selalu seleketif dan tidak serampangan dalam mengundang narasumber. Mereka terbilang masih konsisten dan menghargai para pakar. Jika yang dibicarakan adalah tema hukum, maka yang diundang untuk berbagi pandangan ialah mereka yang pakar atau ahli di bidang hukum.

Begitupun ketika membicarakan ekonomi. Mereka yang diundang untuk tukar tambah pikiran ialah para pakar atau mereka yang konsen di kajian ekonomi. Begitupun dengan tema-tema lain. Sebab mereka paham. Jika kita membiarkan sembarang orang berbicara atas suatu topik, maka lalu lintas pengetahuan kita akan kacau. Dengan kata lain, kita harus terus mendaulat dan menunjuk para ahli untuk berbicara atas satu tema tertentu.

Mungkin pihak lain boleh berargumen kalau harusnya tidak selalu begitu. Sebab boleh jadi bacaan seseorang lebih dalam atas suatu tema dibanding mereka yang telah menekuni dan menapaki jalur formal keilmuan seperti S1 sampai S3.

Sepintas, argumen ini bisa diterima. Tapi jika kita mau mengkajinya lebih dalam, ada yang sebenarnya dilewatkan orang-orang yang memang menempuh jalur nonformal dalam mempelajari suatu ilmu. Khususnya pada ilmu-ilmu yang memerlukan perangkat-perangkat metodologis. 

Baca Juga  Nafas Panjang Pengasuhan

Ada keistimewaan yang tidak dimiliki oleh mereka yang tidak mengambil spesialisasi ilmu. Mereka yang mengambil spesialisasi ilmu akan disediakan tangga demi tangga yang harus dilewati. Mereka tidak bisa langsung lompat pada ujung atau tingkat yang paling tinggi. 

Hal ini mungkin terlihat sepele. Tapi memiliki konsekuensi yang cukup besar. Karena jika seseorang langsung lompat ke tangga paling tinggi, besar kemungkinan pemahamannya terhadap sesuatu keropos dan tidak kokoh. Sebab ia lemah secara dasar. Di dunia kampus, para penuntut ilmu atau mereka yang ingin jadi pakar, akan disuguhkan ilmu-ilmu yang bersifat pengantar. Seperti pengantar filsafat, pengantar logika, pengantar ilmu hukum dan pengantar ilmu sosiologi dan sebagainya dengan konsen studi masing-masing.

Di samping kampus, penerbit buku sebenarnya masih cukup selektif sebelum menerbitkan suatu karya. Khususnya penerbit mayor atau nasional. Latar belakang penulis dan keselarasan dengan tema yang ditulis tetap menjadi pertimbangan untuk menerbitkan buku.

Begitupun dengan media-media nasional seperti Kompas, Tempo, Republika dan sebagainya. Kepakaran masih diperhitungkan. Siapa saja yang menulis tema yang jauh dari latar belakang, maka pihak media tidak akan berpikir panjang untuk menolaknya. 

Melihat realitas seperti yang terjadi di atas, kita harusnya bisa optimis bahwa kepakaran masih punya masa depan di zaman ini. Mereka akan terus dihargai dan dijadikan pertimbangan. Meski selain itu juga harus diakui bahwa penghargaan terhadap pakar atau ahli akan berjalan beriringan dengan tingkat literasi yang dimiliki oleh masyarakat kita. Karena hanya masyarakat yang berliterasilah yang dapat menghargai kepakaran. 

Bagikan
Comments
  • Mantap bukhori, sangat menarik tulisannya.

    Oktober 7, 2024
    • Bukhari Muslim

      Makasih Fron. Ayok nulisss

      Oktober 9, 2024
Post a Comment